Presiden Lambat Respon Lombok

by
Korban gempa Lombok. Foto: Antara

Presiden Joko Widodo bisa belajar dari Presiden SBY. Ketika bencana Merapi tahun 2010, misalnya, SBY memang tak mengumumkan bencana tersebut sebagai bencana nasional. Namun, SBY segera menyatakan penanganan bencana Merapi diambilalih pemerintah pusat. Itu dilakukan hanya sepuluh hari sejak bencana. 

Wartapilihan.com, Jakarta — Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) terkait bencana gempa bumi di Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (23/8). Menurut pemerintah, dengan Inpres itu penanganan bencana di NTB kini sepenuhnya mirip “Bencana Nasional”. Di sela-sela tugas selaku Pimpinan Tim Pengawas Haji DPR RI di Makkah, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menyampaikan kritik intinya Inpres itu sebenarnya masih mengabaikan tuntutan masyarakat.

“Saya dengarkan aspirasi masyarakat yang mendesak Presiden segera menetapkan bencana di Lombok dan daerah lain di NTB sebagai ‘Bencana Nasional’. Mestinya Presiden perhatikan aspirasi tersebut. Apalagi, aspirasi itu bukan hanya disampaikan masyarakat NTB, tapi banyak pihak di tanah air, termasuk para relawan dan sejumlah lembaga kemanusiaan yang telah terjun ke sana sejak hari pertama bencana,” ujar Fadli melalui keterangan pers yang diterima Wartapilihan.com, Sabtu (25/8).

“DPRD Provinsi NTB juga telah menyampaikan surat resmi kepada pemerintah agar bencana di Lombok segera ditetapkan sebagai ‘Bencana Nasional’. Mestinya Presiden mendengarkan hal itu,” imbuhnya.

Sayangnya, ungkap Fadli, pemerintah mengabaikan aspirasi tersebut. Mereka menyatakan status bencana di Lombok tak perlu menjadi bencana nasional termasuk karena bisa mengganggu sektor pariwisata. Pernyataan ini bisa menyakiti perasaan korban bencana di NTB.

Terlebih, ketika pemerintah menolak menjadikan bencana Lombok sebagai bencana nasional, masyarakat membaca surat edaran Mendagri meminta para Bupati/Walikota dan Gubernur menyisihkan sebagian APBD dan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan) untuk menolong pemerintah NTB. Belakangan, kita juga membaca surat permohonan bantuan kepada seluruh kepala daerah yang diteken Gubernur NTB.

Menurut Fadli, anggaran untuk bencana gempa Lombok sangat simpang siur. Berapa sebenarnya anggaran yang telah diturunkan pemerintah pusat? Inipun harus terbuka dan transparan. Wajar jika ada yang membandingkan dengan anggaran penyelenggaraan pesta pembukaan Asian Games yang menelan lebih dari setengah trilyun atau dana sidang IMF/Bank Dunia Oktober mendatang yang mencapai Rp. 1 trilyun.”

“Kita tak ingin penanganan bencana besar jadi amatiran begini, seolah-olah tak ada tata kelola standar. Padahal, tata kelola penanganan bencana itu ada regulasinya. Ada UU No. 24/2007, PP No. 21/2008, dan juga Perpres No. 17/2018. Kapan sebuah bencana ditetapkan sebagai bencana daerah, atau menjadi bencana nasional, sudah ada ketentuannya. Sebenarnya gempa di NTB sudah sangat layak dijadikan bencana nasional. Sehingga tanggung jawab bukan lagi di pemerintah lokal yang juga menjadi korban gempa,” jelas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Fadli menjelaskan, masyarakat pantas bertanya-tanya. Jika memang bencana di Lombok skalanya masih bencana daerah, kenapa operasi tanggap darurat dipimpin seorang Menko? Sebaliknya, jika skala riilnya diakui pemerintah sama dengan bencana nasional, kenapa tanggung jawabnya tak segera diambilalih pemerintah pusat? Itu pertanyaan-pertanyaan dasar.

“Keluarnya Inpres tentang penanganan bencana Lombok kemarin, menurut saya, tak berhasil mengobati kekecewaan masyarakat terdampak. Selain respon pemerintah sangat lambat, masyarakat berharap bukan hanya tanggap darurat yang bersifat teknis, tapi juga psikologis,” ujar dia.

Fadli menjelaskan, status ‘bencana nasional’, adalah representasi hadirnya negara secara konkret di tengah korban. Negara di sini tentu saja pemerintah pusat, eksekutif.

Masyarakat yang jadi korban gempa secara psikologis terbantu oleh jaminan negara.

Perlu pernyataan tegas yang bisa membesarkan hati, bahwa negara melalui pemerintah bertanggung jawab melindungi rakyat, bahwa negara akan mengambil alih tanggung jawab melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.

“Penolakan pemerintah tentang status ‘bencana nasional’, menjadi sikap yang diskriminatif terhadap korban gempa.

Apalagi gempa masih terus berlangsung dan masyarakat makin traumatik.

Seharusnya Presiden Joko Widodo segera menetapkan bencana nasional dan menyatakan terbuka bahwa pemerintah pusat mengambil alih komando penanganan bencana gempa di NTB, bukan lagi di bawah komando pemerintah provinsi NTB,” tandasnya.

Dalam hal ini, saran Fadli, mestinya Presiden Joko Widodo bisa belajar dari Presiden SBY. Ketika bencana Merapi tahun 2010, misalnya, SBY memang tak mengumumkan bencana tersebut sebagai bencana nasional.

Namun, SBY segera menyatakan penanganan bencana Merapi diambilalih pemerintah pusat. Itu dilakukan hanya sepuluh hari sejak bencana.

“Begitu bencana tak bisa ditangani pemerintah daerah, tanpa persetujuan kepala daerah Presiden mengumumkan pengambilalihan tanggung jawab. Responsif sekali. Karena Presiden cepat tanggap dalam ambil alih tanggung jawab, maka tak muncul perdebatan mengenai status bencana,” tandas Fadli.

“Nah, bencana di NTB ini kan sudah lebih tiga minggu berlangsung, skala kerusakannya terus meluas, tapi baru kemarin Presiden teken Inpres penanggulangan bencana. Lambat sekali respon pemerintah. Ironisnya para pejabat pemerintah tegas menolak status bencana nasional hanya karena faktor pariwisata, bukan mementingkan soal kemanusiaan,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *