Kolaborasi Lintas Pihak di Cireundeu: Mengawal Hutan Adat dengan Kearifan Lokal dan Kebijakan

by
Foto: Wawancara dengan Kepala CDK IV Jawa Barat

Sebuah pepatah Sunda berbunyi, “Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak,” yang berarti jika hutan rusak dan air habis, manusia akan sengsara.

Wartapilihan.com, Bogor– Pepatah ini telah menjadi napas kehidupan masyarakat Kampung Adat Cireundeu di Kota Cimahi, Jawa Barat. Di tengah tantangan urbanisasi dan modernisasi, masyarakat adat ini teguh memegang nilai-nilai leluhur Sunda Wiwitan yang menempatkan alam sebagai bagian dari diri manusia. Kelestarian sistem adat ini tidak bisa berdiri sendiri, melainkan melalui kolaborasi erat berbagai pihak, mulai dari komunitas lokal hingga pemerintah dan akademisi.

Ajaran Sunda Wiwitan di Cireundeu menumbuhkan filosofi ngarumat, ngarawat, dan ngaraksa, yang berarti merasa memiliki, memelihara, dan menjaga alam. Filosofi ini terwujud nyata dalam sistem zonasi hutan yang menjaga keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan sumber daya berkelanjutan. Sistem ini membagi hutan menjadi tiga area: Leuweung Larangan, Leuweung Tutupan, dan Leuweung Baladahan.

Tim mahasiswa IPB University berupaya memahami harmoni manusia dan hutan di Cireundeu melalui riset Ecoculture dengan pendekatan Socio-Ecological System (SES), yang mengkaji interaksi antara sistem sosial dan ekologi dalam menjaga keseimbangan alam.

Upaya pelestarian hutan adat di Cireundeu melibatkan analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis) yang kompleks, melibatkan berbagai sektor pemerintahan dan komunitas.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cimahi adalah aktor penting yang mengawal kebijakan lingkungan dan berfungsi sebagai governance system dalam kerangka SES. DLH berperan mendukung pengakuan terhadap kearifan lokal dan mendorong integrasi pengelolaan hutan ke dalam kebijakan daerah yang ramah lingkungan.

Pemerintah Lokal seperti Kelurahan Leuwigajah bertindak sebagai jembatan komunikasi dan administrasi antara masyarakat adat dan pemerintah kota. Dukungan administratif dan komunikasi yang terbangun antara aparat kelurahan dengan tokoh adat menjadi modal penting. Ketua RW 10 Kelurahan Leuwigajah juga bermitra langsung dengan masyarakat untuk mengatur tata ruang dan kegiatan sosial agar selaras dengan prinsip konservasi.

Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Wilayah IV Provinsi Jawa Barat turut mendampingi masyarakat. CDK memberikan pembinaan teknis, pengawasan fungsi ekologis hutan, serta menjadi penghubung kebijakan kehutanan provinsi dengan kebutuhan adat di lapangan, termasuk reboisasi partisipatif. Kehadiran CDK memastikan pengelolaan hutan adat tidak hanya berbasis nilai tradisional, tetapi juga memiliki dasar ilmiah dan teknis sesuai prinsip kehutanan modern.

Di tingkat komunitas, Tokoh Adat Cireundeu, Ais Pangampih, menjadi figur sentral yang menjaga konsistensi nilai budaya dalam praktik sehari-hari. Sebagai sesepuh, ia mengajarkan pentingnya “ngindung ka waktu, mibapa ka jaman” – mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan akar adat yang sudah diwariskan secara turun menurun. Kepemimpinannya memungkinkan masyarakat beradaptasi dengan perubahan sosial dan ekonomi tanpa melepaskan prinsip konservasi yang dipegang teguh.

Keterlibatan akademisi, termasuk dosen dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memperkuat pendekatan ilmiah dalam memahami relasi manusia dan hutan. Kolaborasi antara peneliti, tokoh adat, dan pemerintah menghasilkan data empiris yang dapat menjadi dasar kebijakan publik.

Sinergi lintas pihak ini membuktikan bahwa menjaga hutan bukan hanya tugas masyarakat adat semata, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Kampung Adat Cireundeu menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal, yang dikolaborasikan dengan dukungan pemerintah, akademisi, dan masyarakat, mampu melahirkan sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Nilai-nilai adat bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan fondasi masa depan dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Seperti pepatah Sunda tadi, ketika hutan dijaga, kehidupan pun akan terjaga.

Fawwaz Zacky (mahasiswa Fahutan IPB)