Persoalan Kesadaran Lingkungan Perspektif Islam

by

Oleh: Taufik Hidayat

Pendahuluan

Perlakuan buruk terhadap lingkungan merupakan masalah global yang semakin diakui sebagai masalah serius dan kompleks yang dihadapi umat manusia di dunia. Kelebihan penduduk, sumber daya alam yang terbatas, dan penggunaan teknologi modern untuk mengeksploitasi alam secara sewenang-wenang, menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Erosi dan penipisan sumber daya alam, kerusakan lapisan ozon, pencemaran dan perusakan lingkungan menyebabkan ketidakseimbangan ekologi yang pada gilirannya akan membahayakan kelangsungan hidup umat manusia. Masalah lingkungan, menurut Passmore sebagaimana dikutip Sudarminta, mengatakan bahwa terlepas dari pandangan kosmologis tertentu, manusia telah menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam. Oleh karena itu, pengembangan masa percobaan terhadap lingkungan menuntut perubahan mendasar pandangan yang menumbuhkan sikap eksploitatif kosmologis terhadap alam untuk menumbuhkan sikap yang lebih ramah dan menghargai alam.[1]

Tidak ada negara atau masyarakat kebal terhadap atau sepenuhnya bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan. Tetapi, tidak gugur kewajiban untuk lebih siap mengambil tindakan pencegahan dan perbaikan untuk mengurangi potensi kerusakan yang ditimbulkan. Pertimbangan moral, tanggung jawab, dan kepedulian harus menjadi tanggapan utama manusia terhadap kebutuhan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan alami. Masalah lingkungan modern tidak hanya materi tetapi juga dimensi moral dan spiritual.[2]

Bisakah membalikkan degradasi lingkungan dengan mengadopsi kebijakan konservasi pada baik tingkat nasional maupun internasional? Atau mungkinkah seluruh ketidakseimbangan ekologi menandakan krisis spiritual dan teleologis peradaban modern ini? Apakah perlu untuk merevisi dasar cara hidup manusia hari ini?[3] Ini adalah pertanyaan yang akan dibahas dalam esai ini. Menjadi sebuah keyakinan, bahwa dalam konteks lingkungan, sudut pandang dan nilai-nilai berperan memberikan jawaban yang efektif dan komprehensif untuk persoalan lingkungan saat ini.

Problem Kesadaran Lingkungan

Seiring berjalannya dekade, konsep lingkungan di Barat telah melebar dari konservasi satwa liar dan hutan belantara menuju isu-isu seperti penipisan sumber daya tak terbarukan, distribusi sumber daya yang tidak merata, kepunahan spesies, limbah, dan ketidakmampuan umum untuk mendukung tingkat pertumbuhan saat ini. Lingkungan tidak menjadi buruk dalam sekejap, sehingga tidak sedikit pikiran di Barat tentang sains dan teknologi tampaknya telah memburuk. Barry Commoner salah satunya, yang berpendapat bahwa ada beberapa kekurangan nyata atau hal-hal yang salah karena sifat kompleks industri.[4]

Stephen Cotgrove menunjukkan, bahwa tujuan para pencinta lingkungan berhadapan dengan tujuan masyarakat luas.[5] Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa warga negara menaruh nilai tinggi pada cita-cita seperti kebebasan pribadi, hak individu, demokrasi, kesempatan yang sama, pencapaian, kesuksesan, kenyamanan materi, dan kemajuan. `Kualitas lingkungan tidak ada,’ kata Cotgrove. Ini berarti, bahwa gerakan lingkungan harus berubah dari gerakan yang mencari konsensus di dalam masyarakat menjadi gerakan yang bekerja melampaui konflik.

Pendokumentasian permasalahan lingkungan telah menyebabkan perubahan cara pandang di beberapa negara. Waktu konferensi Stockholm, pesan-pesan khas dari para pemerhati lingkungan diantaranya ‘Jangan mencemari’, ‘Jangan menebang hutan’ dan ‘Jangan terlalu banyak menggunakan tanah lapisan atas’.[6] Akhir-akhir ini pesannya lebih positif, seperti `Kembangkan teknologi berwawasan lingkungan’, `Bagikan sumber daya yang terbatas secara adil’ dan `Mengembangkan pemanfaatan berkelanjutan dengan sumber daya energi terbarukan’. Pesan di balik penekanan ini, bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak mungkin terjadi kecuali aspek-aspek yang membentuk lingkungan (tanah, air, hutan, satwa liar, dll.) digunakan dengan cara yang sehat.

Namun, hanya sedikit pemerintah yang mau atau mampu mengambil langkah radikal seperti itu. Jurang antara hal yang harus dilakukan dan hal yang sedang dilakukan menyebabkan kemunculan problem. Di Nairobi pada Mei 1982, ketika bangsa-bangsa di dunia berkumpul untuk merayakan ulang tahun konferensi Stockholm 1972 dan untuk mendedikasikan kembali untuk lingkungan global yang lebih baik. Pidato beberapa kepala negara dan banyak menteri yang mewakili pemerintah terdengar keras dan radikal.[7]

Salah satu penyebabnya adalah bukit-bukit di utara Nairobi ditebangi pohon-pohonnya dalam upaya mengamankan kayu bakar. Sebuah studi oleh Institut Beijer Swedia mengungkapkan, bahwa negara tersebut menghadapi krisis energi atau bencana karena pasokan kayu berkurang.[8] Bagian utara negara itu menderita penggurunan. Artinya, kurangnya kemauan politik untuk mengalokasikan sumber daya secara rasional dan kepentingan umat manusia juga termasuk penyebabnya.

Konsep Sadar Lingkungan dalam Islam

Salah satu kisah yang sering diceritakan oleh umat Islam tentang lingkungan adalah instruksi Abu Bakar, khalifah pertama Islam kepada pasukannya. Selain memberitahu mereka untuk tidak menyakiti wanita, anak-anak dan orang lemah, Abu Bakar memerintahkan mereka untuk tidak menyakiti hewan, merusak tanaman atau menebang pohon. Ada dua elemen yang hadir dalam dekrit ini: pertama, menegakkan keadilan bahkan ketika tentara Muslim berperang, dan kedua, mengakui nilai alam.

Perlu juga dicatat, bahwa lingkungan bukanlah masalah atau subjek untuk perlakuan terpisah dalam kehidupan. Kondisi manusia tidak pernah lepas dari tatanan alam. Hal itu adalah masalah yang harus diperhitungkan pada setiap keadaan. Abu Bakar adalah sosok pertama dari empat khalifah yang menggantikan Nabi setelah kematiannya. Mereka dikenal, karena berusaha memasukkan petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur’an dan teladan Nabi ke dalam aturan mereka.

Pemerintahan khalifah yang berlangsung dari tahun 632 hingga 661 (AD) dan termasuk zaman Nabi, yang ingin ditiru oleh semua Muslim hingga hari ini. Dalam upaya untuk mereproduksi model Nabi, yang dilakukan para khalifah adalah menyusun pola yang akan berkembang menjadi dasar sistem hukum Islam yang dikenal dengan Syariah. Kata Syariah memiliki etimologi yang menarik dengan konotasi lingkungan yang kuat. Kata ini berarti jalan dalam bahasa Arab dan “turunannya mengacu pada jalur yang dilalui makhluk hidup untuk minum di tempat air mereka. Ini adalah jalan yang menuju ke mana air kehidupan mengalir tanpa henti” (Eaton, 1994; 180).[9]

Dalam pengertian lain, dengan tunduk kepada Tuhan, Islam membangun landasan hubungan antara manusia dengan Yang Ilahi. Diantaranya, yakni manusia harus menerima, bahwa mereka diciptakan sebagai makhluk yang bertindak sebagai khalifatu fil ‘ardh. Manusia akan menjadi lebih dekat dengan Allah bilamana berbuat sesuai petunjuk-Nya., termasuk dalam konteks lingkungan, Islam sebagai way of life mengharapkan manusia untuk melestarikan lingkungan sebab beberapa alasan.

Pertama, lingkungan adalah ciptaan Allah SWT.[10] Penciptaan bumi, alam semesta, dan sumber dayanya adalah tanda kebijaksanaan, rahmat, kekuasaan, dan sifat-sifat-Nya yang lain. Hal tersebut memiliki fungsi untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman manusia tentang Tuhan. Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menerangkan tentang hal ini, diantaranya adalah QS. ar-Ra’d: 2-4 dan QS. al-Anbiya: 79.

Kedua, muslim harus berusaha untuk melindungi dan melestarikan lingkungan[11] karena dengan demikian mereka melindungi makhluk Allah SWT yang berdoa kepada-Nya dan memuji-Nya. Umat ​​manusia mungkin tidak dapat memahami bagaimana makhluk hidup yang lain memuji Tuhan, tetapi tidak berarti bahwa mereka tidak melakukannya, sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Isra’: 44.

Ketiga, lingkungan berisi makhluk-makhluk Allah SWT yang oleh para ulama atau cendekiawan Muslim juga layak mendapat perlindungan.[12] Alasan keempat mengapa umat Islam berusaha untuk melindungi dan melestarikan ling kungan adalah, bahwa Islam sebagai cara hidup, didirikan di atas konsep kebaikan (khair). Oleh karena itu, umat Islam diharapkan agar menjaga lingkungan setelah dipahami, bahwa perlindungan tersebut juga baik untuk umat Islam.

Epilog

Alam semesta yang dihuni ini merupakan tanda ciptaan Tuhan termasuk lingkungan batin manusia yang paling dalam. Keduanya berasal dari Satu Sumber dan terikat hanya oleh satu tujuan, yaitu untuk melayani kehendak ilahi. Ikatan kosmik dengan sub-atomik ini bukan hubungan setara seperti dalam hierarki rantai makanan yang didominasi oleh Manusia. Tetapi, hubungan yang utama adalah antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya yang lain. Sang Pencipta juga menetapkan hubungan tambahan, yaitu antara Manusia dan ciptaan-Nya yang lain yang didefinisikan oleh Al-Qur’an dalam Surat al-Baqarah ayat 28, Surat al-Anbiya ayat 16, Surat Sad ayat 26, dan Surat al-Maidah ayat 48.

 

[1] Fathil, Mohd; Saam, Zulfan; Sukendi; Nizar, Samsul. 2015. “Islam and the Environment: Education Perspective”. Al-Ta’lim Journal Vol. 22 No. 2, hal. 97.

[2] Kamali, Mohammad Hashim. 2016. “Islam and the Invironment: An Examination of the Source Evidence”. Springer Selected Conference Papers “Islamic Perspectives on Science and Technology, hal. 171.

[3] Parvezmanzoor, S. 1984. “Environment and Values: The Islamic Perspective”. Manchester: Manchester University Press, hal. 150.

[4] Commoner, Barry. 1974. “The Closing Circle: Nature, Man, and Technology”. New York: Bantam Books, hal. 5.

[5] Cotgrove, Stephen. 1982. “Catastrophe or Cornucopia?”. New York: Wiley, hal. x2.

[6] Timberlake, Lloyd. 1984. “The Emergence of Environment Awareness in The West”. Manchester: Manchester University Press, hal. 128.

[7] Sebagian besar pidato penting yang diberikan di Konferensi Nairobi telah dikumpulkan dalam Edisi Khusus Mazingira 6 (1982).

[8] Aloo, Theresa C. 1993. “A Study by Sweden’s Beijer Institute Revealed That Nairobi Is Facing an Energy Crisis or Disaster Due to A Dwindling Supply of Wood”. Tesis di Universitas Britis Kolombia, hal. 5.

[9] Eaton, G. 1994. “Islam and the Destiny of Man”. Cambridge: Islamic Texts Society, hal. 180.

[10] Khalid, Fazlun. 2010. “Islam and The Environment: Ethics and Practice an Assessment”. Jurnal Religion Compass Vol. 4 No. 11.

[11] Salem, Milad Abdelnabi, dkk. 2012. “Some Islamic Views on Environmental Responsibility”. International Conference on Environment Science and Biotechnology Vol. 48 No. 21.

[12] Abdullah, Abdul Hakim, dkk. 2017. “Islamic View on the Role of Social Environment in Shaping Human Behaviour”. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences Vol. 7 No. 7.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *