Politik Layang-Layang Robek untuk HTI

by

Wartapilihan.com – Hizbut Tahrir Indonesia hari ini (19/7) bubar. Dengan dicabutnya status badan hukum HTI, maka HTI menjadi terlarang didirikan di Indonesia (kecuali bila HTI nanti menang di Pengadilan Tata Usaha Negara). Petinggi Polri telah menyatakan akan melarang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan atas nama HTI di seluruh tanah air.

Presiden Jokowi hari ini (19/7) menyatakan bahwa keputusan pemerintah membubarkan HTI karena mendapat masukan ulama. Entah ulama mana yang dimaksud. Tapi dari fakta-fakta di media, ulama yang dimaksud adalah ulama-ulama PBNU, terutama Aqil Siradj. Atau ulama Muhammadiyah yang sealiran dengan Aqil Siradj, yaitu Syafii Maarif.

PBNU sejak dipimpin Aqil Siradj memang sering menimbulkan kontroversi. Ulama-ulama di Jawa, yang dipelopori ulama pesantren Sidogiri bahkan kini bersikap kritis kepada PBNU. Mereka bahkan menulis dan menyebarkan pemikirannya dalam buku yang berjudul ‘Sidogiri Menolak Pemikiran KH Said Aqil Siroj’. Penentangan terhadap Aqil Siradj juga dilakukan oleh pesantren Tebu Ireng Jombang yang dipelopori oleh KH Sholahuddin Wahid.

Beda sikap PBNU beda dengan sikap Muhammadiyah. Meski PP Muhammadiyah belum mengambil sikap yang jelas sampai saat ini tentang HTI, organisasi besar ini cenderung menolak Perppu.  Cendekiawan politik Islam Muhammadiyah, Prof Amien Rais menentang keras pembubaran HTI. Amien menyatakan “Mau bubarkan HTI, kayak mau runtuh saja dunia ini. Biarkan saja wacana-wacana (khilafah itu)…Ini sudah mengabaikan masyarakat. Perancang Perppu ini mengidap Islamofobia, program pertama HTI, kemudian FPI, siapa tahu nanti yang lain-lain.”

Organisasi Islam lain, seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Persatuan Islam (Persis), Mathlaul Anwar, Al Irsyad Islamiyah, Ikadi dan lain-lain juga menyesalkan keluarnya Perppu 2/2017 yang berujung pada pembubaran HTI ini.

Sedangkan di DPR, partai-partai yang kelihatan jelas menolak Perppu baru tiga yaitu : Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional dan Partai Gerindra.

Meski banyak ormas Islam dan aktivis Islam bersedih, tapi kalangan NU liberal bersorak sorai terhadap keputusan pemerintah hari ini. Lihatlah twitter Akhmad Sahal. Pengurus Cabang NU Amerika ini menyatakan,”Mantap..Ini soal menyelamatkan demokrasi Pancasila dan NKRI dari kaum perongrong seperti HTI…”. Aktivis liberal Guntur Romli dalam twitternya menyatakan hampir sama,”Yg masih ngotot bela Hizbut Tahrir sbg ormas/lembaga dakwah, sila baca web Hizbut Tahrir, ayo cepat siuman, jgn lama2 pingsan dibohongin. Ia juga menyatakan,”Hizbut Tahrir penunggang gelap demokrasi, pembajak reformasi & pemaksaan yg diatasnamakan Islam, resmi dibubarkan, alhamdulillah”.

Entah kenapa banyak NU liberal bersyukur HTI dibubarkan. Jangan-jangan karena garapan dakwah mereka di kampus dan kampung mulai menyempit dan ‘berpindah digarap HTI’ dan lain-lain.

Memang secara nyata, di kampus-kampus saat ini, yang mewarnai pemikiran kaum muda saat ini adalah HTI, Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin) dan Insists (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations). Bila HTI banyak merujuk ke Taqiyudin an Nabhani, Tarbiyah ke Hasan al Banna, maka Insists ke Syekh Naquib al Attas.

Gerakan-gerakan ‘underbouw NU’, seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) kurang berkembang di perguruan tinggi. Mahasiswa-mahasiswa Islam lebih menyukai gerakan yang mencerahkan pemikiran daripada gerakan yang lebih ‘berorientasi fiqh atau liberal Barat’.

HT dan HTI

Hizbut Tahrir (HT) bila kita jernih melihat, beda dengan Hizbut Tahrir Indonesia. Bila HT mengharamkan demokrasi dan nasionalisme, maka HTI dalam praktik cenderung ‘membolehkannya’. Lihatlah demo-demo mereka ke DPR dan istana. Mereka tidak sekalipun dalam demonya menuntut pembubaran institusi DPR dan institusi lembaga presiden. Bahkan dalam demo-demo HTI, mereka menyerukan berbagai hal yang menyangkut kemaslahatan negeri ini ke DPR. Misalnya revisi UU Migas, dukungan terhadap UU Pornografi dan Pornoaksi dan lain-lain.

Jadi meski dalam buku-buku HT mengharamkan demokrasi, dalam praktik mereka menghormati demokrasi.

Malah Jubir HTI kepada Warta Pilihan menyatakan bahwa beberapa bulan lalu mereka telah bertemu dengan Menkopolhukam Wiranto. Dan menurutnya, dalam pertemuan itu Wiranto menyatakan tidak masalah dengan keberadaaan HTI di tanah air. Entah mengapa kemudian di bulan Juli ini, ia berubah.

Maka tidak heran bila dalam acara ILC kemarin, Ismail sangat kaget Wiranto menyebut HTI adalah laksana sel-sel kanker yang berbahaya bagi tubuh. Pemerintah harus membunuh sel-sel kanker itu agar tidak menjalar dan merusak organ tubuh. HTI, kata Ismail, telah eksis di Indonesia selama lebih 20 tahun. Aktivitas HTI selama ini bukan merongrong NKRI atau mau mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Kegiatan HTI selama ini, menurutnya adalah dakwah Islam.

Ismail juga menyatakan bahwa selama ini HTI berkontribusi bagi masyarakat, terutama mendidik kalangan muda, pelajar dan mahasiswa tentang ajaran Islam. Tidak ada aktivitas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, meski dalam kesempatan yang sama mengampanyekan khilafah Islamiyah atau pemerintahan Islam. Bahkan, Ismail mengingatkan, HTI beberapa kali mendapatkan penghargaan dari polisi sebagai pengunjuk rasa yang santun dan tertib. Hal itu, menurutnya, bukti betapa HTI menghormati dan mematuhi hukum Indonesia.

Jadi sebenarnya ada perbedaan antara buku-buku HT dan praktik yang dilakukan HTI. Masalahnya pemerintah tidak mau melihat hal ini. Pemerintah melarang HTI hanya bersumber pada buku-buku atau tulisan-tulisan HT.

Mereka yang mengamati HTI, akan melihat mulai adanya perubahan HTI. Di Pilkada DKI Jakarta lalu misalnya, HTI tidak melarang anggotanya untuk ikut pemilu seperti puluhan tahun sebelumnya. Bahkan HTI membantu salah satu calon gubernur Muslim agar menang di DKI. Di sini berarti HTI mulai mengakui adanya nasionalisme (Islam) dan demokrasi (Islam). Nasionalisme Islam dan Demokrasi Islam tentu tidak terlarang dalam negeri warisan para pejuang mayoritas Islam ini.

Tapi perubahan sikap HTI ini nampaknya bukan disambut positif oleh pemerintah. Terutama oleh kaum Islamofobia di pemerintahan. Kelompok Islamofobia ini melihat bahwa HTI dengan jaringannya yang rapi di kampus dan puluhan provinsi serta pemimpinnya yang muda-muda dianggap bisa menggagalkan agenda mereka dalam pemilu. Baik Pilkada, Pileg maupun Pilpres.

Ini laksana kisah Firaun dalam Al Quran yang membunuh anak laki-laki kecil yang dikhawatirkan akan menggoyahkan pemerintahannya.

HTI adalah gerakan dakwah anak-anak muda Islam (pimpinan tertingginya belum mencapai 60 tahun) di kampus, yang jenuh melihat kondisi politik, ekonomi dan budaya tanah air yang ‘penuh dengan korupsi dan tipu menipu’. Mereka jenuh terhadap kapitalisme asing yang menguasai negeri ini.

Mereka ingin melihat negeri ini diwarnai Islam sebagai agama terbesar di negeri ini. Mereka ingin melihat negeri ini adil dan makmur sebagaimana amanah pembukaan UUD 1945.

Mereka senantiasa taat kepada Undang-Undang di negeri ini. Baik dalam aktivitas sehari-hari yang berkenaan dengan pemerintahan maupun dalam demo-demo.

Maka tidak salah sikap pemerintah hari ini yang membubarkan HTI, bisa dikatakan sikap terburuk pemerintah Indonesia selama republik ini berdiri. Hari ini, 19 Juli 2017, pemerintah Indonesia mengadili dan menvonis ide atau fikiran orang atau organisasi. Pemerintah yang harusnya mengadili praktik atau tindakan seseorang kini aneh bin ajaib berubah menjadi pemerintahan yang dapat mengadili ide atau ideologi seseorang atau organisasi.

Penjelasan Yusril Ihza Mahendra bahwa dulu waktu republik ini mau berdiri, tokoh-tokoh Islam juga memaparkan konsep Khilafah Islamiyah tidak didengarkan pemerintah. Menurut Yusril, waktu itu Dr Sukiman menjelaskan bahwa konsep khilafah dekat dengan republik, karena itu tokoh-tokoh Islam di BPUPKI kemudian sepakat membentuk negara republik bukan kerajaan.

HTI dibubarkan hanya beberapa jam setelah Indonesia Lawyers Club yang menampilkan diskusi menarik antara tokoh-tokoh yang pro dan kontra. Rocky Gerung, Yusril Ihza Mehendra, Fadli Zon dan Tengku Zulkarnain dll berada di pihak yang kontra Perppu sedangkan Guntur Romli,  Nusron Wahid, Romli Atmasasmita, Satya Arinanto dll berada di pihak yang pro Perppu.

Dalam diskusi itu, nampak argumentasi-argumentasi pihak yang menolak Perppu lebih unggul daripada yang pro Perppu.

Apakah pemerintah khawatir bila ada diskusi-diskusi seperti itu meluas sehingga hari ini langsung membubarkan HTI? Wallahu a’lam.

Padahal dalam negara ‘demokrasi musyawarah’ ini bila pemerintah berpegang pada Sila Keempat ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan’, maka pemerintah harusnya mengajak dialog dulu dengan pimpinan-pimpinan HTI sebelum membubarkan. Atau pemerintah melakukan diskusi dengan para pakar atau tokoh-tokoh Islam lintas ormas, sebelum melarang HTI.

Kini HTI melewati jalan terjal dan tidak mudah untuk sengketa hukum dengan pemerintah. Namun demikian para pimpinan dan kader HTI nggak perlu cemas, karena Menteri Agama telah menjamin keamanan mereka.

Mungkin HTI akan berubah nama agar dapat terus eksis di Indonesia. Atau mungkin HTI bisa memenangkan di jalur hukum Mahkamah Konstitusi atau Pengadilan Tata Usaha Negara. Wallahu azizun hakim.

Pembubaran HTI ini, bisa diibaratkan laksana anak-anak berebut layang-layang. Daripada layang-layang itu dimiliki anak lain, maka anak-anak itu kadang-kadang merobek layang-layang itu. Kaum Islamofobia nampaknya berhasil merobek layang-layang yang diperoleh oleh HTI.

Tapi, kaum Muslim di Indonesia tidak perlu khawatir dengan peristiwa politik ini. Seperti kata orang bijak,”Bila matahari telah tenggelam, maka akan muncul bulan bintang menerangi kegelapan.” ||

Nuim Hidayat Dachli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *