Wartapilihan.com, Jakarta – Direktur Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan mengatakan, pada era Soeharto, transformasi bangsa Indonesia menjadi masyarakat modern dan urban di lakukan dalam jangka panjang selama 25 tahun. Hal ini tertuang jelas dalam rencana pembangunan lima tahun (replita) yang dimulai tahun 1969 sampai dengan 1994.
“Dari sisi ekonomi saat itu, pekerjaan terbesar kita adalah menjadikan Indonesia pada sistem ekonomi terbuka yang ditandai dengan besarnya investasi asing dan perdagangan internasional. Meskipun terbuka, perekonomian tetap dilakukan dengan sistem perencana,” ujar Syahganda Nainggolan saat ditemui Warta Pilihan di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, pada Kamis (4/5).
Lebih lanjut, dalam konteks politik, Indonesia tetap melanjutkan politik totaliter. Di masa Soekarno politik totaliter dilakukan dengan supremasi sipil sedangkan di masa orde baru dilakukan dengan supremasi militer.
“Kebebasan politik tidak terjadi, melainkan hanya ada demokrasi semu lima tahun sekali via Pemilu,” sambungnya.
Tidak bisa dipungkiri, pembangunan 32 tahun Orde Baru telah mencatat keberhasilan dalam memajukan tingkat pendidikan bangsa Indonesia. Disamping adanya pencapaian dalam dunia industri dan teknologi, seperti keberadaan industri-industri strategis, meliputi industri pesawat terbang, industri perkapalan, dan lain-lain.
“Saat Soeharto turun dari masa kekuasaannya, Indonesia sudah merubah andalan sektoral sektoral terhadap GDP, dari sektor pertanian kepada sektor manufaktur,” Syahganda menjelaskan.
Perspektif Nawacita
Nawacita adalah sebuah konsep yang ditawarkan Jokowi dan Jusuf Kalla pada pilpres 2014 lalu sebagai platform politik yang mereka perjuangkan kelak setelah menang. Dalam melihat 16 tahun reformasi di Indonesia, sejak 1998, ketika nawacita itu diluncurkan, sudah disebutkan di situ bahwa 16 tahun masuk transisi yang buruk. Bangsa ini disebutkan terbelenggu dalam ketidakpastian.
Menurut Jokowi-JK, ada tiga persoalan bangsa saat ini, yakni, pertama merosotnya kewibawaan negara. Kedua melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional dan ketiga merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.
“Jokowi dan JK mengkritik kondisi negara ini seolah-olah tidak hadir dalam melaksanakan tugas-tugas ideal negara, seperti melindungi hak-hak asasi manusia, menyelesaikan konflik sosial, penegakan hukum, dan lain sebagainya. Terlebih, hal ini dikaitkan dengan adanya berbagai perjanjian negara dengan institusi internasional ataupun negara asing, yang dianggap hanya menguntungkan perseorangan dan kelompok kepentingan, bukan untuk kepentingan nasional,” paparnya.
Menurutnya, kondisi perekonomian saat ini sangat buruk, karena dalam membangun perekonomian yang mandiri dan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Perekonomian dikatakan mempunyai sifat ketergantungan dan keterbelakangan atas asing, terkait pangan, energi dan teknologi.
“Negara dianggap gagal dalam eksploitasi sumber daya alam bagi kesejahteraan rakyat, bahkan negara gagal dalam menyediakan kesehatan dasar dan kualitas hidup yang layak. Juga negara gagal dalam memperkecil keseimbangan perekonomian bahkan melanggengkan ketergantungan hutang pada asing,” tukasnya.
Selain itu, Jokowi JK menganggap bangsa ini gagal menjamin kehidupan bersama dalam perspektif keberagaman.
“Dua hal pokok yang dianggap sebagai penyebab, yaitu kegagalan dalam melakukan penurunan kesenjangan sosial dan mendorong adanya pencarian identitas bagi generasi muda dalam dua arah, yakni primordialitas yang bersifat komoditas,” lanjutnya.
Dari 3 (tiga) persoalan di atas, Jokowi JK menilai hanya mampu dijawab dengan jalan ideologis yaitu jalan nawacita, jalan yang menemukan ideologi sebagai penuntun, penggerak, pemersatu, dan pengarah. Sebagai cita-cita, nawacita mempunyai narasi yang besar. Namun, karena membuat keinginan yang sangat banyak dalam agenda aksinya, membuat cita-cita tersebut tidak fokus.
“Jika kita bandingkan dengan pidato Mahatir dalam visi 2020, kita melihat jelas apa yang diinginkan dalam 30 tahun Mahatir, yakni mengantarkan Malaysia menjadi masyarakat industri. Persoalannya adalah apakah divided society yang ada saat ini bukan merupakan produk power game? Kalau Jokowi mengutamakan problem struktural sebagai faktor sentral, maka divided society harusnya terjadi secara vertikal,” tandasnya.
Terakhir, Syahganda menyarankan, berbagai kebijakan proteksionis yang diluncurkan Amerika, seharusnya dipertimbangkan Presiden untuk melakukan hal yang serupa di Indonesia. Di mana ini momentum bagi Jokowi untuk melakukan pembatasan impor dan mengurangi hutang.
“Membahas Nawacita sekali lagi tidak mungkin dibandingkan dengan TN50 (transformasi nasional 2020-2050) Malaysia. Nawacita merupakan konsep yang terlalu ambisius berjangka pendek sebagai sebuah spirit untuk menggugat liberalisme rezim sebelumnya. Dalam tingkat wacana, hal tersebut bisa dimaklumi tetapi dalam prakteknya, kritik nawacita atas model neoliberal masa lalu belum mempunyai ciri khas yang dapat dibanggakan,” pungkasnya.
Reporter: Ahmad Zuhdi