Pemimpin Juga Perlu Nasihat

by
Abu Ja'far al Mansur. Foto : peradabansejarah.blogspot.co.id

Khalifah Abu Ja’far al Manshur mendapat nasihat yang pedas dari sahabatnya, Amr bin Ubaid…

Wartapilihan.com – Nasihat. Nasihat. Nasihat.

Itulah yang diharapkan Abu Ja’far al manshur selepas menjadi orang nomer satu Dinasti Abbasiyah di Irak. Dia sepenuhnya sadar, meski menjadi orang nomer satu, dia tetap memerlukan nasihat. Ya nasihat dari seseorang yang memiliki kalbu dan pikiran jernih, bening dan cemerlang.

Sebuah nama terbersit dalam benak Abu Ja’far al Manshur, Amr bin Ubaid ulama yang terkenal cerdas. Betapa dia kini ingin bertemu dengan sahabat akrabnya semasa remaja itu. Sahabat yang pernah menimba ilmu bersamanya itu kini telah menjadi seorang ulama, ahli ilmu kalam dan orator terkemuka Bashrah, kota pertama yang dibangun kaum Muslim.

Oleh karena itu khalifah kedua Dinasti Abbasiyah ini segera mengirim utusan untuk mengundang Mufti Bashrah bersama lengkap Amr bin Ubaid bib Bab at Taimi ke Baghdad Darus Salam ini.

“Apa sebenarnya yang diinginkan sang khalifah?”gumam ulama berdarah Persia ketika menerima undangan itu. “Bukankah aku kini jauh darinya. Lagi pula selepas dia memegang tampuk pemerintahan, aku kini tidak ingin mengunjunginya. Memang dahulu dia adalah sahabat karibku. Allah Maha Mengetahui, selama ini aku senantiasa menjauhi para penguasa, laksana seseorang yang senantiasa berusaha menjauhi oenyakit kudis. Memang mendekati mereka juga memiliki dampak positif. Karena lewat kunjungan itu, dosa-dosa besar mereka dapat diredam manakala mereka mau melaksanakan nasihat dan kritik yang dikemukakan pada mereka.”

Akhirnya Amr bin Ubaid memutuskan untuk memenuhi Abu Ja’far al Manshur. Menurut pengamatannya, sahabat yang satu itu kini telah berubah menjadi seorang penguasa otoriter karena seluruh sikap dan tindakannya hanya untuk memantapkan dan melanggengkan kekuasaan yang kini berada dalam genggaman tangannya. Dia merasa berkewajiban mengingatkan sahabatnya itu dan tidak memedulikan akibatnya.

Setiba Amr bin Ubaid di istana nan megah dan mewah yang didirikan Abu Ja’far al Manshur di Baghdad Darus Salam, dia pun disambut dengan penuh keakraban dan penghormatan.

“Abu Utsman, berilah aku nasihat.”

Amr bin Ubaid pun menatap lama wajah sahabatnya dengan tatapan yang mengungkapkan segenap penentangan dan pengingkaran yang bergelora dalam hatinya. Akhirnya dia menjawab dengan ucapan basmalah dan firman Allah SWT :

Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan[3] bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ‘Aad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan (terhadap) kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan (terhadap kaum) Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (bangunan yang besar,  yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu. Karena itu Tuhanmu menimpakan cemeti azab kepada mereka, Sesungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.  (QS al Fajr : 6-14)

Amr bin Ubaid mengulang-ulang firman Allah SWT itu dengan tujuan mengingatkan sahabatnya yang suka betindak sewenang-wenang sebagai penguasa. Mendengar firman Allah SWT akhirnya Abu Ja’far al Manshur memahami arah maksud sahabatnya. Dia pun tidak kuasa menahan lelehan air matanya.

Melihat keadaan sang penguasa yang demikian itu, Amr bin Ubaid lantas berucap kepadanya,”Amirul Mukminin. Sungguh Allah SWT telah menganugerahkan dunia seluruhnya. Oleh karena itu belilah dirimu dengan sebagian dunia itu. Ketahuilah apa yang kini engkau raih itu dulunya milik orang lain. Lantas dia diserahkan kepadamu. Demikian pula kelak dia akan berlalu darimu dan beralih kepada orang selepas darimu. Aku ingatkan engkau, simaklah malam yang memunculkan pagi. Itulah pertanda kiamat.”

Abu Utsman,”sergah seseorang yang hadir dalam pertemuan itu. “Ringankanlah beban Amirul Mukminin. Ucapanmu itu membuat kian berat beban yang dia sangga!”

“Siapa kau?” sahut Amr bin Ubaid seraya menatap tajam wajah orang itu.

“Apa engkau tidak mengenalnya Abu Utsman?” Tanya Abu Ja’far al Manshur.

“Tidak. Aku tidak peduli, apakah aku mengenalnya atau tidak.”

“Dia adalah sahabatmu, Sulaiman bin Mujahid.”

Mendengar nama itu disebut, Amr bin Ubaid pun berucap dengan nada ketus,”Celaka kau Sulaiman bin Mujahid. Kau merasa sedih mendengar nasihatku kepada Amirul Mukminin. Lantas kau berusaha menghalang-halangi antara dia dan orang yang menasihatinya. Amirul Mukminin! Orang seperti inilah yang menjadikan dirimu sebagai tangga untuk merengkuh nafsunya. Kau tidak ubahnya orang yang mengambil dua ekor domba bertanduk. Sementara orang-orang selainmu yang memeras susunya. Takutlah kepada Allah SWT. Karena kau akan jadi mayat sendirian, dihisab sendirian dan dibangkitkan dari alam kubur sendirian. Mereka sedikitpun tidak kuasa memberikan pertolongan kepadamu di saat menghadap Allah SWT.”

“Abu Utsman,” sergah Abu Ja’far al Manshur. “Aku hanya mengangkat sahabat-sahabatmu sebagai pembantuku. Aku ingin menolong mereka. Bukan yang lain.”

“Amirul Mukminin,” sahut Amr bin Ubaid. “Tegakkan kebenaran. Dengan demikian, tentu engkau akan mendapatkan pengikut dari kalangan para pejuang kebenaran!”

Usai berucap demikian, Amr bin Ubaid meliha seorang anak muda yang mengenakan pelbagai atribut kebesaran kemewahan. Manakala dia mengetahui anak muda itu adalah al Mahdi, putra Ja’far al Manshur yang belum lama diangkat sebagai putra mahkota, Amr pun berucap dengan nada geram.

“Amirul Mukminin. Demi Allah telah engkau berikan untuknya sebuah nama yang tidak pantas dengan perbuatannya. Telah engkau kenakan kepadanya sebuah busana yang tidak pantas dikenakan orang yang tidak lurus seperti dia. Telah engkau bebankan atas dirinya suatu urusan (pemerintahan) yang menurutnya paling membahagiakan dalam hidupnya, sedangkan sejatinya paling berat dia sangga.”

“Apa engkau memiliki keperluan Abu Utsman?” sela Abu Ja’far al Manshur demi mengalihkan perbincangan yang semakin panas.”

“Ya.”

“Apa keperluanmu?”

“Bukankah aku ke sini atas undanganmu?”

“Benar. Kalau engkau tidak datang, tentu kita tidak akan bertemu.”

“Karena engkau tanyakan kepadaku perilah keperluanku, maka kujawab bahwa keperluanku kini adalah berlalu darimu.”

Usai berucap demikian, Amr bin Ubaidpun meninggalkan istana dan kemudian kembali ke Bashrah. || Sumber : Islamic Golden Stories, Tanggung Jawab Pemimpin Muslim, Ahmad Rofi’ Usmani, Bunyan, 2016.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *