Mesin Sensor Internet

by
foto:https://3.bp.blogspot.com

Pada awal tahun ini, Indonesia mulai mengaplikasikan penggunaan Mesin Sensor Internet yang dibeli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Republik Indonesia seharga Rp. 200 Miliar. Beredar isu bahwa ada sistem penyadap yang dianggap merebut hak privasi pengguna internet. Untuk apakah mesin sensor internet ini?

Wartapilihan.com, Jakarta –Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kemkominfo RI, Semuel Abrijani Pengarepan menjelaskan, hal itu tidak benar. Pemerintah akan tetap menjamin privasi netizen sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. “Tidak ada pemantauan (terhadap pengguna internet), ini mesin pengais konten, bukan pemantau pengguna internetnya,” jelas Semuel, beberapa waktu lalu.

Adapun terkait isu mesin akan digunakan demi kepentingan politik dalam ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada) juga tidak dibenarkan. Pasalnya, menurut dia, baik secara teknis maupun regulasi tidak memungkinkan adanya celah tersebut.

Ia menegaskan, mesin sensor internet yang beroperasi di Indonesia bertujuan untuk mengendalikan konten negatif yang beredar di tengah masyarakat. “Sistem ini bekerja mengais konten yang dilarang di Indonesia, sesuai dengan perundangan terkait konten di dalam internet,” ujar Semuel.

Seperti diketahui, Mesin Sensor Internet tersebut saat ini berada di Kemkominfo RI di dalam ruangan khusus bernama Cyber Drone 9. Pengoperasiannya dikabarkan dapat menghabiskan puluhan miliar per tahunnya.

Adapun konten yang termasuk dalam pelanggaran yakni pornografi, perjudian, perdagangan obat tanpa izin, narkoba, radikalisme yang mengarah pada terorisme, ujaran kebencian, juga berita hoaks.

“Ketika sistem menemukan konten dengan unsur tersebut maka akan melakukan verifikasi dan validasi sebelum akhirnya memblokir. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) 2016 Pasal 40 Ayat 2. Indonesia membutuhkan mesin atau robot tersebut karena pertumbuhan konten di dunia internet sangat cepat,” tutur Samuel.

Ia menambahkan, ada dampak utama yang dapat dirasakan masyarakat, yaitu akan kesulitan mengakses konten pornografi dan hal lainnya yang dinilai masuk dalam ranah pelanggaran. “Mesin akan jauh lebih cepat mendeteksi konten bermasalah tersebut sehingga jumlah pemblokiran bisa lebih banyak,” imbuh dia.

Dalam pelaksanaan uji coba sekitar tiga bulan lalu, mesin sensor internet dapat lakukan deteksi kurang lebih 120 ribu konten bermasalah dari proses pengaisan terhadap 1,2 juta situs. Angka tersebut, menurut Samuel, sangat jauh lebih banyak dibandingkan cara manual sebelumnya yang dilakukan tenaga manusia.

“Proses mengais, verifikasi dan validasi, serta pemblokiran membuat mesin bisa digunakan oleh institusi lain,” pungkas dia.

Sementara itu, Heru Sutadi selaku Pengamat Telekomunikasi mengatakan, penggunaan mesin sensor internet sah-sah saja diterapkan Indonesia selama tidak mengusik ranah privasi pengguna.

“Jangan sampai berubah menjadi mesin penyadap, bila demikian seolah privasi sudah tidak ada lagi,” ungkap Heru, Jum’at, (19/1/2018).

Penyadapan, menurut dia sangat tidak dibenarkan sehingga ruang gerak masyarakat menjadi terbatas. Robot pengais informasi itu, ia menekankan mesti digunakan sesuai dengan kaidah dan peraturan yang ada.

“Penggunaan mesin sensor internet memang sudah diterapkan oleh banyak negara. Indonesia bisa disebut cukup tertinggal. Tetapi fungsi sensor internet hanya untuk menimbun informasi demi kepentingan negara,” tukasnya.

Ia menyampaikan, beberapa negara salah satunya Jerman turut melakukan pemblokiran konten dengan memanfaatkan media sosial. “Ketika terdapat isu atau ujaran bermasalah di media sosial, negara tersebut langsung menindak tegas dengan pemblokiran.

Aktivitas terbanyak dari pengguna memang terdapat di dalam platform jejaring sosial. Penindakan tegas berbuntut pemblokiran cukup ampuh mengatasi konten bermasalah, seperti pornografi, terorisme, dan lain sebagainya,” pungkas Heru.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *