KPU Diizinkan Akses Data Masyarakat

by
Diskusi di Warung Daun, Cikini, terkait kebijakan pemerintah yang mewajibkan Pelanggan seluler melakukan registrasi ulang. Foto: Zuhdi

Dalam pasal 96 dan 97 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006, penyebar blangko e-KTP dapat dikenakan sanksi pidana. Bagaimana dengan oknum yang mengkorupsi dana blangko?

Wartapilihan.com, Jakarta –Kejahatan melalui dunia maya sangat masif dan terorganisir. Kejahatan itu tidak hanya merugikan harta, bahkan nyawa si pengguna. Atas landasan itu, pemerintah melakukan kebijakan penyederhanaan kartu seluler pelanggan dengan batasan tiga nomor.

Namun, mekanisme tersebut dilakukan dengan cara Pelanggan memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam melakukan registrasi ulang. Aturan itu diberlakukan terhitung 31 Oktober 2017 sampai dengan April 2018. Apabila Pelanggan tidak melakukan registrasi ulang, maka akan di blokir.

Pelaksana Tugas Direktur Fasilitasi Pemanfaatan Data dan Dokumen Kependudukan Ditjen Dukcapil (Kependudukan dan Catatan Sipil) Kemendagri David Yama menuturkan, pemerintah amanah dan konsisten dalam menjalankan Undang-Undang Admistrasi Induk Kependudukan. Dia meminta masyarakat tidak perlu khawatir atas kebijakan tersebut.

“Dukcapil tidak akan memberikan data masyarakat kepada siapapun selain KPU (Komisi Pemilihan Umum). Pemerintah tidak memiliki niat buruk, tetapi pemerintah sedang membangun trust (kepercayaan) kepada publik. Dalam pasal 96 Adminduk jelas dikatakan, siapapun yang menyebarkan data blanko dapat dikenai pidana,” jelas David.

Dia menyebut, ada dua hal yang dirasakan masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Pertama, aspek teknis. Kedua, non teknis. Aspek teknis meliputi tata cara Pelanggan dalam melakukan registrasi ulang. Sedangkan non teknis, tidak adanya payung hukum terkait perlindungan data pribadi konsumen.

“Kami akan mengingatkan kepada Kominfo untuk melakukan penyeragaman, satu model. Sehingga masyarakat mudah untuk melakukan registrasi. Kemudian, pemerintah pun tidak perlu menyalahkan rakyat. Semua memiliki proses,” kata David.

Saat ini, terang David, terdapat 481 lintas Kementerian dan Lembaga terkait yang menggunakan akses data publik. Diantaranya pemerintahan, sektor swasta, pembangunan, dan bisnis. Menurut David, prinsipnya data masyarakat harus dilindungi dan disimpan oleh negara, tidak boleh disalahgunakan.

“Setelah dilakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS), data itu wajib di proteksi agar tidak dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” tukasnya.

Senada hal itu, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indoenesia Ronny Bishry mengatakan, pemerintah harus memastikan dua aspek kepada Pelanggan. Pertama aspek keamanan. Kedua, kenyamanan. Dia mencontohkan, masyarakat yang akan ke ATM merasa aman dengan fasilitas yang tersedia. Tetapi bisa jadi tidak nyaman karena bentuk tombol ATM yang tidak sejajar degan posisi tubuh.

“Kami selalu menemukan dua masalah di masyarakat. Ada yang berhasil melakukan validasi, ada yang tidak. Kami mengharapkan program ini seperti slogan habis gelap terbitlah terang. Insya Allah kami akan selalu melakukan identifikasi dari temuan-temuan yang terjadi di lapangan,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *