إنّما الأعمال بالنيّات و إنّما لكلّ إمرئ ما نوى
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung niat dan tiap-tiap perkara tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Wartapilihan.com, Depok– Hadits di atas adalah hadits yang sangat masyhur. Banyak sekali ulama yang mencantumkan hadits ini dalam kitab mereka. Bukan hanya mencantumkan, malah beberapa menempatkan hadits ini di awal kitab-kitab mereka. Imam Bukhari, misalnya, menempatkan hadits ini sebagai permulaan tulisan dalam kitab Shahih-nya. Tak tanggung-tanggung, Imam Nawawi menjadikan hadits ini sebagai permulaan dari tiga kitab karangan beliau, yakni Riyadhus Shalihin, al-Adzkar, dan al-Arbain an-Nawawiyah. Tapi, mengapa para ulama memandang hadits ini sebagai hadits yang penting?
Niat adalah inti dari sebuah amal. Dengan niat yang baik, maka dapat tercipta pula perbuatan yang baik. Sebaliknya, dengan niat yang buruk, maka dapat tercipta pula perbuatan yang buruk. Niat menjadi penggerak dari sebuah amal. Dengan niat inilah ditentukan baik atau buruk suatu perbuatan. Dalam kitab al-Wafi, syarah dari kitab al-Arbain an-Nawawiyah, dijelaskan bahwa faidah dari didahulukannya hadits ini pada kitab-kitab para ulama adalah agar para penuntut ilmu meluruskan niatnya hanya untuk mengharap ridha Allah Ta’ala semata dalam menuntu ilmu dan berbuat kebaikan.
Tetapi, ada sebuah catatan penting. Bukan berarti jika sebuah perbuatan buruk, ketika ia dilandasi oleh niat yang baik, ia menjadi baik. Tidak, perbuatan buruk tetaplah buruk, meskipun dilandasi niat yang baik. Karena ia tetap melanggar syariat. Sebaliknya, perbuatan yang baik, ketika ia dilandasi niat yang buruk, ia tidak serta merta tetap menjadi baik. Justru, ia menjadi perbuatan yang buruk. Karena ia melakukan sesuatu dengan maksud dan tujuan yang melanggar syariat.
Lantas, niat seperti apa yang pantas bagi seorang Muslim dalam beramal baik? Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa para ulama menempatkan hadits niat tersebut supaya penuntut ilmu hanya mengharap ridha Allah Ta’ala. Maka, inilah niat yang sebenarnya mesti ditanamkan oleh seorang Muslim, yakni hanya mengharap ridha Allah SWT saja. Perbuatan ini lebih dikenal sebagai ikhlas.
Ikhlas, menurut Abu Qasim al-Qusyairi, adalah “mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja”. Artinya, seorang Muslim baru benar-benar dikatakan ikhlas ketika ia mengerjakan sesuatu hanya karena ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap ridha-Nya. Seseorang baru dikatakan ikhlas ketika ia sudah tidak peduli lagi dengan pandangan manusia, baik pandangan itu positif atau negatif. Al-Qusyairi juga berkata bahwa ikhlas juga dapat diartikan sebagai “memurnikan perbuatan dari pandangan makhluk”.
Mengenai ikhlas, ada sebuah kisah menarik terkait dengan ini. Ketika itu, pasukan Muslim hendak berperang dengan pasukan Romawi. Tetapi, mereka tidak langsung bertempur secara langsung. Pasukan Romawi menantang pasukan Muslim untuk bertanding satu lawan satu antara prajurit terkuat dari masing-masing pasukan. Akhirnya, dikirimlah prajurit terkuat dari masing-masing pasukan untuk berduel satu lawan satu.
Ternyata, prajurit dari Romawi tersebut adalah orang yang terkenal jago dalam bertarung, terutama dalam pertandingan satu lawan satu. Prajurit Muslim yang pertama dikirim kalah melawan dia. Kemudian, prajurit Muslim kedua maju untuk melawan sang prajurit. Naas, ternyata ia kalah juga. Takdir yang sama juga dialami oleh prajurit Muslim setelahnya. Akhirnya, prajurit Muslim yang lain pun gentar untuk melawan jagoan pasukan Romawi. Tidak ada satu pun yang berani lagi untuk maju dan menghadapinya.
Tiba-tiba, ada seorang prajurit dari barisan belakang yang maju kedepan, hendak menantang sang jagoan Romawi tersebut. Yang membuat orang heran adalah, sang prajurit ini badannya sangat mungil, apalagi jika dibandingkan dengan jagoan Romawi tersebut. Dan juga, ia memakai pakaian bertudung sehingga orang tidak tahu siapa dia. Tapi, yang membuat orang tambah heran lagi, ternyata prajurit mungil ini justru malah menang melawan jagoan Romawi itu. Segera setelah mengalahkan prajurit andalan Romawi tadi, sang prajurit mungil ini kembali ke barisan belakang.
Sosok dari prajurit itu menjadi misteri, bahkan hingga akhir perang. Panglima perang Muslim penasaran, ia pun mencari tahu siapa sebenarnya sosok prajurit mungil tersebut yang dapat mengalahakan jagoan dari pasukan Romawi. Setelah penelusuran yang panjang, akhirnya sang panglima pun menemukan, ternyata prajurit itu adalah Ibnul Mubarak, seorang ulama yang masyhur pada masa tersebut. Ia sengaja memakai pakaian tertutup, supaya orang tidak ada yang mengenalinya. Ia tidak ingin ada orang yang mengenalinya dan kemudian memberinya pujian. Karena ia berbuat perbuatan tersebut, semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha Allah.
Itulah niat dan ikhlas. Ia adalah motor penggerak dari seorang Muslim dalam beramal baik. Untuk berniat ikhlas, memanglah sulit. Karena ia harus benar-benar menyucikan diri dari berharap balasan selain dari Allah SWT. Ikhlas adalah sesuatu yang tidak bisa langsung dimiliki seorang Muslim, apalagi secara terus menerus. Tetapi, bukan berarti ikhlas adalah suatu hal yang mustahil. Ia harus diraih dengan terus menerus memperbaiki dan menyucikan diri dari hal-hal yang buruk. Wallahu a’lam bisshawab
Depok, 5 Maret 2021
M.Faris Ranadi
(Mahasiswa STID Moh. Natsir)