Pancasila 1 Juni atau Piagam Jakarta?

by
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Foto : 4BP

Wartapilihan.com – Akhir-akhir ini, klaim sebagai yang paling Pancasilais menjangkiti Ormas dan Orpol di republik ini. Sebagai contoh, ada Ormas yang mengaku Pancasilais tapi perilaku pimpinan dan anggotanya jauh dari nilai-nilai Pancasila. Ada pimpinan partai poltik yang mengaku sebagai Pancasilais sejati, tapi dalam pidatonya mengingkari adanya keimanan yang diyakini oleh mayoritas warga bumi Nusantara ini. Ironinya, si pemimpin partai politik tersebut pemeluk Islam, agama yang ajaran Keimanannya ia hujat, bahkan ia lecehkan, itu.

Lalu, Pancasila yang mana yang hendak kita ikuti? Sebagaimana diketahui, ada Pancasila versi Soekarno dan ada pula Pancasila versi Piagam Jakarta. Pada tanggal 1 Juni 1945, di hadapan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Bung Karno mengajukan lima asas sebagai dasar negara. Yakni, kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Kelima asas ini dinamakan Pancasila.

Lima asas itu, menurut Soekarno, bisa diperas menjadi Tri Sila: sosio nasionalisme (mencakup kebangsaan Indonesia dan peri kemanusiaan), sosio demokrasi(mencakup demokrasi dan kesejahteraan sosial), dan ketuhanan. Tri Sila ini, oleh Soekarno, masih bisa diperas lagi menjadi Eka Sila(satu sila). Berikut perasan lima asas versi Soekarno itu:

“Jika saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!” (Soekarno, Lahirnya Pancasila, 1961)

Tentu saja, pendapat Soekarno tersebut tidak bisa diterima, terutama oleh kalangan Islam, karena hanya dengan gotong-royong, faktor ketuhanan dinafikan. Ini orientasinya hanya duniawi, unsur ukhrowinya tak tersentuh. Dan itu jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Guna merumuskan preambule(pembukaan) UUD 1945, maka dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari 9 orang: Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, Abdul Wahid Hasjim, dan Seokarno. Pada tanggal 22 Juni 1945, panitia kecil telah bersepakat bulat melahirkan preambule yang isinya, antara lain:

“…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu sususnan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pada 18 Agustus 1945, yang membicarakan Undang-undang Dasar 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan bahwa tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dicoret. Proses dicoretnya tujuh kata tersebut berkaitan dengan informasi yang diterima oleh Mohammad Hatta, jika tujuh kata tersebut tetap dipertahankan, golongan Kristen dan Katolik akan memisahkan diri. Shahih tidaknya informasi yang dibawa oleh Hatta itu menjadi kajian tersendiri.

Meskipun tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” hilang, dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebenarnya ini juga khas Islam. Agama-agama lain tidak punya perbendaharaan kata atau kalimat seperti itu. Ketuhanan Yang Maha Esa terambil dari ayat dari Al-Qur’an surah al-Ikhlas ayat 1: Qul huwallaahu ahad (katakan[Muhammad], Dialah Allah, Yang Maha Esa).

Dalam perkembangannya, Indonesia menjalankan beberapa konstitusi: Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan RI 1950. Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta.

Apa arti menjiwai? Semangatnya bertumpu kepada Piagam Jakarta, dan itulah yang berlaku sampai hari ini, meskipun Undang-undang Dasar 1945 telah diamandemen sebanyak 4 kali, semangat Piagam Jakarta tidak akan pudar.

Dengan logika seperti itu, maka umat Islam berhak menjalani syariat sesuai tuntutan agamanya. Rukun Iman dan rukun Islam wajib untuk dijalankan oleh pemeluknya.

Jadi, jika ada yang menolak “semangat” Piagam Jakarta, maka sejatinya ia mengamalkan Pancasila 1 Juni 1945, yang lima asas bisa diperas menjadi satu: Gotong-royong. Karena itu, tidaklah heran jika ada pimpinan Orpol yang meninstakan salah satu rukun iman(iman kepada hari akhir), karena gotong-royong murni urusan duniawi.

Dan itu adalah keterbelakangan yang sungguh pandir, karena Bung Karno sendiri, dalam pidatonya di berbagai kesempatan, selalu menjelaskan, “Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah tauhid!”. }||

Penulis : Herry M Joesoef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *