Media massa kembali memberitakan bahwa kemanan taksi daring atau taksi online lemah. Pada 18 Maret 2018 kembali tindak kejahatan dilakukan pengemudi taksi online terhadap penumpangnya. Perempuan bernama Yun Siska Rohani (29 tahun) dibunuh oleh pengemudi taksi online yang korban tumpangi di Bogor. Pengemudi taksi online ini melakukan pembunuhan dibantu seorang temannya.
Wartapilihan.com, Jakarta – Kejahatan oleh pengemudi taksi online terhadap penggunanya sudah sering terjadi di Indonesia. Kejahatan tersebut antara lain pada 11 Oktober 2017, seorang perempuan penumpang taksi online hampir diperkosa di Makassar; pada 17 Januari 2018 seorang perempuan dirampok oleh pengemudi taksi online yang di tumpangi di Bandung; juga pada 12 Februari 2018 seorang perempuan dicabuli dan dibuang di sekitar bandara Soekarno Hatta oleh pengemudi taksi yang ditumpangi korban.
Menanggapi hal ini, Azas Tigor Nainggolan, Analis Kebijakan Transportasi dan KetuaForum Warga Kota Jakarta (FAKTA) mengatakan, penanganan atau penyelesaian masalah kemanan atau jaminan perlindungan hukum bagi pengguna taksi online nyaris tidak ada hingga saat ini. Pemerintah menurutnya seakan tidak berwibawa dihadapan para aplikator taksi online.
“Hingga saat ini pemerintah tidak berdaya mengawasi dan menegakan hukum terhadap pelanggaran keamanan atau kejahatan yang terjadi di pelayanan taksi online. Pemerintah tidak memiliki kemauan melindungi pengguna taksi online dan seakan membiarkan saja kejahatan dan masalah di taksi online,” kata Azas, kepada Warta Pilihan (wartapilihan.com).
“Semua kejadian tindak kejahatan oleh pengemudi taksi online ini membuktikan bahwa tidak adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM) pelayanan taksi online terhadap penumpang atau penggunanya. Semua kejadian kejahatan oleh pengemudi taksi online tersebut juga membuktikan d bahwa tidak ada Standar bagus dalam rekruiting pengemudi oleh aplikator taksi online hingga saat ini,” lanjut dia.
Azas pun menyayangkan, hingga saat ini pihak pemerintah belum juga bersikap dan menunjukkan upaya menyelesaikan buruk atau lemahnya keamanan taksi online. Pemerintah terlihat tidak peduli dan diam saja tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap aplikator yang mitra atau pengemudinya melakukan kejahatan terhadap penumpangnya. Padahal yang merekrut dan mengoperasikan para pengemudi itu adalah perusahaan aplikasi atau aplikator taksi online.
“Seolah pemerintah mengadu antara pengguna atau publik dengan aplikator taksi online karena pemerintah takut berhadapan dengan aplikator taksi online. Akibatnya pengguna dirugikan terus menerus karena tidak ada Standar Pelayanan Minimum (SPM), Pengawasan serta Penegakan Peraturan terhadap taksi online dari pemerintah,” tukas dia.
Berdasarkan data terbaru, pengadilan Uni Eropa (European Court of Justice (ECJ) telah memutuskan bahwa Uber (taksi online) bahwa pelayanan transportasinya diawasi sebagaimana pengawasan terhadap operator taksi lainnya seperti pengaturan tanda (stiker) Lisensinya dan lain-lain.
Sedangkan Indonesia, Azas menambahkan, pengawasan terhadap SPM taksi umumnya (konvensional) lemah dan keamanan layanan taksi konvensional juga lemah sampai saat ini. Masalah keamanan taksi online dan konvensional sama-sama lemah, banyak tindak kejahatan dan belum ada penegakan peraturan serta pengawasan ketat oleh pemerintah.
“Untuk itu pemerintah harus berwibawa dalam menegakan peraturan serta mengawasi ketat SPM dalam pelayanan taksi online dan taksi konvensional. Ketegasan itu bisa dilakukan jika pemerintah menjaga kewibawaannya sendiri di hadapan pengusaha taksi konvensional dan aplikator taksi online,” pungkas Azas.
Eveline Ramadhini