Memaafkan Pembangkang

by
Abu Ja'far al Mansur. Foto : peradabansejarah.blogspot.co.id

Pembangkang, yang akhirnya mendapat hadiah besar dari Amirul Mukminin Abu Ja’far al Manshur

Wartapilihan.com – Membangkang. Itulah sikap dan tindakan yang dilakukan seorang penduduk Kufah ketika tidak sependapat dengan kebijakan politik pemerintahan di bawah pimpinan Abu Ja’far al Manshur.

Kufah, kota kedua yang dibangun kaum Muslim setelah Bashrah, terletak di wilayah Irak. Kota ini dibangun Saad bin Abu Waqqash, seorang sahabat Nabi Muhammad saw pada 18H/635 M, di sebelah barat Sungai Eufrat dan dekat Kota Herat kuno dengan tata kota yang mirip Bashrah. Bangunan kota tersebut dibuat dari kayu. Tidak aneh bila kota itu segera dilahap ‘’si jago merah’’. Karena itu Saad bin Abu Waqqash lantas meminta izin kepada Umar bin al Khathab untuk membangun kembali kota itu dengan bahan dari tanah dicampur susu. Setelah izin keluar, dibangunlah sebuah kota yang berbentuk persegi. Yang pertama-tama dibangun adalah masjid raya.

Pada abad ke 1H/7M, kota tersebut memainkan peran politik yang penting. Utamanya setelah Ali bin Abu Thalib menjabat sebagai khalifah dan memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Selain itu warganya memiliki peran khusus dalam Peristiwa Karbala yang menewaskan al Husain bin Ali bersama 70 keluarga dan sahabatnya. Namun pada abad berikutnya, kota ini terpinggirkan akibat berdirinya Baghdad Darus Salam dan meluasnya kawasan yang berada di bawah naungan Dinasti Abbasiyah.

Pada masa awal perkembangan Islam, dalam bidang ilmu pengetahuan, Kufah dapat dikatakan hampir sejajar dengan Madinah. Kota tersebut dikenal sebagai pusat aliran rasio yang dasar-dasarnya dibangun oleh Abdullah bin Mas’ud. Sebagai seorang hakim pada masa pemerintahan Umar bin al Khathab di tempat yang jauh dari Madinah dengan beragam persoalan baru. Abdullah bin Mas’ud konon banyak melakukan qiyas. Dari situlah kemudian terbangun aliran rasionalisme. Karena itu, kota ini kemudian dikenal sebagai pusat analogi dan silogisme.

Di sisi lain, Kufah sangat terpencil dari wilayah penyebaran hadits. Hadits-hadits yang sampai di kota ini dibawa oleh kalangan sahabat, yang jumlahnya terbatas, yang pernah tinggal atau berkunjung di sana. Selain itu, kota ini juga menjadi tempat munculnya perbedaan pendapat (khilafiyah) di bidang hukum Islam untuk kali pertama.

Nah akibat pembangkangan warga Kufah tersebut, Abu Ja’far al Manshur pun mengumumkan akan memberikan hadiah sebesar 100.000 dirham bagi seseorang yang kuasa memberikan informasi seputar sang pembangkang yang tidak jelas rimbanya.

Suatu hari, karena merasa suasana perburuan terhadap dirinya telah mereda, tiba-tiba sang pembangkang muncul di kota Kufah. Dia merasa yakin, saat itu tiada lagi orang yang mengenal dirinya. Namun perkiraannya ternyata meleset. Saat dia sedang berjalan pelan di sebuah jalan kota itu, tiba-tiba seseorang berteriak lantang. “Itu dia orang yang dicari Abu Ja’far al Manshur selama ini! Itu dia pembangkang yang kita cari!”

Sang pembangkang pun lari dengan sangat kencang. Dan ketika orang-orang sedang mengejar sang pembangkang, tiba-tiba derap cepat seekor kuda mendekat kea rah mereka. Ternyata penunggang kuda itu adalah Ma’an bin Zaidah, salah seorang panglima terkenal dari Dinasti Abbasiyah. Begitu melihat sang panglima, sang pembangkangpun mengarahkan larinya kea rah sang panglima sambal berteriak,”Tuan. Lindungilah saya!”

