PERPPU Ormas Panen Penolakan

by

Wartapilihan.com Di tengah derasnya penolakan, Sukmawati malah mengajak Said Aqil menggalang dukungan.

Kekuatan masyarakat sipil ramai-ramai menolak penerbitan peratusan pemerintah pengganti undang-undang atau PERPPU no 2/2017. PERPPU Ormas yang dilansir pada 10 Juli 2017 tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, itu dinilai zalim.

YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) bersama 15 kantor YLBHI se-Indonesia, dalam siaran pernyataan bersamanya pada 12 Juli 2017 menyatakan, sepintas penerbitan PERPPU itu didasarkan pada niat baik, dimana Pemerintah akan memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara.

Seperti diuraian dalam beberapa pasal PERPPU Ormas, pemerintah seolah akan melindungi warga negara dari tindakan-tindakan diskriminasi atas dasar Suku, Agama dan Ras sehingga Pemerintah dinilai telah memberikan perlindungan terhadap hak warga negara.

Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cara menjamin rasa aman, karena akan menindak Ormas-Ormas yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan dipandang mengganggu ketertiban umum.

Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cera menindak ormas-ormas yang mengambil alih tugas dan wewenang penegak hukum, seperti melakukan sweeping, pembubaran acara atau tindakan-tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), bahkan persekusi.

Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara untuk beragama dengan menindak ormas yang dianggap melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terahadap agama yang dianut di Indonesia.

Negara seolah-olah akan melindungi kedaulatan bangsa ini dengan cara menindak ormas-ormas yang melakukan kegiatan separatis.

Negara seolah-olah melindungi Dasar Negara Pancasila dengan menindak ormas-ormas yang menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Namun, YLBHI menemukan setidaknya 6 kesalahan PERPPU 2/2017. Diantaranya, secara prosedural penerbitan PERPPU tersebut tidak memenuhi 3 syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 38/PUU-VII/2009 yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai; dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU. Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas.

Kedua, PERPPU tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate. Pembatasan kebebasan berserikat hanya bisa dibatasi apabila diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain.

PERPPU sebagaimana dimaksud juga menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan ormas.

Atas Dasar itu, YLBHI dan 15 LBH Kantor se-Indonesia menyatakan protes yang sangat keras atas diundangkannya PERPPU dimaksud.
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwarjono, PERPPU Ormas itu telah menghapuskan seluruh mekanisme uji lembaga peradilan yang diatur Undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas.

“Jika ada kekurangan UU Ormas, silahkan revisi bersama DPR. Bukannya mengeluarkan PERPPU dengan menghapus bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat yang sudah dijamin Konstitusi. AJI menuntut proses pembubaran organisasi apapun harus melalui pengadilan yang adil dan transparan,” kata Suwarjono melalui siaran pers, Kamis (13/7/2017).

Kini, dengan PERPPU Ormas tersebut pemerintah berwenang penuh untuk secara sepihak membubarkan ormas zonder pengadilan.
“Perppu Ormas ini menempatkan pemerintah menjadi penafsir tunggal dalam menilai sebuah ormas layak dibubarkan atau tidak. Perppu tidak membuka ruang bagi lembaga peradilan untuk menguji apakah dasar-dasar pembubaran ormas yang dinyatakan pemerintah sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini berpotensi menjadi pasal yang menindas,” beber Suwarjono.

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho mengatakan Perppu Ormas rawan digunakan Pemerintah untuk memberangus kritik.

“Perumusan penjelasan Pasal 59 ayat (3) huruf a. secara serampangan dapat memperluas dan mengaburkan makna ujaran kebencian. Rumusan penjelasan itu tidak hanya meliputi ujaran kebencian dalam hal agama, ras, suku. Makna ujaran kebencian diperluas sehingga mencangkup pandangan politik maupun ujaran kepada penyelenggara negara. Perumusan ujaran kebencian kepada penyelenggara negara, berikut ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup, sangat berbahaya dan mengancam hak warga negara untuk menjalankan hak konstitusional yang diatur Pasal 28F UUD 1945,” kata Iman.

Iman mengingatkan Indonesia telah mengesahkan ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Angka 3 Pasal 19 Konvenan Sipol pembatasan kebebasan berpendapat hanya dapat dilakukan Negara untuk menghormati hak atau nama baik orang lain atau melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

“Perumusan PERPPU Ormas jauh melampaui pembatasan yang patut menurut ketentuan Konvenan Sipol,” kata Iman.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai, PERPPU Ormas ini adalah sebagai langkah mundur demokrasi di Indonesia khususnya pada kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berekspresi. Jaminan terhadap hak-hak sipil-politik tersebut sudah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945 Pasal 28 E bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

PERPPU Ormas ini misalnya, menghapuskan langkah-langkah persuasif dalam penanganan ormas yang dianggap melakukan pelanggaran. Dalam penanganan ormas-ormas yang dianggap melanggar, sebenarnya UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013 sudah sedikitnya lebih baik ketimbang PERPPU saat ini. Di dalam undang-undang tersebut pemerintah harus melakukan upaya persuasif dan kemudian melalui pengadilan jika pemerintah memandang perlu membubarkan ormas tertentu.

‘’Namun PERPPU Ormas ini memberikan Pemerintah “jalan tol” untuk membubarkan sebuah ormas yang dianggap Pemerintah sebagai ancaman negara,’’ tandas LBH Pers dalam siaran yang diteken Nawawi Bahrudin.
Menurut LBH Pers, PERPPU Ormas ini sangat berbahaya karena memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Pemerintah untuk melakukan pembubaran ormas dan sangat berpotensi menyasar kepada kelompok-kelompok kritis yang mengkritik Pemerintah (Penjelasan Pasal 59 ayat 3).

Berseberangan dengan kekuatan masyarakat sipil, Ketua Umum PNI Marhaenisme Sukmawati Sukarnoputri justru mengapresiasi dan mendukung penuh langkah Pemerintah menerbitkan PERPPU Ormas.

Untuk menggalang dukungan, Sukmawati Sukarnoputri menemui Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj pada Kamis (13/7) siang. Ii

Bowo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *