Oleh: Taufik Hidayat (https://ngalirspace.wordpress.com/)
Kekosongan atau “terputus” dengan yang liyan telah muncul sebagai masalah sosial dalam beberapa tahun terakhir, bahkan dampaknya meluas hingga melampaui ketidak-nyamanan emosional semata. Hal ini, kemudian diteliti oleh Hawkley bersama Cacioppo dan ditemukan salah satu penyebabnya adalah absennya hubungan sosial yang bermakna.[1] Menjadi mengejutkan, bahwa di era hiperkoneksi yang ditandai dengan sederet platform sosmed, yang dasarnya justru menawarkan lajur hubungan-interaksi sosial, pada akhirnya melahirkan paradoks efek dari penggunaannya yang berlebihan. Iya, paparan berkepanjangan atas persona yang dicitrakan dalam sosmed telah berhasil memupuk manipulasi psikologis-emosional penggunanya.
Dunia telah terhubung oleh kemajuan teknologi, sehingga pengaruh budaya melampaui batas geografis. Bersamaan ini, lahir tantangan baru dalam menjaga norma dan nilai, sebab ia berkelindan dengan problem persepsi, perilaku, dan identitas.[2] Blundernya, penavigasian individu cenderung mengabaikan pemahaman tentang dinamika budaya maupun pengakuan atas ke-agensi-an manusia sebagai individu dalam konteks sosial yang lebih luas.[3] Akhirnya, ada langkah termarjinalkan, yakni soal perubahan trasnformasional melalui kesadaran kolektif, advokasi, ataupun gerakan-gerakan yang memupuk kembali nilai-nilai luhur.
Di persimpangan dinamika sosial-kenegaraan, pun muncul lahan subur bagi kalangan (oportunis) yang “memanfaatkan” perasaan frustasi dan ketidak-puasan di antara lapisan rakyat. Dengan pelbagai info. yang direkayasa untuk menenggalamkan fenomena krisis penanda rapuhnya kesadaran,[4] serta mengurangi fungsi kontrol-pengawasan atas perilaku nakal pemerintahan-perusahaan. Ditambah lagi dengan proliferasi media yang justru memfasilitasi orderan memanipulasi massa, berefek makin tak pahamnya kita soal demokrasi.[5] Konsekuensinya, baik kebijakan transformatif maupun perubahan sistemik lagi-lagi tak kunjung terealisasi.
Bagi Berardi (2017), Brown (2019), dan Hertz (2020), bahwa meningkatnya kasus loneliness dan penyakit mental (sebagaimana dihantar dalam paragraf 1), paradoks pergeseran budaya-teknologi-lingkungan (paragraf 2), dan serta giatnya kalangan yang mengangkangi sentimen rakyat dan pencabutan hak (paragraf 3), adalah isu-isu kontemporer yang lekat dengan alienasi.[6] Dalam varian sederhana, alienasi jelas identik dengan fenomena terpadu antara ketidak-berdayaan, ketidak-bermaknaan, ketidak-normalan, keterasingan, dan isolasi.[7] Itu sebabnya, konsep alienasi kerap digunakan untuk mengindentifikasi ragam penyakit sosial-psikologis.
Pelbagai peristiwa dalam ketiga paragraf di atas telah menandakan adanya problematika yang timbul dari hegemoni individualisme dan hakikat kemanusiaan kita memberikan tolak ukur “kepantasan” untuk menilainya. Dalam satu tulisan misalnya, Jaeggi pernah menyebut, bahwa alienasi hadir ketika kekuatan tak lagi egaliter, kurangnya kehadiran (jiwa) dalam hal-hal yang dilakukan individu, serta kegagalan untuk mengidentifikasi tindakan-keinginan untuk mengambil bagian dalam kehidupan.[8] Dengan kata lain, alienasi menjadi masalah, sebab menimbulkan dilema-kegamangan, menghalangi realisasi diri yang bersifat esensial, dan lebih dalam lagi karena memisahkan manusia dari kodratnya.
Melalui refleki sejarah, alienasi juga dapat ditilik. Pernah ditulis oleh Marx, bahwa ada perubahan dialektis yang terjadi dalam masyarakat.[9] Pada masa lalu (pra-kapitalis), ke-individu-an terkubur dalam peran sosial-komunitas, dan hampir tidak ada promosi identitas-kepentingan individu yang berbeda dari kepentingan komunal lebih luas. Setelahnya, bergeser ke masyarakat (kapitalis) saat ini yang dicirikan dengan dominannya keterpisahan, individu kemudian hanya peduli pada dirinya sendiri, dan hampir tak mengutamakan identitas-kepentingan komunitas secara luas. Sampai sekarang, gambaran individu yang terisolasi dan acuh tak acuh itu masing terus berlangsung.
Mari sisipkan sebuah dialog adaptif dari tulisan Jonathan,[10] dan pembaca dapat berkontemplasi tentang pengalaman yang mungkin pernah dialami tokohnya. Sebut saja, Bejo, seorang pemuda yang sempat merasa dalam fase hidupnya mngalami alienasi. Suatu ketika, ia ditanya oleh kawannya, sebut saja Tejo, ihwal alasan orang bersikap baik. Bejo bilang, “Saya selalu berpikir, bahwa orang saling membantu ketika mereka berada dalam posisi mampu untuk melakukannya. Sebagai sesama manusia, tentu orang merasakan apa yang dibutuhkan orang lain. Perasaan welas asih mendorong orang berlaku baik dan mendapat berbagai kepuasan dari hal itu.” Sementara, Tejo menjawab pertanyaan yang sama dengan singkat, bahwa relasi (keterhubungan) menjadi landasan orang berbuat baik pada orang lain, dan relasi pula menjadi landasan orang berbuat sebaliknya.
Terakhir, alienasi jika ditelaah melalui perspektif QS. Fatir ayat 15, ialah saat manusia telah menyimpang dari asal-usulnya dan menjadi terasing dari hakikat dirinya.[11] Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui kedudukannya semula dan memahami, bahwa untuk maju ia mesti terhubung dengan Allah SWT. sebagai sumber utama, maka ia tidak mau menjauhkan diri dari hakikatnya untuk menjadi hamba yang taat di sisi-Nya.
[1] Hawkley, L. C., Cacioppo, J. T., 2010, “Loneliness Matters: A Theoretical and Empirical Review of Consequences and Mechanisms”.
[2] Berger, P. L., Luckmann, T., 1966, “The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”.
[3] Hall, S., 1997, “Representation: Cultural Representations and Signifying Practices”.
[4] Klein, N., 2014, “This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate”.
[5] Mounk, Y., 2018, “The People vs. Democracy: Why Our Freedom is in Danger and How to Save It”.
[6] Øversveen, Emil, 2021, “Capitalism and Alienation: Towards a Marxist Theory of Alienation for The 21st Century”.
[7] “Alienation” (https://www.britannica.com/topic/alienation-society, diakses pada 14 April 2024)
[8] Jaeggi, Rahel, 2014, “Alienation”.
[9] Cohen, G.A., 1974, “Marx’s Dialectic of Labour”.
[10] Bi, Jonathan, 2023, “Alienation, Consequentialism and the Demands of Morality”.
[11] Bali, A. B., Valokolae, Z. H., Darzi, E. R., 2021, “Ways to Get Out of Alienation based on Verse 15 of Surah Fatir”.