“Siapakah kau?”

“Tuan! Saya adalah seorang pembangkang. Kini saya adalah seorang buron Amirul Mukminin. Bagi orang yang berhasil menangkap saya, Amirul Mukminin menjanjikan hadiah sebesar 100.000 dirham.”

“Biarkan orang ini. Orang ini kini berada di bawah perlindunganku!”seru Ma’an bin Zaidah kepada orang-orang yang berusaha menangkap sang pembangkang.

Saudara! Cepat naik ke punggung kuda ini. Di belakang saya!”seru sang panglima kepada sang pembangkang.

Begitu sang pembangkang telah berada di atas punggung kuda, sang panglima pun segera menggebrak kudanya dan membawa pergi sang pembangkang. Dan segera kejadian itupun sampai ke pendengaran Abu Ja’faral Manshur.

Amarah sang khalifah pun meledak. Dia pun segera memerintahkan agar sang panglima segera menghadap kepadanya di Baghdad Darus Salam. Ma’an bin Zaidah berpesan kepada seorang anggota keluarganya,”Biarkan orang itu berlindung dengan tenang di rumah ini. Jangan serahkan dia kepada siapapun yang mencarinya.”

Ketika telah berada di istana dan berada di hadapan sang penguasa, Ma’an bin Zaidah pun dengan penuh takzim mengucapkan salam kepada Abu Ja’far al Manshur. Namun tiada jawaban sama sekali. Selepas senyap beberapa waktu, sang penguasa pun berucap lantang,”Ma’an! Mengapa engkau memberikan perlindungan kepada pembangkang?”

Ma’an bin Zaidah menarik nafas panjang, kemudian berucap pelan dengan penuh takzim. “Amirul Mukminin. Beberapa waktu yang lalu, engkau mengutus saya sebagai seorang panglima pasukan besar ke Yaman. Perintah itu saya laksanakan dengan penuh ketaatan dan kepatuhan. Saya ikut terjun langsung ke medan pertempuran bersama pasukan yang berhasil melibas sekitar 10.000 anggota pasukan lawan. Kini, tidak layakkah saya menjadi penjamin keselamatan diri seorang pembangkang yang meminta perlindungan di bawah naungan rumah saya?”

Mendengar jawaban sang panglima yang demikian, tiba-tiba amarah Abu Ja’far al Manshur mereda. Beberapa saat kemudian, dia berucap,”Abu al Walid! Perlindungan juga akan kuberikan kepada orang yang berada di naungan perlindungan yang engkau berikan.”

“Terima kasih. Amirul Mukminin,”sahut sang panglima.”Tentu pembangkang itu akan sangat puas dan berterima kasih kepadamu. Orang itu kini benar-benar dalam keadaan sangat ketakutan.”

“Serahkan kepadanya hadiah dariku sebesar 50.000 dirham!”

“Amirul Mukminin, silaturahmi seorang penguasa terhadap rakyat yang membangkang sangat besar artinya. Orang itu memang sangat besar kesalahannya. Karena itu, kiranya Amirul Mukminin berkenan meningkatkan besaran hadiah kepadanya.”

“Serahkan kepadanya ahdiah dariku sebesar 100.000 dirham!”

“Amirul Mukminin! Saya mohon kiranya hadiah itu segera diserahkan kepadanya. Bukankah kebaikan terbaik adalah kebaikan yang dilaksanakan segera.”

Abu Ja’far al Manshur pun memerintahkan agar hadiah sebesar 100.000 dirham diserahkan kepada Ma’an bin Zaidah, untuk disampaikan kepada sang pembangkang. Ketika bertemu dengan sang pembangkang, Ma’an berucap,”Terimalah hadiah ini sebagai silaturahmi dari sang penguasa. Terimalah uluran tangannya. Dan janganlah engkau membangkang kembali. Dimanapun engkau berada.”

Sang pembangkang pun dengan penuh rasa syukur mengucapkan terima kasih kepada Ma’an bin Zaidah dan berjanji tidak akan membangkang kembali. || Sumber : Islamic Golden Stories, Tanggung Jawab Pemimpin Muslim, Ahmad Rofi’ Usmani, Bunyan, 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *