“Yang terjadi dalam Fatwa Munas NU itu terlampau dipaksakan, mengapa menghadapkan mu’min atau muslim versus warga negara. Mukmin lawannya ya bisa kufur, munafiq, musyrik dan lain-lain,” kata Ustaz Teten.
Wartapilihan.com, Jakarta — Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj menyampaikan rekomendasi komisi-komisi hasil rapat pleno Munas Ulama, salah satunya tidak menyebut kafir kepada nonmuslim.
Said Aqil mengatakan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama dimata konstitusi. Karena itu yang ada adalah nonmuslim, bukan kafir.
Said Aqil mengisahkan, istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah, untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar.
“Tapi Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku nonmuslim di madinah, di sana disebut nonmuslim, tidak disebut kafir,” kata Said menjelaskan di lokasi, Jumat (1/3).
Dalam kitab Fatawi Al-Sirajiyah terdapat keterangan, apabila seseorang memanggil orang lain dengan panggilan yang menetapkan pengkafiran pada orang tersebut, dan dia tidak bisa mempertahankan tuduhannya tadi, maka dia tidak perlu dihukum apabila tuduhannya tadi muncul di hadapan hakim syar’i.
Tetapi bila tuduhannya tadi muncul sebagai bentuk penghinaan atau merendahkan, maka dia harus dihukum dengan hukuman yang sesuai.
Sedangkan dalam Kitab Fathul Qadir, pada bab Istihlaalu warodil madholimi, bila seseorang mengatakan pada orang Yahudi atau majusi ‘wahai kafir’, ‘wahai pendosa’ apabila menyinggung, hal ini menetapkan bahwa orang yang mengucapkannya bisa/harus dihukum karena melakukan sesuatu yang menetapkan dosa.
Ketua Bidang Kajian Ghazwul Fikri dan Harakah Haddamah, Pusat Kajian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah) Ustaz Teten Romly Qomaruddien menjelaskan, semua pernyataan di atas itu termasuk pandangan atau pendapat (qaul).
“Adapun hukum asal penyebutan Kafir itu sudah menjadi terminologi Al-Qur’an dan sudah menjadi musthalahat qur’ani. Apabila dasarnya kebencian, itu lain persoalan. Masuknya pada hukum celaan, bukan soal peristilahan,” kata Ustaz Teten kepada Warta Pilihan, ketika dihubungi, Ahad (3/3) seraya menyebutkan salah satu kaidah Ushul Fiqih.
مقاصد اللفظ على نية الافظ
“Maksud suatu lafazh tergantung niat orang yang melafazhkan”.
Namun, bagaimana jika dalam aplikasinya seseorang memanggil orang di luar Islam dengan sebutan ‘Hai Kafir?’. Ustaz Teten menjelaskan persoalannya adalah dalam pemetaan penggunaannya.
Pertama, dalam bahasa komunikasi verbal, siapa pun masyarakat adalah warga negara (muwaththinun). Kedua, dalam bahasa teologis, siapa pun yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya bisa kufur, fasiq, munafiq, musyrik, dan lain-lain.
“Yang terjadi dalam Fatwa Munas NU itu terlampau dipaksakan, mengapa menghadapkan mu’min atau muslim versus warga negara. Mukmin lawannya ya bisa kufur, munafiq, musyrik dan lain-lain. Adapun panggilan hai fasiq, hai munafiq dan hai kafir tentu harus dilihat konteksnya. Komunikasi verbal publik atau teologis? Sangat dikhawatirkan, mengapa fatwa ini muncul? Tentu ada target yang ingin dicapai. Untuk kepentingan siapa sebenarnya,” jelasnya.
Terpisah, Anggota bidang dakwah PW Persis Ustaz Zaenal Arifin menuturkan, seorang muslim wajib meyakini bahwa siapapun yang tidak meyakini kebenaran Islam dan tidak memeluk agama Islam, maka orang itu termasuk golongan orang Kafir.
“Jika orang kafir tidak melakukan suatu kesalahan (urusan publik) tapi dituduh sebagai orang yang bersalah, maka tuduhan tersebut suatu kezhaliman. Wallaahu a’lam,” katanya.
Adi Prawira