Wartapilihan.com, Depok – Hal itu dinyatakan ahli hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo kepada Warta Pilihan, kemarin (27/1) di Depok. Heru Susetyo menyatakan penangkapan hakim Patrialis Akbar tidak membuatnya pesimis terhadap keputusan Judicial Review yang diajukan oleh AILA mengenai pasal KUHP tentang perzinaan, perkosaan dan pencabulan sesama jenis (pasal 284, 285 dan 292 KUHP). “Karena keputusan yang diambil tidak hanya satu orang saja, melainkan keputusan dari hakim secara kolektif,”terangnya dengan serius.
“Ini kan belum selesai ya kasusnya. Masih dalam proses kita nggak tahu. Memang selama ini hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar cenderung yang paling men-support dari bahasanya, gesture-nya, komentar-komentarnya, dia cenderung bersikap positif dengan pengajuan Judicial Review ini. Hakim yang lain mungkin netral dan cenderung mengkritisi,” papar Heru.
Ia pun cenderung berpendapat bahwa Undang-Undang tentang Peternakan dan Undang-Undang tentang KUHP merupakan dua hal yang berbeda. Pasalnya, Undang-Undang Peternakan berkaitan dengan ekonomi, sedangkan Undang-Undang KUHP yang dijadikan sebagai uji materil bicara tentang hak asasi manusia.
Harapnya pada Judicial Review ini, “Hakim bisa memberi keputusan dengan hati nurani. Jangan mengikuti selera publik. Ya, semoga bisa memutuskan dengan hati nuraninya,”
Ketika ditanyakan pendapatnya terhadap dasar pengajuan Judicial Review tersebut, ia berpendapat bahwa memang semestinya Undang-Undang KUHP diamandemen. “Saya pribadi berpendapat, Judicial Review itu masuk akal. Karena memang sudah kadaluwarsa. Tahun ini tepat 100 tahun KUHP, maka memang sudah harus diamandemen. Pasal-pasal (itu) di Belanda, sudah tidak berlaku. Di kita masih berlaku,” ujarnya.
Inisiator dari lembaga PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan HAM) yang sudah tersebar di 24 Provinsi tersebut begitu optimis tentang keberhasilan pengajuan uji materil yang diajukan oleh AILA (Aliansi Cinta Keluarga) mengenai pasal perzinahan, pemerkosaan dan pencabulan sesama jenis yang terakhir dipresentasikan di Mahkamah Konstitusi pada 12 Januari 2017 lalu.
“Kita nggak bener kalau menerapkan UU yang sudah gak sesuai dengan perkembangan zaman,” kata lelaki kelahiran Bandung ini menambahkan. |
Reporter : Eveline Ramadhini