Oleh: Ahmad Zuhdi, Jurnalis Warta Pilihan.
Keyakinan sebagai penyambung semangat para tokoh sejarah harus menjadi “tajuk utama” di dalam pemikiran dan perencanaan ke depan. Inilah saat yang tepat bagi para jurnalis untuk menshodaqohkan spirit kemanusiaan dalam kerja-kerja jurnalistik.
Wartapilihan.com, Jakarta – Saat ini, seluruh dunia sedang mengalami musim semi. Semua orang bersepakat bahwa masa depan bangsa harus menjadi lebih baik walau sebesar apa pun fakta sejarah di masa lalu tak dapat dihindari. Itulah sebabnya, kita harus membuka mata pada kondisi orang-orang yang ikut membangun fenomena universal ini dengan penuh kesungguhan tekad, dan kinerja yang luar biasa baik.
Segala tujuan dan eksistensi setiap insan sama sekali tidak berhubungan atau pun membutuhkan kekuatan fisik. Sebagai seorang muslim, tentu kekuatannya tunduk pada kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kebenaran itu akan selaras dengan pemikiran, interpretasi terhadap karya dan ketelitian. Semua itu belum termasuk apresiasi pada bidang teknik dan teknologi, industri, jurnalisitik, dan keyakinan pada urgensi untuk mengimplementasikan semua itu di Negara Kesatuan Repubik Indonesia.
Itulah sebabnya, saat ini bangsa Indonesia membutuhkan para pembimbing yang memiliki kecerdasan tinggi, pemikiran tajam, dan wawasan luas yang mampu menegakkan standar kemanusiaan, menaikkan kualitas pemikiran bangsa, membimbing menuju puncak spiritualitas, dan mampu menghantarkan setiap jiwa yang merindukan surga menuju keabadian. Negara ini membutuhkan pahlawan yang memiliki akhlak, keluhuran, iman, dan cita-cita tinggi, sekaligus jauh dari semua tendensi material maupun immaterial.
Osman Raliby, Intelektual Ahli Propaganda. Tertarik kepada Dunia Jurnalistik
Sejak masih di MULO, Raliby sudah tertarik kepada dunia jurnalistik. Dia menerbitkan Suara Pelajar yang sering memuat pemikiran kritis terhadap kebijkan pemerintah kolonial Belanda. Dalam usia belia, Raliby menjadi kontributor untuk harian Pergaulan yang terbit di Banda Aceh, dan harian Pewarta Deli yang terbit di Medan. Menjelang akhir dekade 1930-an, Raliby menjadi koresponden majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpin oleh HAMKA dan M. Yunan Nasution. Ia juga menjadi kontributor majalah Medan Islam, dan Dewan Islam yang semuanya terbit di Medan.
Selama kuliah di Mesir, Raliby juga menjadi kontributor tetap untuk majalah Indonesia yang diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia di Den Haag, Belanda. Di majalah tersebut, Raliby selalu menulis dalam bahasa Jerman. Raliby memang seorang poliglot. Dia mampu menulis dan berbicara secara fasih di dalam bahasa Arab, Belanda, Jerman, Prancis, Italia, dan Spanyol.
Di masa kemerdekaan, sebagai Kepala Jawatan Penerangan Aceh, Raliby, menerbitkan majalah Fragmenta Politica yang bersifat semi ilmiah, berisi analisis masalah politik dalam dan luar negeri. Di masa Demokrasi Terpimpin, Raliby menjadi pembantu ahli majalah Gema Islam. Raliby juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi Suara Masjid yang diterbitkan oleh Ikatan Masjid Indonesia (IKMI).
M. Yunan Nasution, Berdakwah dengan Pena, Kata-kata, dan Perbuatan
Mohammad Yunan Nasution lahir di Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada 22 November 1913, wafat di Jakarta pada 29 November 1996. Pendidikannya dimulai di HIS Kotanopan. Dia juga sempat belajar di Diniyah School, lalu pindah ke Parabek, pusat pendidikan Islam di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Syaikh Ibrahim bin Musa.
Sejak usia muda, Yunan sudah sangat menyadari pentingnya ikhtiar mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa. 17 tahun sebelum Indonesia merdeka dan merumuskan janji kemerdekaan seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”, Yunan telah tampil ke depan mendirikan pers-biro (kantor berita) Himalaya di Bukittinggi.
Melalui pers-biro ini, Yunan ingin apa yang terjadi di masyarakat masa penjajahan tidak hanya menjadi masalah orang perorang atau sekadar menjadi isu lokal, melainkan dapat diketahui oleh kalangan yang lebih luas. Yunan percaya satu-satunya cara untuk menyebarluaskan penderitaan masyarakat di masa penjajahan itu ialah melalui tulisan. Dan Yunan memiliki kemampuan merumuskan pikirannya dalam bentuk tulisan.
Aktivitasnya mewartakan penderitaan masyarakat jajahan secara lisan dan tulisan, membuat pemerintah kolonial Belanda marah. Pada Agustus 1933, Yunan ditangkap, diadili, dan dijebloskan ke penjara selama 4 bulan. Karena Yunan dipenjara, maka pers-biro Himalaya -yang selama satu setengah tahun telah tampil sebagai pers-biro kaum pergerakan-goyah sebelum akhimya berhenti sama sekali.
Pedoman Masjarakat
Keluar dari penjara, Yunan terkena larangan tinggal di Bukittinggi. Dia hijrah ke Medan. Di Medan, bersama A. Wahid Er dan H. Madjid Abdullah, Yunan menerbitkan majalah Soeloeh Islam. Majalah yang terbit sejak awal 1934 sampai pertengahan 1935 ini mengunjungi pembacanya sepuluh hari sekali atau tiga kali dalam satu bulan. Sasaran Soloeh Islam ialah para intelektual Muslim yang diharapkan dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan, karena para intelektual Muslim waktu itu banyak menjadi pegawai negeri dan swasta.
Sejak itulah nama M. Yunan Nasution lekat sebagai salah seorang tokoh pers nasional. Menjelang akhir 1935, Yunan diserahi tanggung jawab mengatur seluruh isi majalah Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan sejak 1935, dan yang telah berubah dari majalah bulanan menjadi majalah mingguan Sejak I936, Yunan berduet dengan sahabat karibnya, H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) membesarkan majalah yang memiliki motto: ”Memajukan pengetahuan dan peradaban berdasarkan Islam.
Sejumlah penulis berkualitas muncul di Pedoman Masjarakat, antara lain Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, AR. Sutan Mansur, Saaduddin Djambek, Abikusno Tjokrosujoso, KH. Mas Mansur, A. Hasymi, Joesoef Souy’b, A. Latif Osman, Dr. A.K. Gani, Mr. Mohammad Yamin, Dr. G.S. Ratu Langie, Dr. R. Ng. Purbatjaraka, Dr. Satiman Wirjisandjojo, Dr. Soepomo, Parada Harahap, Dr. M. Amir, Rasuna Said, Ny. Sri Mangunsarkoro, Ny. Maria Ulfah, dan Nadimah Tanjung.
Pedoman Masjarakat yang berbobot itu harus mengakhiri riwayatnya seiring dengan masuknya tentara pendudukan Jepang. Namun Yunan dan HAMKA tidak berputus asa. Di masa sangat sulit itu, kedua sahabat itu menerbitkan media sebagai ajang silaturahmi berupa majalah setebal 24 halaman dan diberi nama Semangat Islam. Setelah menjalin silaturrahmi selama dua tahun dengan pembacanya, Semangat Islam berhenti terbit karena terlampau ketatnya sensor balatentara Jepang.
Wartawan Muslimin Indonesia
Tidak berhenti sampai menjadi pengelola majalah, Yunan pun aktif dalam pembentukan dan kepengurusan Persatuan Wartawan Muslimin Indonesia (Warmusi) sebagai Sekretaris Jenderal. Wamusi bertujuan: 1. Mempertinggi dan mempertahankan derajat persuratkabaran Islam di Indonesia, dan 2 Mempertahankan dan mensyiarkan Islam. Dengan tujuan seperti itu, Warmusi menjadi pembela profesi wartawan Muslim. Menggerakkan dan menuntun generasi muda Muslim yang berminat menjadi wartawan, dan menganjurkan aksi bersama jika terhadap hal-hal yang melukai perasaan kaum Muslim.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Yunan bersama Wahab Siregar, M. Saleh Umar, dan Udin Siregar; mendirikan harian Mimbar Umum di Medan.
Selanjutnya bersama Mahals mendirikan Islam Berdjuang, juga di Medan. Sesudah Republik Indonesia Serikat (RIS) kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Yunan bersama Zainal Abidin Ahmad, Suardi Tasrif, dan Mohammad Sardjan mendirikan dan aktif dalam harian Abadi, organ resmi Partai Masjumi, sampai koran tersebut diberangus oleh rezim Sukarno.
Sesudah rezim Sukarno tumbang digantikan oleh rezim Soeharto, Abadi terbit kembali, Yunan pun kembali aktif di Abadi sampai koran penyuara kebenaran itu diberangus oleh rezim Soeharto pada 1974 menyusul huru-hara di Jakarta pada 15 Januari 1974.
Tidak mau absen dalam menyebarluaskan pikirannya kepada masyarakat luas, sebagai Ketua Dewan Da’wah lslamiyah Indonesia Perwakilan Jakarta Raya, Yunan menerbitkan Bulletin Da’wah yang khusus berisi masalah-masalah Da’wah dalam arti luas.
Bulletin Da’wah yang terbit dengan satu judul tulisan setiap hari Jum’at beredar dan seolah menjadi bacaan wajib jamaah masjid dari Sabang sampai Merauke.
Pada mulanya Yunan rutin menulis di rubrik “Mimbar Jum’at” harian Abadi. Ketika Abadi diberangus oleh rezim Orde Baru, Yunan menyalurkan kebiasaannya itu di Bulletin Da’wah yang sudah terbit sejak 1973. Yunan mengundang para penulis lain untuk menulis di Bulletin Da’wah. Setiap tahun, tulisan-tulisan di Bulletin Da’wah itu dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku dengan judul Bunga Rampai Ajaran Islam.
Zainal Abidin Ahmad, Penulis dan Jurnalis Produktif
Zainal Abidin Ahad, Prof., K.H., lahir di Sulit Air, Sumatera Barat pada 11 April 1911, wafat di Jakarta pada 25 April 1983 bertepatan dengan 13 Rajab 1403. Memulai masa pendidikan dengan mengaji di surau Tabing di bawah asuhan seorang pejuang anti-Belanda, Angku Datuk. Melalui Angku Datuk, kesadaran sebagai bangsa terjajah, mulai memasuki jiwa Zainal Abidin kecil. Setelah dari surau Tabing, Zainal mengaji di surau Nunang di bawah asuhan Haji Muhammad Saleh, keluaran Sekolah Thawalib di Padang Panjang, murid Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul).
Dari mengaji di surau, Zainal menempuh pendidikan formal di Volkschool (Sekolah Desa). Belum lama mengikuti pendidikan di Volkschool, karena kecerdasannya, Zainal dianjurkan oleh guru kepala untuk pindah ke Sekolah Gubernemen (Goevernement Inlandshe School). Ketika dites, hasilnya sungguh mengagetkan. Zainal layak langsung masuk ke kelas dua. Tamat dari Volkschool, Zainal melanjutkan ke Sekolah Thawalib di Padang Panjang. Kecerdasan otaknya terbukti Iagi. Pendidikan yang seharusnya ditempuh selama 7 tahun, mampu diselesaikan oleh Zainal hanya dalam tempo 5 tahun.
Selama belajar di Thawalib, kemudian di Diniyah School, Zainal merasa banyak memperoleh kemajuan. Hal itu tidak terlepas dari peranan para guru yang membimbingnya. Dalam usia 16 tahun, Zainal sudah berkenalan dan berguru kepada tokoh reformasi Islam, H. Rasul. Zainal juga berguru kepada Tuanku mudo Abdul Hamid Hakim. Dari kedua gurunya itu, Zainal belajar ilmu-ilmu keislaman sekaligus mendalami adat istiadat Minangkabau.
Menjadi Penulis dan Jurnalis
Menyadari Pengabdiannya di dunia pendidikan dibatasi, Zainal mencoba berpindah haluan. Dia ingin menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang dimilikinya ke luar batas dinding-dinding sekolah. Sebuah tulisannya, “Sejarah Islam dan Pergerakannya”, dia kirim ke majalah As-Siyasah yang terbit di Solo. Di luar dugaan Zainal, As-Siyasah yang dipimpin oleh seorang tokoh Muhammadiyah, Syamsu Hadiwiyata, memberi tempat terhormat kepada tulisannya. Tulisan Zainal itu dimuat secara bersambung selama satu tahun, 1920-1930. Tentu saja Zainal mendapat honorarioum atas tulisannya itu.
Dengan pengalaman pertamanya itu, semangat menulis Zainal bangkit. Dia membuat tulisan “Perempuan di Lapangan Pergaulan dan Pergerakan”, dan kembali dikirimnya ke As-Siyasah. Lagi-Iagi tulisan itu dimuat secara bersambung. Yang amat membanggakan Zainal, As-Siyasah memberi tahu bahwa kedua tulisan Zainal itu akan diterbitkan menjadi buku.
Naskah ketiga segera disusunnya, ”Senjata Hidup.” Kali ini, atas bantuan H. Aminullah Jakub, pemilik percetakan Kahamy, naskah tersebut dicetak menjadi buku. Berbekal buku Senjata Hidup, Zainal meninggalkan kampung halamannya menuju Medan, kota yang di masa itu ramai dengan penerbitan. Tekadnya sudah bulat, akan menerbitkan majalah. Dan pada 1934, tekad itu berhasil diwujudkan dengan terbitnya majalah Islam tengah bulanan, Pandji Islam.
Baru 2,5 bulan Pandji Islam terbit, Zainal sebagai pemimpin redaksi, ditangkap oleh polisi Belanda, karena Pandji Islam memuat puisi yang dianggap menghasut. Zainal mendekam di penjara selama enam bulan. Keluar dari penjara, Zainal kembali memimpin Pandji Islam sampai majalah itu dilarang terbit oleh tentara pendudukan Jepang.
Karena tidak mau bekerja sama dengan Jepang, Zainal pindah ke Singapura. Di Singapura Zainal menjadi pemimpin umum majalah Fadjar Asia, dan harian Berita Melayu yang diterbitkan dari Singapura.
Sampai Indonesia merdeka, karir kewartawanan Zainal tidak pernah terputus. Pada 1934-1942, memimpin Pandji Islam di Medan. Pada 1937 hingga 1942, Zainal memimpin majalah Al-Manar di Medan. Pada 1937-1942, Zainal diberi amanah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Muslimin Indonesia (Warmusi) Medan.
Memimpin majalah Fadjar Asia (1943-1945), dan Berita Melajoe (1944-1945) di Singapura. Pada 1947-1948, di yogyakarta, Zainal memimpin majalah tengah bulanan Indonesia Rafa. Pada 1950 menjadi direksi harian Pemandangan di Jakarta. Pada 1951-1957, bersama M. Yunan Nasution, dan Suardi Tasrif, mendirikan harian Abadi, di Jakarta. Zainal diamanahi menjadi pemimpin umum surat kabar Partai Masyumi itu.
Khulasah
Beberapa tokoh sejarah di atas adalah manusia pemikir dan penggerak. Yaitu sosok pribadi pendobrak revolusioner yang tak pernah berhenti bergerak mengikuti derap langkah yang selalu mengikat seluruh dunia dalam satu sistem. Tokoh-tokoh ini sempat tak dikenal oleh generasi muda hari ini, terutama para jurnalis muslim. Dimana mereka mampu kembali melakukan gerakan untuk membangun spiritualitas dan moral umat serta kembali melakukan interpretasi atas nilai jurnalistik.
Manusia pemikir dan penggerak adalah mereka yang selalu berada di atas jalan kedamaian, dari kedamaian perasaan hingga ketajaman pemikiran, yang terbentang pada setiap tahapannya dan terus berlanjut pada kehidupan nyata. Mereka selalu menjaga sistem dan keteraturan serta selalu sibuk dengan upaya rekonstruksi dan pembangunan masyarakat melalui karya jurnalistik. Merekalah para Waliy al-Haqq al-Ladunni (soldiers of truth) yang menyiapkan regenerasi para arsitek pemikirian dan karya jurnalistik.
Para tokoh tersebut tidak suka menggunakan kekuatan fisik atau pun mengerahkan kekuatan bersenjata ketika ingin menegakkan keadilan di hadapan penguasa dzalim. Mereka selalu meniupkan ruh intelektual sembari membangun segala hal yang telah hilang. Serta mampu menselaraskan kehendak sang Mahamutlak, sehingga mampu mengubah kebodohan menjadi kecerdasan dan kelemahan menjadi kekuatan.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak pernah peduli pada entitas dan realitas yang berlaku di sekelilingnya pasti tidak akan pernah selamat. Mereka hanya akan menghabiskan hidup dalam kegelapan labirin egoisme yang tak berujung. Bukankah sejarah telah menyaksikan bahwa periode di mana manusia mengalami kemajuan adalah periode ketika mampu berjalan “bergandengan-tangan” dengan entitas di sekelilingnya.
Jika para pewaris sejarah (baca: jurnalis) tidak menunaikan misi yang berhubungan dengan hari ini dan esok, maka tanggungjawab jurnalisme menjadi paradoks karena telah menghancurkan jembatan yang menghubungkan dengan masa depan. Maka, keyakinan sebagai penyambung semangat para tokoh sejarah harus menjadi “tajuk utama” di dalam pemikiran dan perencanaan ke depan. Inilah saat yang tepat bagi para jurnalis untuk menshodaqohkan spirit kemanusiaan dalam kerja-kerja jurnalistik.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba jurnalistik yang diselenggarakan oleh lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap.