Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengoreksi salah satu kebijakan turunan Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dinilai problematis. Dalam putusan yang dibacakan pada 13 November 2024, MK membatalkan ketentuan mengenai masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU) di kawasan IKN yang sebelumnya dapat diperpanjang hingga mencapai 190 tahun.
JAKARTA, WARTAPILIHAN — Dengan putusan ini, masa HGU dikembalikan ke ketentuan yang selaras dengan prinsip hukum pertanahan nasional, yakni maksimal 95 tahun. Langkah MK tersebut memicu kembali perdebatan publik mengenai kehati-hatian pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis jangka panjang.
Pertimbangan Konstitusional
Dalam pertimbangannya, MK menilai perpanjangan HGU hingga ratusan tahun berpotensi melemahkan posisi negara dalam penguasaan hak atas tanah. Meskipun pemerintah beralasan bahwa insentif tersebut diperlukan untuk meningkatkan daya tarik investasi, majelis hakim menilai kebijakan itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Pertanahan maupun Undang-Undang Penanaman Modal.
MK juga mengingatkan bahwa pemberian perlakuan istimewa kepada investor di IKN dapat menimbulkan ketidakadilan bagi daerah lain yang tengah berupaya memperkuat iklim investasi. Sebagai peraturan turunan, ketentuan mengenai HGU menurut MK tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip dasar yang telah ditegaskan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dimensi Sosial: Suara Warga Adat
Putusan ini turut menarik perhatian karena penggugat utama adalah Stefanus Febian Babaro, warga Dayak yang berprofesi sebagai ahli teknologi informasi. Kehadirannya sebagai pemohon menambah dimensi sosial dalam perkara ini, terutama terkait kekhawatiran masyarakat lokal terhadap potensi terpinggirkannya komunitas adat di tengah percepatan pembangunan IKN.
Dalam sejumlah kesempatan, Stefanus menilai bahwa proses penyusunan UU IKN dilakukan terburu-buru dan minim konsultasi publik. Ia sebelumnya juga tercatat sebagai pemohon uji materi atas aturan rangkap jabatan anggota Polri di lembaga sipil, yang menurutnya menghambat peluang warga non-aparat untuk mengisi jabatan publik.
Kelayakan IKN Kembali Dipertanyakan
Putusan MK ini kembali membuka ruang kritik terhadap kelayakan pembangunan IKN. Andrinof Chaniago, salah satu tokoh yang sejak awal menggagas pemindahan ibu kota, menyebut ketentuan HGU hingga 190 tahun sebagai kebijakan yang “kebablasan”.
Di sisi lain, kajian terbaru Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Oktober 2024 menunjukkan tantangan serius terkait ketersediaan air. Studi berbasis satelit dengan akurasi 97,7 persen itu menyebut bahwa pasokan air permukaan di wilayah IKN hanya sekitar 0,5 persen dari total kebutuhan kawasan.
Temuan tersebut menambah deretan catatan kritis terhadap studi kelayakan awal proyek. Sejumlah ekonom, termasuk Faisal Basri, sejak lama menyoroti lokasi IKN yang berada di kawasan dengan cadangan batu bara (“tanah panas”) serta kondisi geografis yang lembap, yang diperkirakan akan meningkatkan biaya pemeliharaan infrastruktur.
Putusan MK ini, dengan demikian, tidak hanya membatalkan satu ketentuan teknis, tetapi turut menjadi momentum bagi pemerintah untuk meninjau kembali sejumlah aspek mendasar dari proyek strategis nasional tersebut.

