Pengawasan Pemerintah Lemah

by
Korban selamat tenggelamnya kapal di Toba. Foto: Istimewa

Pemerintah selalu mengklaim keberhasilan pembangunan tol laut, poros maritim, dan sejenisnya, namun faktanya tingkat kecelakaan laut di Indonesia justru terus meningkat, khususnya angka kecelakaan kapal penumpang.

Wartapilihan.com, Jakarta – Hanya berselang empat hari sejak terjadinya kasus tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Bangun, pada Jumat malam, 23 Juni 2018, kembali terjadi kecelakaan KM Ramos Risma Marisi juga di perairan Danau Toba. Hal ini mengundang keprihatinan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. KM Sinar Bangun dan KM Ramos merupakan kapal penyeberangan yang beroperasi di Perairan Danau Toba.

“Ini memprihatinkan. Saya ikut berduka cita atas terjadinya kecelakaan-kecelakaan tersebut. Berdasarkan data dari Kantor SAR Medan yang saya ikuti, sejauh ini jumlah korban selamat KM Sinar Bangun ada 19 orang, 3 orang ditemukan meninggal dunia, dan masih ada sekitar 184 orang yang dalam proses pencarian. Sementara, korban hilang KM Ramos tercatat 1 orang, 4 lainnya selamat. Kita semua tentu berharap semoga para korban yang hilang bisa segera ditemukan,” ujar Fadli di Jakarta, Sabtu (23/6).

Terkait kecelakaan KM Sinar Bangun, dirinya membaca pemerintah sudah memberi pernyataan akan memberikan santunan bagi para korban dan jaminan biaya perawatan. Kebijakan tersebut memang sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Namun, selain memberikan santunan dan jaminan untuk para korban, hal mendesak yang perlu segera dilakukan pemerintah adalah membenahi sektor transportasi laut (termasuk danau).

“Pemerintah selalu mengklaim keberhasilan pembangunan tol laut, poros maritim, dan sejenisnya, namun faktanya tingkat kecelakaan laut di Indonesia justru terus meningkat, khususnya angka kecelakaan kapal penumpang. Bulan Juni 2018 saja, saya catat ada empat kasus tenggelamnya kapal yang mengangkut penumpang. Selain kecelakaan KM Sinar Bangun dan KM Ramos, kurang dari seminggu sebelumnya juga terjadi kasus tenggelamnya KM Albert di Pulau Maspari, Sumatera Selatan, dan KM Arista yang tenggelam di Perairan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Menurut saya, kecelakaan laut beruntun yang terjadi menjelang dan sesudah Lebaran ini perlu dievaluasi serius,” tukas Fadli.

Dikatakan Fadli, dari empat moda transportasi, angka kecelakaan transportasi udara dengan kereta api di Indonesia sebenarnya telah menurun signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun khusus untuk transportasi laut, angka tahun lalu saja angkanya naik hampir 100 persen jika dibandingkan angka tahun 2016.

Menurut data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tahun 2016 jumlah kecelakaan laut hanya sebanyak 18. Namun sepanjang tahun 2017, angkanya meningkat menjadi 34 kecelakaan.

Sebagai catatan, jumlah kecelakaan laut sejak 2012-2017 terdata sebanyak 107 kecelakaan, terdiri dari kasus 29 kapal tenggelam, 40 kapal terbakar, 24 kapal tubrukan, 10 kapal kandas dan 4 lain-lain. Secara keseluruhan, jumlah korban meninggal sebanyak 931, dan korban luka-luka 631.

“Kalau kita perhatikan, penyebab utama terjadinya kecelakaan transportasi laut dan besarnya jumlah korban adalah akibat lemahnya pengawasan. Untuk kasus KM Sinar Bangun, misalnya, bagaimana bisa kapal penumpang tak punya manifes? Bagaimana bisa kapal yang tak memiliki manifes diizinkan berlayar? Itu semua menunjukkan pengawasan sektor transportasi laut memang sangat minim. Pemerintah tidak boleh terus-menerus hanya mengurusi jalan tol atau bandara saja dan mengabaikan moda transportasi lainnya,” tegasnya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dan diberi perhatian. Pertama, KNKT semestinya tak lagi hanya menyelidiki soal penyebab terjadinya kecelakaan, tapi juga mengevaluasi prosedur boleh tidaknya sebuah kapal berlayar. Menurut UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, otoritas pelabuhan dan syahbandar mengemban fungsi pengawasan tersebut. Merekalah yang memungkinkan sebuah kapal bisa berlayar atau tidak.

“Jadi, otoritas pelabuhan dan syahbandar harus ikut dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya perusahaan pemilik kapal. Dalam kasus KM Sinar Bangun, otoritas pelabuhan setempat terbukti lalai dalam melakukan pengawasan, sehingga membiarkan KM Sinar Bangun meninggalkan pelabuhan dengan kelebihan penumpang,” katanya.

Kelalaian itu juga bisa dilihat dari tidak adanya manifes penumpang, padahal manifes kapal merupakan prasyarat untuk standar operasional sebuah kapal. Dengan kelalaian tersebut, seharusnya otoritas pelabuhan dan syahbandar bisa diancam delik pidana. “Jika tidak, kasus kelalaian yang mencelakakan semacam ini akan terus terulang,” ingat dia.

Kedua, secara teknis kasus kecelakaan yang meminta banyak korban biasanya terjadi akibat kelebihan muatan dan penyalahgunaan peruntukan. Dalam kasus KM Sinar Bangun, misalnya, menurut Kementerian Perhubungan kapasitas kapal tersebut hanya 43 penumpang, tapi dijejali lebih dari 192 penumpang. Atau, dalam kasus KM Arista, kapal tersebut bukanlah kapal penumpang, tapi kemudian dijadikan kapal penumpang. Sehingga, saat terjadi kecelakaan kapal tidak menyediakan perlengkapan keselamatan memadai.

“Pelanggaran semacam itu biasanya terjadi karena tidak ada sarana transportasi memadai yang bisa digunakan oleh penduduk, baik jumlah maupun frekuensi. Ini perlu segera diatasi oleh pemerintah. Apalagi, kecelakaan ini terjadi di tengah suasana Lebaran. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, seharusnya sudah mengantisipasi lonjakan penumpang transportasi laut,” ungkap dia.

“Ke depan kita berharap agar kasus-kasus semacam ini tak terulang kembali,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *