Mengatasi Anak yang Di-bully

by
Foto:https://www.vebma.com

Anak-anak seringkali tutup mulut ketika di-bully oleh teman seperjawatannya. Pendampingan orangtua sangat dibutuhkan untuk meminimalisir dampak buruk yang akan terjadi pada anak.

Wartapilihan.com, Jakarta –Berdasarkan laporan Kementerian Sosial yang diterima sampai Juni 2017 sebanyak 976 kasus; Sekitar 400 kasus mengenai kekerasan seksual dan sekitar 117 kasus mengenai bullying.

Bullying sudah menjadi fenomena yang sering dialami, terutama anak-anak yang masih mengenyam pendidikan. M Qudrat Nugraha menjelaskan, ada beberapa tanda yang dapat dibaca bagi orangtua untuk mengetahui apakah anaknya sedang dibully atau tidak.

“Biasanya yang terkena ada semacam rasa tidak semangat belajar, menjadi pendiam, dan cemberut,” kata Qudrat, dalam acara ‘Indonesia Sehat Bersama Kemenkes RI’, Sabtu, (18/11/2017), di Jalan Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat.

Sekretaris Jendral di Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ini mengatakan, semestinya guru-guru di sekolah tidak hanya mengurusi akademik, tetapi juga mampu mengeksplorasi kehidupan anak untuk merawat sisi psikologisnya.

“Entah itu wali kelas atau guru BK, bukan hanya akademik semestinya, harus ada eksplorasi yang ditanyakan. Tanda-tanda bisa dilihat dari perubahan bahasa tubuhnya,” lanjut Qudrat

Sementara itu, Tika Bisono sebagai psikolog mengatakan, orangtua sebagai pihak terdekat pasti seharusnya mudah untuk memahami perubahan dari anak yang di-bully.

“Perubahan apapun gampang sekali. Misal perubahan muka, itu saja bisa jadi informasi,” tutur Tika, dalam acara yang sama.

Tika menyarankan agar orangtua maupun guru sebaiknya membiasakan diri untuk bertanya dan jangan menghakimi. “Guru punya kebiasaan buruk menghakimi, coba didatangi dan ditanya. Memang saya tahu, orangtua dan guru bukan psikolog, tapi paling tidak bertanya. Biasakan bertanya, biar kita dengar. Terus kalau sudah nanya mendengarkan,” lanjut Tika.

Jika anak ketika ditanya tidak mau menjawab, psikolog kelahiran Bandung ini mengatakan, artinya sang anak belum siap untuk bercerita. Dalam hal ini, penting pengertian dari orangtua, dan terus menanamkan komunikasi yang baik.

“Beri dia waktu untuk menyiapkan diri. Kalau belum mau jawab, katakan, ‘Ibu ada di bawah ya kalau mau cerita’. Dia punya pertimbangan. Anak berpikir dampak. Dengan begitu anak merasa dimanusiakan, dan akan membuka diri,” terang Tika.

Dalam hal ini, kemampuan parenting orangtua penting untuk terus belajar. Pasalnya, era digital menuntun orangtua harus belajar dan lebih banyak tekanan yang akan dialami.

“Tetap mendampingi tapi juga bukan memanjakan, lakukan komunikasi yang baik dengan anak, jangan membentaknya,” pungkas Tika.
Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *