Komnas HAM dan Komisi III Menyoal Pelanggaran HAM Aparat

by

Wartapilihan.com, Jakarta – Sengketa lahan dan pengawasan Sumber Daya Alam (SDA) masih merupakan kasus tertinggi yang ditangani oleh Subkomisi Mediasi Komnas HAM (berjumlah 275 kasus dari total kasus berjalan yang ditangani oleh Subkom Mediasi). Hal tersebut disampaikan Ketua Komnas HAM, M. Imdadun Rahmat saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI di gedung DPR, Senayan pada Rabu (29/3).

“Tipologi sengketa lahan yang struktural, sangat tepat bila diselesaikan melalui proses mediasi. Ketimpangan struktural antara masyarakat ketika berhadapan dengan Negara dan Korporasi menjadikan peran mediasi Komnas HAM sangat dibutuhkan untuk menguatkan posisi masyarakat dalam upaya penyelesaian sengketa dan mencegah terjadinya konflik sosial,” ujarnya.

Metode ini untuk menyelidiki, menganalisis akar masalah dan merumuskan rekomendasi pemulihan pelanggaran HAM. Metode ini dilakukan di tengah kondisi dimana perbaikan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan di Indonesia telah terjadi, namun pelanggaran HAM masih terus terjadi.

“Investigasi masalah HAM ini dilakukan secara sistematis dengan melibatkan masyarakat, saksi, institusi, peneliti, pendidik, dan ahli kebijakan secara transparan melalui kerangka penyelidikan pola sistematik pelanggaran HAM. Tujuannya untuk identifikasi temuan-temuan dan rekomendasi guna ditindaklanjuti oleh sejumlah pihak,” jelasnya.

Dua dimensi penting tentang penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMN) 2015-2019; bahwa penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu merupakan hasil konsensus nasional, dilaksanakan dengan adanya pelanggaran HAM di masa lalu dan pemulihan hak korban.

Anggota Komisi III, Desmond Junaedi Mahesa menuturkan, tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polisi dan TNI misalnya kasus Santoso, apabila dilakukan oleh aparat tersebut dan tidak bisa dibuktikan, maka akan mudah diubah di peradilan.

“Kalau tentara yang melakukan tindakan dan cenderung tidak bisa membuktikan tindakannya, maka peradilan kita bisa di akal-akalin oleh polisi dan tentara, tetapi pengadilan HAM internasional, posisi orang menembak harus diketahui, posisi peluru dimana, itu yang menjadi soal,” terangnya.

Ia menerangkan, kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi bukan hanya masalah Republik Indonesia, tetapi juga masalah yang menyangkut peradilan internasional.

“Maka kami komisi III menggali gagasan-gagasan ini, agar kami membuat undang-undang perlindungan HAM dengan sangat hati-hati,” Desmond menjelaskan.

Terakhir, ia mengungkapkan, persoalan pelanggaran HAM ini muaranya adalah pemerintah. Temuan-temuan Komnas HAM seharusnya pemerintah menindaklanjuti dengan baik, baik yang cenderung konflik horizontal maupun tindakan aparatur negara.

“Kalau ini ada proses pembiaran, pembiaran dan pembiaran baik di sengaja maupun tidak di sengaja, maka konflik pelanggaran HAM menunjukkan perannya Komnas HAM tidak ada. Sekian ribu laporan yang tidak terselesaikan, berarti wajah HAM kita buruk atau tidak? Pemerintah mau buruk tidak HAM-nya? Artinya DPR memberikan tekanan-tekanan, agar HAM di Indonesia sesuai dengan konstitusi kita,” ujar Desmond. I

Reporter: Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *