Wartapilihan.com, Jakarta – Di tengah kehebohan tarik ulur antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan Pemerintah, tiba-tiba Pemerintah mengeluarkan rekomendasi ekspor untuk Freeport pada tanggal 17 Februari 2017. Ketidakjelasan status Freeport apakah masih tetap perpegang pada Kontrak Karya (KK) atau telah beralih status menjadi Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK) dan keganjilan surat pengajuan ekspor PTFI dan rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM menjadi sorotan anggota Komisi VII DPR RI, Mukhtar Tompo.
“Di pasal 170, UU Minerba menyebutkan bahwa pemegang KK wajib melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, atau paling lambat 2014, inilah sebabnya pemerintah menawarkan IUPK kepada Freeport. Satu-satunya jalan yang memungkinkan Freeport mengekspor konsentrat adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK,” ujar Mukhtar di ruang Media Center DPR RI, Senin (20/3).
Pasal 102 dan 103 UU Minerba tidak memberikan batasan waktu kepada pemegang IUPK untuk merampungkan pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian). Sedangkan untuk pemegang KK ada batasan waktunya.
Freeport telah mengajukan surat 564/OPD/I/2017 tentang permohonan perubahan bentuk pengusahaan pertambangan menjadi IUPK tanggal 26 Januari 2017. Surat tersebut ditandatangani oleh Presiden Direktur PTFI saat itu, Chappy Hakim, namun redaksi surat tersebut terkesan “bersayap” dengan adanya pengajuan syarat: “bahwa perubahan menjadi suatu IUPK tersebut akan disertai dengan suatu perjanjian stabilitas investasi yang secara hukum mengikat dengan ketentuan-ketentuan yang kita sepakati bersama yang mengatur hak hak yang sama serta persen hukum dan fiskal yang sama, termasuk persetujuan operasi PTFI melewati 2021 sebagaimana terdapat dalam Kontrak Karya 1991 kita”.
“Dalam surat yang sama, Freeport menegaskan bahwa mereka hanya akan sepakat penggantian KK, jika ada penandatanganan perjanjian stabilitas yang disepakati bersama yang memberikan PTFI kepastian hukum dan fiskal yang diperlukan, termasuk perpanjangan operasi setelah tahun 2021-2041, dan didukung oleh peraturan-peraturan yang menegaskan keabsahan dari perjanjian tersebut. Berdasarkan uraian di atas status PTFI hingga saat ini belum jelas. Apakah masih dianggap pusat pertambangan berdasar KK atau IUPK,” terangnya.
Selain pelanggaran di atas, beberapa keganjilan yang terdapat dalam rekomendasi ekspor kepada PTFI yaitu surat pengajuan ekspor diajukan tanggal 16 Februari 2017, sedangkan rekomendasinya sudah terbit tanggal 17 Februari 2017. Tanpa menafikan kesigapan Kementerian ESDM, rasanya cukup ganjil rekomendasi ini dapat mengalahkan kecepatan penerbitan KTP dan Kartu Keluarga.
“Sekedar perbandingan saja dengan rekomendasi-rekomendasi sebelumnya, rekomendasi ekspor terbit 26 Januari 2015, setelah Freeport mengajukannya pada tanggal 24 Desember 2014. Artinya rekomendasi sebelumnya baru bisa terbit setelah proses verifikasi selama 1 hingga 2 bulan. Rekomendasi tahun 2017 terbit hanya sehari setelah diajukan. Patut dicurigai, ada permainan apa dibalik rekomendasi express tersebut,” tegasnya.
Keganjilan lain, rekomendasi yang terbit 17 Februari 2017 ini juga berlaku lebih lama, yaitu satu tahun, sedangkan rekomendasi-rekomendasi sebelumnya hanya berlaku selama 6 bulan. Pemerintah seolah mengikut saja dengan surat permintaan yang diajukan Freeport, yang memang meminta perpanjangan selama satu tahun. Padahal, evaluasi atas pembangunan smelter biasanya dilakukan setiap enam bulan.
Pemberian rekomendasi ini juga bertentangan dengan peraturan Menteri ESDM No 6 Tahun 2017, tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan dan pemurnian, pasal 5 ayat 2 yang menyebutkan 11 persyaratan terbitnya rekomendasi. Dari 11 syarat tersebut, Freeport hanya memenuhi 1 persyaratan, yaitu Pakta integritas. Itupun Pakta integritas yang terkesan mendikte pemerintah.
“Saya meminta segera diadakan Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri ESDM dan Dirjen Minerba untuk mengklarifikasi penerbitan surat rekomendasi, mendesak pemerintah untuk tidak mengambil tindakan sepihak terkait dengan penyelesaian masalah Freeport tanpa melibatkan Komisi VII, dan meminta rekan-rekan media pimpinan Ormas, LSM, gerakan mahasiswa untuk mengawal persoalan ini bersama-sama dengan tetap mengedepankan nalar kritis terhadap semua pihak termasuk ke pemerintah jika ada indikasi sedang memainkan dramaturgi dalam persoalan ini,” pungkasnya. |
Reporter: Ahmad Zuhdi