Wartapilihan.com – Di film-film yang diproduksi kaum Cina, kita banyak mendapatkan film yang bercerita tentang balas dendam. Balas dendam antar teman, balas dendam antar kerajaan dan kadang balas dendam antar anggota keluarga. Maaf atau ‘ngalah’ dalam istilah Islam dan Jawa, hampir-hampir tidak dikenal dalam tradisi mereka.
Maka janganlah heran setelah Ahok dipenjara, pendukung Ahok menyusun strategi ‘politik balas dendam’. Dan sebagai korbannya adalah Muhammad al Khaththath, Buni Yani, Alfian Tanjung, Habib Rizieq dan HTI. Kalau musuh membunuh satu orang, maka kita harus membunuh sepuluh orang, begitu kira-kira prinsip politik mereka.
Akibat prinsip itu, al Khaththath harus mendekam di penjara tiga bulan tigabelas hari. Alfian mendekam di jeruji besi lebih dari 40 hari dan kini masih di penjara. Entah berapa lama pidana ingin dikenakan mereka ke Buni Yani, Habib Rizieq atau pimpinan HTI.
Aneh bin ajaib. Di mayoritas negeri Muslim ini tokoh-tokoh Islam mudah sekali terkena pidana. Al Khathath tanpa bukti yang jelas, dikenai tuduhan makar. Alfian hanya menulis dan ceramah yang ‘kurang valid angkanya’ dikenai tuduhan pasal ujaran kebencian. Buni Yani hanya menyajikan fakta dan bertanya di facebook tentang ceramah Ahok dikenai pasal ujaran kebencian. Begitu juga Habib Rizieq. Habib selain dibidik pasal-pasal ujaran kebencian juga disidik pasal pornografi. Entah benar atau tidak tuduhan polisi tentang chat pornografi ke Habib, hanya Allah yang tahu. Tapi beberapa ahli IT meragukannya dan Habib pun telah membantahnya.
Politik terkadang kejam. Maka banyak orang menghindarinya. Bahkan Ahok sendiri yang tadinya berkoar ingin menjadi presiden, menyatakan kapok untuk berpolitik dan akan menerjuni bisnis bila ia nanti bebas dari penjara.
Politik dan kekuasaan memang menggiurkan dan kadang mematikan. Menggiurkan, karena di diri manusia ada nafsu untuk menjadi ‘pemimpin’. Mematikan karena nafsu politik bisa membunuh dan menghancurkan bangsa atau dunia.
Lihatlah di Timur Tengah. Karena ulah politik negara-negara besar, Timur Tengah menjadi berantakan kehidupan bangsanya sekarang. Ulah Amerika dan Inggris membuat negara Yahudi Israel pada tahun 1948, menjadikan umat Islam di Palestina dan negara Timur Tengah berkecamuk perang hingga sekarang. Tentu ulah beberapa kepala negara Timteng sendiri juga ambil peranan dalam perang di sana. Seperti sifat keras kepala Bashar Assad yang tidak mau mundur jadi presiden –bandingkan dengan sikap Pak Harto mundur ketika tahun 1998- menjadi negeri Islam itu hancur dan jutaan rakyatnya menderita dan mengungsi sekarang.
Timur Tengah, karena kepala-kepala negaranya tidak menggunakan ‘politik Islam’ lagi –banyak membebek politiknya ke Amerika/Rusia-, juga menjadi kacau sekarang. Perbedaan Sunni Syiah dieksploitir hingga menghalalkan pertumpahan darah. Padahal perbedaan faham itu biasa. Bahkan perbedaan agama antara Islam dan agama-agama lain tidak begitu saja menghalalkan pembunuhan Muslim kepada non Muslim. Islam mengatur sangat ketat adanya pertumpahan darah. Karena itu Al Quran menyatakan bahwa barangsiapa yang membunuh seseorang tanpa kesalahan yang jelas, maka ia seperti membunuh manusia se dunia.
Maaf Lebih Baik dari Balas Dendam
Sejarah membuktikan, politik tokoh-tokoh Islam di Indonesia menunjukkan sifat maafnya. Lihatlah bagaimana pemaaf Hamka. Meskipun ia pernah dipenjara Soekarno dua tahun lamanya, tapi ketika presiden pertama itu wafat, Hamka bersedia mengimami shalat jenazahnya. Mohammad Natsir meskipun dilarang berpolitik praktis oleh Pak Harto, tapi ketika presiden kedua itu membutuhkan bantuan untuk menjalin hubungan baik dengan Malaysia –setelah hubungan Indonesia Malaysia penuh ketegangan karena politik Soekarno-, Natsir pun membantunya. Dan menjadilah hubungan Indonesia Malaysia mesra kembali.
Bagaimana sikap umat Islam ketika masa PKI? Di sini kita harus ingat hukum perang. Bahwa sejak PKI melakukan kudeta berdarah-darah pada G30S PKI, maka PKI sebenarnya telah menyatakan perang terhadap bangsa dan umat Islam. Dan ingat sebelum September 1965, PKI juga telah memerangi dan membunuhi umat Islam di Madiun dan sekitarnya. Maka ketika perang berlangsung, maka jumlah nyawa yang meninggal tidak lagi menjadi perhitungan. Karena dalam perang, yang berlaku adalah prinsip menang dan kalah, ‘berapapun nyawa yang meninggal’ tidak dihitung lagi. Beda dengan prinsip hidup damai, satu nyawa ‘meninggal sia-sia’, menjadi persoalan.
Langkah umat Islam untuk memenjarakan Ahok juga penuh kemaafan. Tidak ada umat Islam yang datang untuk melempar pisau atau menembak Ahok, ketika Ahok terbukti menghina Al Quran. Tokoh-tokoh Islam bersepakat membawa Ahok ke jalur hukum. Umat Islam pun hanya demo-demo orasi di depan Departemen Pertanian –tempat dilakukan sidang Ahok- dan membiarkan pengikut Ahok berdemo di sebelahnya. Di sini kita melihat umat Islam ‘demokratis’ membiarkan suara dari pendukung Ahok bergema di kalangan mereka.
Umat Islam pun tidak mempersoalkan dengan serius ketika pemerintah Jokowi tidak memindahkan Ahok ke LP Cipinang. Padahal kebiasaan hukum di sini, Mako Brimob adalah tempat tahanan sementara, sebelum datang keputusan pengadilan. Bagi umat Islam kebanyakan mereka mengatakan ya sudahlah biarlah, yang penting Ahok akan kapok untuk menghina Al Quran lagi. Dan siapa tahu Ahok di Mako Brimob –entah bermukim di penjara atau di rumah pejabat- Ahok akan sadar kemukjizatan Al Quran. Wallahu a’lam.
Maka, hal yang aneh kemudian bila ‘think tank pendukung Ahok’ melakukan politik yang membabi buta. Alfian hanya omong dan nulis ‘ 80 persen orang PDIP adalah PKI’ di persoalkan. Habib, yang menyatakan Soekarno menaruh sila Ketuhanan di pantat dipersoalkan dan seterusnya. Memang pasal ujaran kebencian ini lebih baik dihapus DPR, karena tidak sesuai dengan ‘alam demokrasi’ di dunia saat ini.
Begitu pula Hizbut Tahrir Indonesia.
Bila direnungkan secara mendalam, maka sebenarnya HTI hanya mempelajari konsep Taqiyudin an Nabhani tentang negara Islam yang ideal. Mereka mempelajari Islam dan mendakwahkan Islam di kampus-kampus dan masyarakat. Dakwah mereka pun mengharamkan kekerasan. Karena tampilan-tampilan dai mereka yang memikat, maka jutaan orang kini menjadi pengikut atau simpatisannya.
HTI secara organsiasi tidak pernah dalam praktek melanggar hukum di Indonesia. Lihatlah demo-demo HTI ke gedung DPR, istana presiden dan lain-lain. Mereka menaati hukum di Indonesia. ‘Secara jujur’ bisa dikatakan FPI dalam politik lebih berani dari HTI. Mengapa HTI dipermasalahkan?
Bila pemerintah membubarkan HTI karena alasan kitab-kitab yang dipelajari oleh pendukung-pendukung HTI akan membubarkan Indonesia, maka ini juga salah alamat. Pemerintah lupa, bahwa ajaran Karl Marx dan Hegel pun kini banyak dipelajari anak-anak muda. Tapi apakah kemudian anak-anak muda itu seratus persen menjadi komunis? Tidak. Mereka ada yang mengambil pemikiran sebagian Marx dan meninggalkan sebagian yang lain.
Begitu pula dengan HTI. Apakah HTI mengambil dan menerapkan sepenuhnya kitab-kitab Taqiyudin an Nabhani? Tidak. HTI, bila kita cermati, ‘mengambil sebagian pemikiran pendirinya dan meninggalkan yang lainnya’. Karena itu, HTI kini seperti organisasi lainnya, bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, diskusi-diskusi dan lainnya. HTI tidak ada niatan sedikitpun untuk mengkudeta pemerintah Indonesia ini. Maka lihatlah ketika Pilkada DKI lalu. HTI yang dulu ‘anti pemilu’, kini menyerahkan pilihan politik kepada masing-masing anggota. Di Pilkada DKI 2017 lalu, HTI tidak mengharamkan pemilu.
Begitulah organisasi atau ‘ideologi’. Ia akan berubah sikapnya sesuai dengan perkembangan zaman. Maka jangan heran bila sosialis komunis berubah di Eropa menjadi sosialis demokrat dan seterusnya.
Maka HTI yang dulu getol menolak demokrasi dan nasionalisme, bukan tidak mungkin nanti menerima ide-ide cendekiawan Islam modern, ada nasionalisme Islam dan demokrasi Islam. Dan arah perubahan itu sebenarnya telah terjadi di tubuh HTI ketika Pilkada DKI lalu.
Maka Perppu 2/2017 yang intinya ingin membubarkan HTI ini salah alamat dan tentu akan digugat oleh puluhan ormas Islam dan jutaan umat Islam yang kini masih ‘silent’ di tanah air. Maka tidak heran bila cendekiawan Islam seperti Amien Rais dan Yusril mengecam keras pemerintah dan mengatakan ‘HTI dibubarkan dan komunis dibiarkan.’
Pemerintah Jokowi harusnya lebih bijak dalam menata negeri yang mayoritas Islam ini. Dengarkanlah suara-suara tokoh-tokoh Islam dari berbagai kalangan di tanah air. Jangan mendengarkan suara Islam dari Aqil Siradj atau ‘PBNU’ belaka. Selain NU masih ada Muhammadiyah, Dewan Dakwah, Persis, Al Irsyad dan puluhan ormas Islam lainnya.
Bila Jokowi tidak mencabut Perppu ini, maka bisa diprediksi gejolak umat akan terus menerus. Yusril Ihza Mahendra dan Amien Rais lebih cendekia dalam politik dibanding Aqil Siradj dan Syafii Maarif.
Lebih baik mengakui kesalahan dan bertobat, dari pada terus melakukan kesalahan.
Negara yang tidak mengakomodir suara mayoritas rakyatnya, maka negara itu akan goncang. Kecuali negara itu menjadi diktator. Dan Jokowi tentu tidak mau dicatat sejarah sebagai seorang diktator Indonesia.
“Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan (ma’ruf) serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf 199) ||
Nuim Hidayat Dachli