LAHIRNYA PANCASILA, TEORI “PERASAN” DASAR NEGARA SUKARNO DALAM TINJAUAN

by

Oleh: Dr. Suidat, M.Pd.I. (Dosen Attaqwa College, Pesantren Attaqwa Depok)

Setiap tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Dalam sejarahnya pada tanggal itu kata “Pancasila” pertama kali diucapkan oleh Sukarno, tepatnya pada 1 Juni 1945 yaitu pada sidang pertama BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Agenda sidang tersebut membahas tentang dasar negara Indonesia. Banyak tokoh nasional yang mengusulkan konsep dan rumusan dasar negara Indonesia merdeka, termasuk Sukarno. Pidato Sukarno 1 Juni 1945 merupakan rangkaian terakhir dari sidang pertama yang digelar BPUPK. Tetapi tidak serta merta usulan dasar negara Sukarno itu diterima oleh BPUPK.

Dr. Suidat, M.Pd.I. 

Sebelum Sukarno sudah ada beberapa tokoh yang telah menyampaikan usulannya tentang konsep dasar negara, seperti Muhammad Yamin, Ki Bagus Hadikusumo, Supomo, dan beberapa tokoh lainnya. Konsep dasar negara yang disampaikan mereka dimulai dari sidang pertama BPUPK digelar, yaitu pada 29 Mei 1945. Semua rumusan dasar negara yang telah disampaikan baru sebatas usulan, belum ada yang disepakati.

Dengan narasi yang cukup panjang Sukarno berpidato dihadapan anggota sidang BPUPK. Pokok rumusan dasar negara yang diusulkan Sukarno terdiri dari lima asas. Kemudian lima asas itu ia coba sederhanakan (diperas) menjadi tiga, selanjutnya ia peras lagi menjadi satu asas. Berikut sebagian isi pidato Sukarno:

 

“Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan empat prinsip: 1). Kebangsaan Indonesia, 2). Internasionalisme, atau perikemanusiaan, 3). Mufakat, atau demokrasi, 4). Kesejahteraan Sosial. Prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! (sebagai prinsip kelima; penulis). Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk nabi Muhammad saw, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.

Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.

Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? saya boleh peras., sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? . . . Dua dasar yang pertama: kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu, itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme. Demokrasi dan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghoramti satu sama lain.

Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? . . . maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong’. Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. (Lihat: Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, hlm. 101, 103).

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari rumusan dan pandangan Sukarno tentang dasar negara yang ia usulkan saat itu. Bagian ini penting untuk diketahui, yaitu Pancasila yang menjadi dasar negara hingga saat ini bukanlah penjabaran dari Pancasila yang disampaikan Sukarno. Akan tetapi bersumber dari rumusan dasar negara yang telah disepakati oleh Panitia Sembilan yang kemudian disetujui dalam sidang BPUPK. Namun belakangan (tepatnya 18 Agustus 1945) terjadi perubahan yang sangat mendasar yaitu dihapusnya tujuh kata pada bagian (sila) pertama.

Kasman Singodimedjo salah seorang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari golongan nasionalis Islam, pernah mengkritik terhadap teori perasan Sukarno di atas. Dalam bukunya Renungan dari Tahanan, Kasman menulis:

Oleh sebab itu, kalau toch diperlukan suatu pemerasan dari Pancasila itu -(ummat Islam tidak memerlukan teori pemerasan)-, maka hasil pemerasan itu boleh saja menjadi satu, tetapi yang satu itu adalah justru Eka Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itulah, bukan gotong royong seperti yang dihasilkan oleh Bung Karno dengan teori pemerasannya. Adapun soal gotong royong tetap saja harus diamalkan oleh umat manusia, apapula oleh umat Islam. Sebaliknya apabila hasil dari pemerasan kelima-lima sila dari Pancasila itu adalah gotong royong, maka agak aneh dan absurd kedengarannya karena kesannya ialah bahwa Allah dapat diperas sehingga menjadi hilang sama sekali: “sirna tanpa laju”. Atau apabila tidak mau atau tidak mungkin menganggap Allah sirna tanpa laju, maka haruslah dianggap bahwa Allah sebagai akibat dari teori pemerasan Bung Karno itu menjadi peserta di dalam gotongroyongnya para manusia? Allah bergotong royong dengan Gerwani dan PKI? Absurd bukan?.

Sebelum Kasman melakukan kritik atas teori perasan Sukarno itu, ia telah menjelaskan tentang kedudukan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang menurutnya sila tersebut merupakan induk dan sumber dari sila-sila yang lain. Empat sila terakhir adalah derivasi (derivatieven) dari sila yang pertama.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dinilai sebagai sokoguru (tiang pokok) yang berdiri tegak di tengah soko pilar (pilar-pilar) lain yang berjumlah empat. Apabila sokoguru tidak berdiri tegak lagi maka pasti akan robohlah rumah yang harus dibangun dengan sebaik-baiknya itu sesuai dengan maksud dan tujuannya: adil, makmur, gemah, ripah, loh jinawi, tata tentrem, karta raharja.

Penilaian dan pandangan Kasman tentang kedudukan Sila Ketuhanan berbeda sekali dengan sila Ketuhanan yang dibentangkan Sukarno. Bahkan di samping sila tersebut menjadi sub bagian dalam teori perasannya, Sukarno juga meletakkan sila itu pada posisi terakhir (di sila kelima). Perbedaan dalam menempatkan sila-sila Pancasila secara hirarkis, menyebabkan terjadinya perbedaan penafsiran yang signifikan. Sukarno cenderung sekular, sementara Kasman kuat dengan basis Islamisnya.

Perbedaan worldview (pandangan alam) ini akan berdampak secara praktis dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui perbedaan cara pandang para tokoh (founding fathers) saat ini sudah terlihat. Ada dua arus pemikiran yang mewarnai atmosfir sidang saat itu, yaitu kelompok yang berbasis nasionalis-Islamis dan nasionalis-sekular.

Konsep Ketuhanan yang tercantum di dalam Pancasila harus dimaknai dengan benar. Bagi umat Islam dalam memahami sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus berdasarkan pada cara pandang Islam. Bukan berdasar pada keyakinan lain, atau berdasarkan pada prinsip persamaan keyakinan dengan agama lain.

Dalam Sidang Konstituante 1957 (yaitu dua belas tahun setelah tujuh kata dihapus) Saifuddin Zuhri (dari Partai NU, Menteri Agama periode: 1962-1967) sempat berpidato yang isinya mengusulkan asas Islam sekaligus mengkritik Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. (Perlu diketahui Sidang Konstituante 1957 merupakan forum legislatif, yang saat itu salah satu pembahasannya tentang dasar negara dan konstitusi negara. Fraksi-fraksi dari partai berbasis Islam (seperti Masyumi, NU, dan lainnya) berusaha memperjuangkan kembali agar dasar negara Indonesia adalah Islam).

Dalam pidatonya Saifuddin Zuhri menyampaikan:

“Akan tetapi djikalau sila pertama itu harus diartikan “Negara jang berke-Tuhanan”, lalu jang manakah jang hendak dipakai, apakah ke-Tuhanan menurut adjaran Islam, katholik, Kristen, Serba Dewa, Atheisme jang masing-masing mempunjai dasar-dasar peladjaran tentang Tauhid, Tatslite, Trimurti dan sebagainya, ataukah harus dipakai hasil perasan dari semua dasar-dasar peladjaran tentang kepertjajaan ke-Tuhanan itu, jang tentu sadja tidak dapat dipakai oleh pemeluk agama Islam, djuga tidak bagi pemeluk katholiek, Kristen dan lain-lainja. (Risalah Perundingan, 1957, Djilid VII, hlm. 205)

Takdir menentukan lain. Sebelum Badan Konstituante berhasil melahirkan dasar negara dan konstitusi baru, pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit. Di antara isi dekrit tersebut menegaskan bahwa Badan Konstituante dibubarkan, dan Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali.

Ada poin yang sangat penting yang perlu dipahami dalam Dekrit tersebut, di mana Sukarno menyatakan dalam Dekritnya: Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.

Pernyataan “Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi (UUD 1945) tersebut” mengandung implikasi hukum yang penting, khususnya bagi perjuangan umat Islam. Artinya tujuh kata yang telah dihapus menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa itu telah hidup kembali. Inilah yang disebut sebagai kemenangan ideologis.

Lalu apa implikasi hukumnya? implikasi hukumnya adalah dengan adanya Dekrit tersebut maka setiap perjuangan umat Islam Indonesia yang menyangkut legalitas formal syariat Islam tidaklah bertentangan bahkan dijamin oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Saat ini tidak sedikit produk perundang-undangan telah dihasilkan oleh lembaga legislatif yang merespon dan mengatur keberlakuan syariat Islam. Sebut saja Undang-Undang tentang Zakat, Wakaf, Perkawinan, Peradilan Agama, Perbankan Syariah, dan yang lainnya. Meskipun belum semua bisa undangkan secara formal, namun hasil perjuangan ini wajib diapresiasi, sambil terus berjuang untuk membumikan syariat Islam lainnya.

Demikian hal penting yang perlu dipahami dalam memaknakan Pancasila. Pemaknaan demikian harus terus disampaikan kepada para murid, santri, dan para mahasiswa dalam kegiatan belajar mereka. Agar mereka mengetahui dan memiliki pemahaman yang tepat tentang Pancasila berdasar pada worldview Islam. Yakin Usaha Sampai. Aamiin.