Hanya sehari, Kementerian Keuangan merevisi aturan terkait pemeriksaan rekening keuangan nasabah. Ada apa?
Wartapilihan.com, Jakarta – Awalnya, pada Selasa 6 Juni lalu, Kementerian Keuangan merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Dalam aturan ini batas minimum saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan secara berkala oleh lembaga keuangan adalah Rp 200 juta bagi orang pribadi. Namun sehari kemudian, batas minimal itu diubah menjadi Rp 1 miliar.
Pihak Kementerian Keuangan beralasan, revisi ini dilakukan setelah mempertimbangkan masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan agar kebijakan tersebut lebih mencerminkan rasa keadilan.
Selain itu, alasan adanya revisi ini adalah ingin lebih berpihak terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, dan memperhatikan aspek kemudahan administrasi bagi lembaga keuangan untuk melaksanakannya.
Revisi batasan saldo ini juga mempertimbangkan data rekening perbankan, data perpajakan termasuk yang berasal dari program tax amnesty, serta data pelaku usaha. PMK ini sebenarnya merupakan aturan teknis dari Perpu No.1 tahun 2017 tentang Keterbukaan Akses Keuangan Untuk Keperluan Perpajakan.
Dengan perubahan batasan minimum menjadi Rp 1 miliar tersebut, maka jumlah rekening yang wajib dilaporkan adalah sekitar 496 ribu rekening atau 0,25% dari keseluruhan rekening yang ada di perbankan saat ini. Jumlah tersebut turun dari yang semula 2,3 juta atau 1,14% dengan saldo minimum Rp 200 juta.
Langkah pemerintah ini memang perlu diapresiasi. Karena, pemerintah sudah memperhatikan aspirasi dan kegelisahan masyarakat dan pelaku UMKM yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang dapat mengganggu industri keuangan kita.
Revisi ini mengindikasikan bentuk sensitivitas dan respons cepat pemerintah terhadap dinamika di masyarakat. Namun adanya perubahan kebijakan ini di sisi lain juga menandakan, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan kurang berhati-hati dalam membuat keputusan, khususnya yang punya dampak strategis.
Padahal, kebijakan publik yang bersifat strategis seharusnya dalam penyusunannya memerlukan kehati-hatian, kecermatan sehingga tidak menimbulkan gejolak dan penolakan dari masyarakat setelah disahkan Kementerian Keuangan, bahkan sudah beberapa kali mengulangi kesalahan yang sama. Karena hal seperti ini juga sempat terjadi ketika dikeluarkannya aturan tentang laporan penggunaan kartu kredit dan deposito terkait perpajakan, namun, wacana adanya ketentuan ini, belakangan dibatalkan.
Jadi Kementerian tidak belajar dari kesalahan, bahkan sangat mudah merevisi peraturan. Padahal perangai seperti ini akan membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah, baik nasional maupun internasional, menurun. Akibatnya bisa fatal bagi kondisi investasi di Indonesia.
Ke depan, lembaga pemerintahan, khususnya yang punya fungsi sebagai pengambil keputusan perlu dan wajib untuk mengkaji peraturan terlebih dahulu sebelum dikeluarkan, melalui dengar pendapat dengan akademisi atau perwakilan publik, sehingga aturan yang dihasilkan tidak memunculkan gejolak.
Apalagi, aturan soal keterbukaan informasi perbankan ini juga dinilai bisa punya dampak negatif bagi sektor terkait. Terutama soal keamanan dan jaminan data, di mana semua informasi yang diserahkan ke pihak pemerintah itu, tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dalam usaha menjamin adanya keadilan penggunaan informasi ini, pemerintah memang sudah membuka layanan informasi dan pengaduan bagi masyarakat yang menerima perlakuan tidak adil atau tidak menyenangkan dari petugas pajak terkait akses keuangan tersebut.
Meski begitu, semua berharap, keterbukaan informasi data perbankan ini bukan sebagai alat mencari-cari masalah Wajib Pajak di Indonesia. Pemerintah memang punya dasar, pembukaan akses bukan semata maunya Indonesia namun kesepakatan internasional. Di mana Indonesia akan terlibat dalam program Automatic Exchange of Information (AEOI).
Saat ini, kurang lebih terdapat 100 negara yang siap menerapkan keterbukaan informasi ini. Ada 50 negara yang menerapkan di 2017, dan 50 negara sisanya termasuk Indonesia pada September 2018.
Bagi Indonesia, kesepakatan ini penting untuk bisa mengejar wajib pajak di luar negeri. Namun, meski punya tujuan baik, terkait pemeriksaan rekening ini, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan melakukan pemeriksaan yang kondusif.
Sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini hanya akan menjadi alasan untuk melakukan pemeriksaan yang serampangan. Jangan sampai pula dari data yang diminta, akhirnya hanya akan merepotkan lembaga jasa keuangan juga Wajib Pajak sendiri.
Dan sekali lagi, soal kerahasiaan ini perlu menjadi komitmen bersama, jangan sampai data yang sudah terbuka justru dimanfaatkan pihak-pihak lain, yang menimbulkan kerugian banyak pihak.
Rizky Serati