Mengurai Akar Masalah Program Makan BerGizi Gratis: Bukan Bahan Baku, Tapi Teknologi Pangan

by

Akhir-akhir ini, berita tentang kasus keracunan makanan dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintah menjadi sorotan publik. Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran dan memicu pertanyaan besar: apakah program yang bertujuan baik ini justru membahayakan anak-anak?

Wartapilihan.com, Bogor– Dr. Tjahja Muhandri, seorang dosen di Ilmu dan Teknologi Pangan dari IPB University, punya jawaban tegas yang mungkin mengejutkan: masalah utamanya kemungkinan besar bukan pada bahan baku yang busuk atau kedaluwarsa, atau jenis kemasan yang dipakai, melainkan pada penanganan makanan setelah dimasak.

Bahan baku yang sudah busuk mudah terdeteksi oleh karyawan penyedia makanan. Demikian juga dengan migrasi bahan berbahaya dari kemasa, perlu waktu lama untuk memberikan dampak negatif.

Menurut Dr. Muhandri, inti persoalannya terletak pada skala program yang masif. Satu dapur MBG bisa melayani hingga 4.000 orang, menuntut juru masak untuk memulai persiapan sejak dini hari, bahkan tengah malam. Kondisi ini menyebabkan masakan, terutama lauk pauk yang memiliki kadar air tinggi (Aw), protein tinggi, berada pada suhu “danger zone” selama lima hingga enam jam, atau bahkan lebih. Danger zone Adalah suhu antara 5-60°C, terutama pada kisaran 40-60°C. Pada suhu ini, bakteri termofilik dapat berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan timbulnya sakit atau keracunan.

Solusinya, kata Dr. Muhandri, adalah menerapkan prinsip-prinsip teknologi pangan. Ia mencontohkan industri katering pesawat yang menjaga keamanan makanan dengan menyimpannya di luar zona berbahaya. Makanan bisa disimpan pada suhu panas (>63°C) atau suhu sangat dingin (<4°C), bahkan beku. Pendekatan ini memastikan makanan aman untuk dikonsumsi, meskipun mungkin tidak se-“segar” makanan yang baru selesai dimasak.

Alternatif lain yang dapat diambil adalah :

  • Mengurangi jumlah porsi yang menjadi tanggung jawab dapur MBG
  • Mengubah system pada beberapa daerah yang wilayahnya luas dan perlu waktu distribusi, dengan cara sistem kupon buat siswa terpilih. Alternatif ini disisi lain bisa menghidupkan kantin sekolah.

Dampak dari keracunan ini tidak hanya terbatas pada kesehatan fisik anak-anak. Insiden ini berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap program pemerintah yang sejatinya memiliki niat mulia. Pertanyaan yang muncul di kalangan masyarakat, “Di mana ahli teknologi pangan?”, Ini mencerminkan keresahan bahwa ada celah yang perlu diisi oleh keahlian profesional.

Untuk mengatasi masalah ini secara sistematis, Dr. Muhandri menekankan pentingnya peran ahli teknologi pangan. Tidak harus sebagai pelaksana langsung, tetapi sebagai perancang sistem. Peran ahli teknologi pangan dalam program ini bukan hanya sekadar mengawasi proses memasak, tetapi lebih pada perancangan sistem yang terintegrasi. Mereka dapat membantu dalam:

  • Penyusunan SOP Komprehensif: Merancang atau mengevaluasi prosedur yang mengatur seluruh proses dari pemilihan bahan baku hingga distribusi, termasuk standar suhu yang harus dipertahankan. SOP ini akan menjadi panduan yang memastikan keamanan makanan dari dapur hingga ke tangan siswa
  • Pelatihan dan Pengawasan: Memberikan pelatihan kepada para juru masak dan petugas distribusi tentang cara penanganan makanan yang aman.
  • Perancangan Sistem dan Alat: Memberikan masukan dalam pemilihan alat yang tepat, seperti food warmer atau wadah berpendingin untuk menjaga suhu makanan.

Lebih lanjut, Dr. Muhandri menyarankan agar para pembuat kebijakan menyesuaikan program dengan kemampuan yang ada. “Jangan paksakan harus melayani 4.000 orang, jika baru mampu 1.000 orang,” tegasnya. Saran ini sangat penting, karena menuntut pemerintah untuk memprioritaskan keamanan dan kualitas di atas kuantitas.

Dengan menerapkan standar yang realistis dan melibatkan ahli dalam perancangan sistem, program Makan Bergizi Gratis dapat benar-benar memberikan manfaat tanpa harus membahayakan anak-anak.