Dahnil Anzar Simanjuntak selaku Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyayangkan pihak perguruan tinggi yang masih meributkan masalah Furu’iyyah (fiqih) semacam cadar.
Wartapilihan.com, Jakarta –“Pada dasarnya memang berbeda-beda, toh tidak ada larangan bercadar dalam Islam,” kata Dahnil dalam siaran persnya kepada Warta Pilihan (wartapilihan.com), di Jakarta, Jumat (9/3/2018).
Karena perdebatan soal pakaian ini, menurutnya, perguruan tinggi Islam sudah kehilangan nalar ilmiah terkait polemik larangan bercadar.
Sementara itu, sikap Muhammadiyah terkait cadar, menurut Dahnil, meskipun tidak mewajibkan cadar, cadar tetaplah kekayaan dari khazanah Islam.
“Karena batas Aurat untuk perempuan adalah wajah dan telapak tangannya, jadi terang dalam Fiqh yang dipahami Muhammadiyah tidak ada kewajiban mengenakan cadar,” imbuh Dahnil.
Tak hanya menyayangkan keributan dari aspek fiqih, Dahnil juga menyayangka larangan ini justru datang dari Universitas berembel-embel Islam, dimana seharusnya memahami dengan baik terkait keberagaman tafsir dalam Islam.
“Bagi saya UIN Yogyakarta telah kehilangan peran vital dari Universitas, dimana Universitas adalah rumah dari seluruh nalar ilmiah, setiap gagasan, ide dan pemikiran saling bertarung satu dengan lainnya untuk menunjukkan keunggulannya,” pungkas Dahnil.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhidi melihat, ada kesalahpahaman sementara dari pihak yang mengaitkan masalah radikalisme dengan pemakaian cadar, celana cingkrang (isybal) dan potongan jenggot seseorang.
“Pandangan tersebut menurut saya sangat tidak tepat karena radikalisme tidak hanya diukur melalui simbol-simbol aksesoris tersebut, tetapi lebih pada pemahaman ajaran agamanya,” kata Zainut, dilansir dari Republika.co.id.
Sehingga menurut dia kurang tepat jika karena alasan ingin menangkal ajaran radikalisme di kampus kemudian melarang mahasiswi memakai cadar.
Zainut khawatir setelah adanya larangan penggunaan cadar, kemudian dapat disusul dengan larangan berikutnya, yaitu larangan mahasiswa memakai celana cingkrang dan berjenggot.
Untuk menangkal ajaran radikalisme, menurutnya, harus melalui pendekatan yang lebih komprehensif, persuasif, edukatif dan konseling keagamaan yang intensif bukan melalui larangan.
“MUI yakin kita semuanya tidak berharap kampus menjadi sarang penyebaran paham radikalisme, liberalisme dan tempat yang menanamkan sikap fobia terhadap agama Islam,” imbuh Zainut.
Masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama (khilafiyah). Ia menekankan, hendaknya semua pihak bisa menerima perbedaan pandangan tersebut. Pasalnya, perbedaan itulah khazanah pemikiran Islam yang dinamis serta menjadikan rahmat bagi umat Islam yang harus disyukuri, bukan justru diingkari.
“MUI meminta semua pihak menahan diri dan tidak menjadikan isu penggunaan cadar mahasiswi UIN Sunan Kalijaga sebagai alat untuk saling mendiskreditkan dan menyalahkan antarkelompok pandangan keagamaan di masyarakat, karena dikhawatirkan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam,” pungkas Zainut.
Eveline Ramadhini