Wartapilihan.com – Presiden Joko Widodo, Jumat lalu (24/3), minta persoalan politik dan agama dipisahkan. Hal itu dinyatakan Jokowi, agar tidak terjadi gesekan antarumat di Indonesia. “Memang gesekan kecil-kecil kita ini karena Pilkada. Benar enggak. Karena pilgub, pilihan bupati, pilihan wali kota, inilah yang harus kita hindarkan,” kata Jokowi saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Untuk itu, Presiden meminta tidak mencampuradukan antara politik dan agama, “Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik,”terangnya. Jokowi berpesan agar tidak terjadi antara suku, apalagi antara agama, ada pertikaian dan gesekan. Sebab, menurutnya, Indonesia memiliki banyak agama, banyak suku dan bahasa lokal yang mencapai 1.100 bahasa.
“Saya hanya ingin titip ini mumpung pas di Sumatera Utara, ingin mengingatkan semuanya bahwa bangsa kita terdiri dari macam-macam suku dan agama, bermacam-macam ras,” ungkapnya. Presiden menyebut ada ada 714 suku, berbeda dengan negara lain yang hanya satu, dua, hingga tiga suku.
“Suku yang saya ingat, suku Gayo, suku Batak, Suku Sasak, suku Minang, Suku Dayak, suku Jawa, Suku Sunda, Suku Betawi, yang paling ujung timur suku Asmat, suku bugis, dan yang lain-lainnya,” kata Jokowi.
Presiden juga mengharapkan para pemuka agama untuk mengingatkan para umatnya tentang keragaman. Mengingat, keberagaman harus dirawat agar tidak menimbulkan perpecahan.
“Para ulama agar disebarkan, diingatkan, dipahamkan pada kita semua, bahwa kita ini memang beragam, anugerah yang diberikan Allah bahwa kita beragam,” tegas dia.
Presiden mengatakan jika perbedaan bisa dirawat, bisa dipersatukan akan dapat menjadi kekuatan besar. “Ini ada sebuah kekuatan besar, sebuah potensi besar, tetapi kalau kita tidak bisa menjaga dan merawat ada gesekan, ada pertikaian. Itulah yang harusnya yang awal-awalnya kita ingatkan,” harap Jokowi.
Bila Jokowi mengingatkan pentingnya sekulerisme, maka pada hari yang sama di Jakarta, Cawagub Djarot Saiful Hidayat menolak keras adanya Perda Syariat di Jakarta. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan jati diri Jakarta yang menjadi miniatur Indonesia.
“Kami betul-betul memastikan di Jakarta tidak boleh satu pun diterbitkan perda-perda syariah. Saya jamin itu nggak boleh ya, ini adalah kota miniaturnya Indonesia, tidak boleh, karena saya sudah mendengar selentingan ada perda syariah, ada wisata syariah kek, ini apa-apaan ini,” tuturnya.
Bagi Djarot, isu-isu seperti itu malah akan mengganggu ketenteraman masyarakat. Hal tersebut juga bertentangan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. “Nggak boleh, inilah Bhinneka Tunggal Ika ada di sini, mohon maaf kalau seperti ini saya agak naik ini,” kata dia.
000
Pernyataan Djarot itu kontan mendapat tanggapan yang keras dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin. Menurut Ma`ruf nama “perda syariah” sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah peraturan daerah yang sesuai dengan syariah. Yaitu seperti perda tentang prostitusi, minuman keras, dan lain sebagainya. Perda-perda ini, kata Kiai Ma’ruf, tidak bertentangan dengan konstitusi. Bahkan, kata Kiai Ma’ruf, ada Undang-Undang Haji, Zakat, Wakaf, Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, dan Surat Berharga Syariah Negara.
“Malah Presiden sebagai Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS),”kata Ma`ruf. Rais Aam PBNU ini juga tidak setuju bila perda syariah dianggap bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Anggapan itu, menurutnya, ingin menjauhkan pemerintahan dari masalah keagamaan, dan tidak sesuai dengan prinsip kenegaraan yang berjalan sekarang.
“(Anggapan) itu saya kira cara berpikir yang tidak sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelasnya..
Sementara itu mantan Ketua MPR, Prof Amien Rais, memberikan teguran keras kepada Presiden Joko Widodo yang menyerukan agar politik dan agama dipisahkan.
Hal itu disampaikan Amien Rais usai menjadi pembicara dalam Tabligh Akbar di PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat kemarin (26/3). “Itu kata-kata seseorang yang tidak paham Pancasila,” kata Amien.
Amien Rais yang merupakan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gajah Mada itu mengungkapkan, bila politik dipisahkan dari agama, maka hilang nilai-nilai kebaikan di dalamnya.
“Karena kalau politik dipisahkan dari agama, politik menjadi kering dari nilai-nilai kebaikan, akan jadi beringas, akan jadi eksploitatif,” tegasnya.
Oleh sebab itu, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menilai pernyataan Presiden Jokowi harus diralat. “Jadi kata-kata Pak Jokowi keliru besar!” tandasnya.
000
Pernyataan Jokowi dan Djarot ini menandakan bahwa “kedua kader PDIP” itu belum meninggalkan pemikiran kunonya. PDIP yang merupakan gabungan dari partai-partai nasionalis sekuler dan Kristen/Katolik terus melanjutkan pemikiran pemisahan agama dan negara.
Pemikiran ini sejak sebelum Indonesia merdeka disuarakan oleh tokoh-tokoh PNI, PKI atau partai-partai non Islam. Mereka selalu menentang adanya upaya-upaya tokoh Islam untuk menyatukan agama dan politik. Ujungnya mereka menolak Sila Pertama Piagam Jakarta, pada 18 Agustus 1945.
Meski penyatuan agama (Islam) dan politik ini ditolak, tapi perjuangan untuk menggabungkan keduanya terus bergema. Hingga akhirnya dicapai kesepakatan pembicaraan itu di Sidang Majelis Konstituante (1956-1959). Tapi lagi-lagi mentok. Berkali-kali sidang dan pengambilan keputusan antara partai-partai Islam dan partai nasionalis sekuler, Kristen dan PKI, tidak terjadi kesepakatan. Hasil veto juga tidak mencapai 2/3 suara.
Hingga akhirnya presiden Soekarno mengambil keputusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa kembali ke UUD 45 dan Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. (Lihat juga http://www.wartapilihan.com/habib-rizieq-sukmawati-dan-sejarah-pancasila/)
Piagam Jakarta inilah yang akhirnya menyemangati tokoh-tokoh Islam untuk membentuk perguruan-perguruan tinggi Islam (IAIN) dan melahirkan berbagai undang-undang yang selaras dengan syariah. Seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat dan Wakaf dan lain-lain.
Penyatuan agama dan politik ini juga yang menyemangati kepala-kepala daerah Muslim untuk membuat aturan yang sesuai dengan syariat Islam. Seperti perda pelarangan minuman keras, perda pelarangan pelacuran, perda pelarangan judi dan lain-lain.
Jadi jika Jokowi dan Djarot berkampanye memisahkan agama dan politik sebenarnya sia-sia belaka. Karena Muslim yang baik dimanapun akan berusaha menyatukan keduanya.
Jadi apa yang sebenarnya diinginkan Jokowi dengan kampanye sekulerisme ini? Bisa ditebak, Jokowi ingin memenangkan Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta 19 April ini. Seperti diketahui, Anies Sandi didukung oleh masyarakat Jakarta yang pro syariah, pro aksi 212, pro penyatuan agama dan politik.
Tim Sukses Anies Sandi, Eep Saefulloh Fatah pernah menyatakan bahwa masyarakat Jakarta kini terbelah antara yang pro Ahok dan kontra Ahok dalam kasus penistaan agama. Maka tidak heran di daerah yang masyarakat Islamnya `bagus`, Anies Sandi memperoleh suara yang besar.
Dalam pilkada DKI putaran pertama lalu di daerah Jakarta Barat, pasangan Agus-Syilvi memperoleh 203.107 suara, Ahok-Djarot 613.194 suara, dan pasangan Anies-Sandi 444.743 suara.
Di Jakarta Pusat, Agus-Sylvi memperoleh 101.744 suara, Ahok–Djarot 244.727 suara, dan Anies-Sandi 222.814 suara.
Di Jakarta Selatan, Agus-Sylvi memperoleh 177.363 suara, Ahok–Djarot 465.524 suara, dan Anies-Sandi 557.767 suara.
Di Jakarta Timur, Agus-Sylvi memperoleh 309.708 suara, Ahok–Djarot 618.880 suara, dan Anies-Sandi 665.902 suara.
Di Jakarta Utara, Agus-Sylvi memperoleh 142.142 suara, Ahok–Djarot 416.720 suara, dan Anies-Sandi 301.256 suara.
Di Kepulauan Seribu, Agus-Sylvi memperoleh 3.891 suara, Ahok–Djarot 5.532 suara, dan Anies-Sandi 4.851 suara.
Dari enam wilayah tersebut, pasangan Ahok–Djarot unggul di empat wilayah, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu.
Sementara, Anies-Sandi unggul di dua wilayah, yakni Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Selisih keunggulan pasangan Ahok Djarot dan Anies Sandi hanya sekitar 3 %.
Karena itu, tidak heran suara pendukung Agus Sylvi yang sekitar 17% menjadi rebutan bagi dua pasangan peserta Pilkada putaran kedua DKI Jakarta ini. Bisa diprediksi bahwa sebagian besar pendukung Agus Sylvi akan mengalihkan dukungannya ke Anies Sandi, karena kebanyakan mereka sejak awal anti kepada Ahok.
Dan disinilah nampaknya Jokowi bermain. Karena memang ia adalah petugas partai PDIP yang mendapat amanat dari Megawati untuk mendukung Ahok dengan berbagai cara. Wallahu azizun hakim. | Sumber : Detik, Kompas, Hidayatullah, Panjimas, KPU dan lain-lain.
Penulis : Nuim Hidayat