Soal aksen kita tidak boleh saling menghujat dan hina, tapi soal ketepatan makhrijul huruf dan ketepatan melafadzkan huruf itu wajib diluruskan dan wajib belajar untuk mengucapkan lafal yang tepat dan benar.
Wartapilihan.com, Jakarta — Hal tersebut disampaikan Ustadz Dr. Miftah el-Banjary yang merupakan Dosen Ilmu Semantik Arab. Ia mengatakan responnya oleh pasal respon masyarakat yang hiruk-pikuk karena penyebutan Al Fateka oleh Presiden Joko Widodo pada Pembukaan MTQ di Medan beberapa waktu lalu.
“Ada diantara kalangan para sahabat melaporkan pada Rasulullah bahwa ada para sahabat lain di suatu perkampungan suku Arab badui lainnya yang keliru bacaan al-Qur’annya, lantas Rasulullah memanggil sahabat itu dan meminta diperdengarkan,” ia menjelaskan.
Akhirnya, Rasulullah bersabda bahwa “al-Qur’an itu diturunkan pada 7 dialek/aksen yang berbeda-beda.” Bermula dari kejadian inilah kemudian dikenal istilah “Ilmu Qira’at Sab’ah.”
“Mengapa Rasulullah menerima perbedaan dialek para sahabat yang berbeda-beda bacaannya itu? Jawabannya, karena perbedaan bacaan para sahabat, tidak merubah pada makna subtansi makna al-Qur’an itu,” terang dia.
Menjadi lain persoalannya, jika ucapannya itu merubah pada subtansi makna dari ayat al-Qur’an itu sendiri. Nah, tentu Rasulullah tidak akan mentolerir.
“Masih ingat kisah kemarahan Sayyidina Umar bin Khattab terhadap orang yang sembarangan menyebutkan lafal al-Qur’an, beliau marah menegur seraya ingin memukulnya. Sebab bahasa Arab merupakan bahasa yang paling kaya makna dan paling sensitif terhadap pergeseran makna.
Artinya, kesalahan mengucapkan berakibat pada kesalahan makna. Betapa perbedaan satu huruf saja berimplikasi pada perbedan makna yang sangat kontradiksi,” tekan Ustadz Miftah.
Betapa perbedaan satu huruf saja, bisa berimplikasi pada perbedaan makna yang sangat kontradiksi. Contohnya, Lafadz “Qalbu” (قلب) dengan huruf Q bermakna “Hati”, namun jika dibaca “Kalbu” (كلب) dengan huruf K berubah menjadi “Anjing”.
Demikian juga dengan Kosakata “Katala” (كتل) dengan huruf K bermakna “Menawan”, tapi jika dibaca “Qatala” (قتل) dengan huruf Q berarti “Membunuh”.
“Kata “Sakin” (سكين) dengan fathah sin bermakna “Ketenangan” bisa berubah makna dengan kata yang sama, tapi beda harakat menjadi “Pisau” jika dibaca “Sikin” dengan harakat kasrah pada huruf sin,” terangnya.
Dari sinilah seharusnya menurut dia, seseorang harus belajar dan harus terus belajar memperbaiki bacaan makhrijul huruf kita, sebab kesalahan dalam pengucapan makhraj huruf pastinya berakibat pada kesalahan-kesalahan bacaan al-Qur’an selanjutnya.
“Sekarang mari kita perhatikan pergeseran makna dari “al-Fatihah” menjadi “al-Fateka”, bukan menurut saya, tapi menurut al-Mu’jam al-Wasith kamus yang menjadi rujukan bahasa Arab yang cukup dianggap sangat repesentatif saat ini. Apakah merubah makna atau tidak?”
Al-Fatihah (الفاتحة) bermakna “Pembuka”, sedangkan (الفاتكة) “al-Faatika” atau “al-Fateka” merupakan bentuk Ism Fa’il Muannats Al-Fatika/al-Fateka bermakna “Kesewenangan”, “Membunuh” dan “Kekerasan.” Silahkan cek kembali di kamus “al-Mu’jam al-Wasith” cetakan “Maktabah Syouruq ad-Dauliyah” Mesir halaman 697 kolom pertama.
“Tentu, kesalahan ucap ini -entah kekeluan lidah dalam pengucapan huruf yang dalam istilah ilmu Balaghah disebut Tanafur al-Kalam”- tapi sesungguhnya kesalahan ini telah menyebabkan perubahan subtansi makna. Bergeser atau rusaknya makna,” ia menerangkan.
Menurut dia, berbahaya jika terjadi kesalahan pengucapannya dalam pembacaan al-Qur’an, misalnya dalam pembacaan surah al-Fatihah itu sendiri.
“Perbedaan budaya dan aksen/dialek bahasa daerah tidak bisa juga serta-merta dituding dan dijadikan justifikasi atas kesalahan pengucapan makharijul huruf bahasa Arab yang bisa dianggap sepele,” tegasnya.
Bukan sekedar kesalahan pengucapan, tapi faktornya karena ya tidak terbiasa melafalkan kalimah-kalimah thayyibah. Ini faktor yang seringkali ditemui dari orang-orang yang sering keliru bacaan al-Qur’annya.
“Persoalan ini juga bukan soal ibadah, jika tidak menyangkut kewajiban shalat. Jika menyangkut kewajiban shalat, tentu kewajiban membaca al-Fatihah tidk bisa ditawar-tawar lagi. Hadits nabi: “Laa shalata illa bi faatihatil kitaab. Tidak sah shalat seseorang, tanpa al-Fatihah,”
Dengan demikian, syarat dan ketentuan kefasihan membaca surah al-Fatihah menjadi persyarat utama penentu sah atau tidaknya shalat seseorang dalam standar kaidah keilmuan menurut ilmu Fiqh dan Fuqaha.
“Soal kekeliruan pengucapan al-Fatihah menjadi al-Fateka adalah semata aksen pengaruh budaya lokal atau warna bahasa. Namun, jika dalam ilmu tajwid tentu tidak bisa ditolerir. Demikian juga dalam semantik/dilalah bahasa Arab akan mengundang perbedaan makna,”
Pengaruh budaya dan aksen lokal, menurut dia, sah-sah saja dalam bahasa lain, namun sekali lagi, dalam bahasa arab berbeda pengucapan akan menyebabkan perubahan dan perbedaan makna.
“Seperti itulah faktanya yang secara ilmiah juga harus dipaparkan agar kita semua tercerdaskan,” pungkas Ustadz Miftah.
Eveline Ramadhini