“Pembangunan Meikarta harus dibatalkan dan dihentikan!,” kata Nur Hidayat.
Wartapilihan.com, Jakarta — Polemik pembangunan Kota Meikarta yang terletak di daerah Cikarang, Jawa Barat terus menuai protes. Pasalnya, rencana pembangunan di atas tanah seluas 22 juta meter persegi dengan taksiran dana sebesar Rp 278 Triliun hingga kini belum memiliki izin. Diantaranya izin RUTR (rancangan umum tata ruang), izin AMDAl, pemanfaatan lahan, dan izin mendirikan bangunan (IMB).
Selain itu, dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku di NKRI, segala hal pelaksanaan dalam menjalankan pembangunan harus sesuai dengan koridor hukum yang telah ditentukan dan tidak bisa berbenturan dengan alasan diskresi. Artinya, diskresi yang dikeluarkan oleh pemerintah lokal tidak boleh berbenturan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
“Pembangunan harus mengacu kepada proses hukum, keseimbangan lingkungan dan alam sebagai hak sosial dengan mengacu kepada prinsip keadilan,” kata koordinator Gerakan Tolak Meikarta (GTM) Nur Hidayat dalam sebuah diskusi di bilangan Cawang, Jakarta Timur, Rabu (20/9).
Artinya, lanjut dia, pembangunan yang dilakukan harus tetap memiliki konsep yang berwawasan lingkungan baik alam maupun sosial, agar tidak terjadi disparitas dan kerusakan alam yang semakin parah, karena tidak ada kajian AMDAL dan izin dalam mendirikan bangunan serta dapat menciptakan kecemburuan sosial yang semakin dalam.
“Hanya karena nilai investasi menjanjikan, para pengembang mengorbankan hak-hak kehidupan rakyat dan menabrak hukum. Stop dan hentikan proyek pembangunan yang bersifat arogan,” tegasnya.
Dalam kesempatan sama, pengamat sosial Hendrajit mengungkapkan, strategi asimetris (proxy war) saat ini ada 3 langkah. Pertama, memutuskan hubungan antara generasi hari ini dengan para leluhur. Kedua, menguasai sejarah, dan ketiga, mendistorsi (melakukan penyimpangan) sejarah.
“Ini dapat menggerus kearifan lokalitas daerah itu, apalagi kalau memiliki historis Raja Jawa mengepung Belanda walaupun gagal. Tapi pada saat yang sama, mereka akan memunculkan masyarakat yang terdidik, mandiri dan jauh dari kearifan lokal,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, Cina tidak terlalu memasalahkan suatu entitas. Tapi bagaimana kepentingan mereka masuk dan mendapatkan garansi. Awalnya, gerakan Cina lebih menitikberatkan pada ekonomi, namun saat ini lebih kepada gerakan politik dengan menjadikan pribumi sebagai patron.
“Jadi kerangkanya tetap arsimetrik war. Otomatis hal ini akan menimbulkan budaya baru, sementara kearifan lokal semakin terpinggirkan. Sebetulnya serangan itu bukan pada ekonomi dan politik saja, tetapi juga budaya,” imbuhnya.
Senada dengannya, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) dr. Ali Machsun menuturkan, negara Indonesia sudah tidak berdaulat baik secara ekonomi maupun politik. Tata kelola bangsa, kata dia, mengalami sebuah distorsi dan trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif) tidak lagi berpihak kepada rakyat.
“Termasuk tiga instrumen yang tidak ada di tangan bumi pertiwi, yaitu keuangan, komunikasi informatika dan transportasi. Sebab itu, jika James Ryadi tetap menjalankan Meikarta. Maka kami melakukan lima revolusi. Yaitu revolusi kaki lima, revolusi lahan, revolusi keuangan, revolusi perdagangan, dan revolusi industri,” tegasnya.
Kordinator Gerakkan Aliansi Laskar Anti Korupsi (Galak) Muslim Arbi mengungkapkan, Presiden Jokowi tidak berani melakukan perlawanan terhadap kelompok 9 cukong, termasuk kasus patung di Tuban, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Hal ini, kata dia, merupakan konspirasi politbiro Indonesia.
“Kita ingin menjadi bangsa berdaulat, tidak boleh dijajah, tidak boleh menjadi boneka, dan tidak boleh menjadi kacung di negeri sendiri. Sebab, apabila Meikarta mereka berhasil, maka mereka akan menguasai Indonesia secara keseluruhan. Meikarta ini merupakan pintu masuk. Saatnya kita merebut kembali kedaulatan bangsa Indonesia,” tegas dia dengan nada bergelora.
Ahmad Zuhdi