“Saya mencatat keterangannya ada dua kali yang memiliki keberpihakan. Harusnya ahli menjelaskan sebagai sosiolog. Tapi dia lebih cenderung ke tindak pidana,” tutur Michdan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Pemerhati gerakan komunisme Ustaz Alfian Tanjung (UAT) kembali menjalankan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Agenda sidang ke-8 ini yaitu memeriksa saksi ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam persidangan, Jaksa menghadirkan saksi ahli yaitu Pakar Sosiologi Sutrisno. Setelah pembacaan sumpah, sempat terjadi ketegangan antara penasihat hukum dengan JPU. Pasalnya, saksi yang dihadirkan dari JPU tidak memiliki surat tugas, melainkan surat perintah.
Penasihat hukum Alfian Tanjung, Achmad Michdan menyayangkan kehadiran ahli bukan mendapatkan tugas resmi dari suatu institusi. Diketahui, Sutrisno saat ini menjadi tenaga pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
“Kalau dosen itu kan seharusnya mendapat surat tugas. Terlebih ahli harusnya diminta oleh rektornya, katakan. Supaya kehadirannya disini sah,” kata Michdan kepada Warta Pilihan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (14/2).
Selain itu, Michdan menilai keterangan ahli tidak netral. Padahal yang diminta JPU adalah keterangan ahli terkait ujaran kebencian dalam kacamata sosiologi. Dalam paparannya, Sutrisno menjelaskan teori sosiologi secara umum mempelajari tiga interaksi sosial. Pertama, interaksi berbentuk koperasi (kerjasama), kedua kompetisi dan ketiga konflik.
“Saya mencatat keterangannya ada dua kali yang memiliki keberpihakan. Harusnya ahli menjelaskan sebagai sosiolog. Tapi dia lebih cenderung ke tindak pidana,” tutur Michdan.
Karena itu, Michdan memertanyakan keahlian Sutrisno sebagai sosiolog berdasarkan referensi yang selama ini digunakan. Sebab, kata Michdan, keterangan dari para ahli sosiolog, telematika dan ITE, ujaran kebencian lebih dinisbatkan kepada para ulama.
“Apakah dia (Sutrisno) sebagai sosiolog keagamaan, sosiolog Barat atau sosiolog melihat realitas bangsa Indonesia. Kita bisa melihat, kelompok di luar ulama yang melakukan ujaran kebencian di media sosial tidak diproses. Tapi begitu ulama yang melakukan, cepat sekali diprosesnya,” tukasnya.
Alfian Tanjung mengapresiasi kehadiran Sutrisno sebagai ahli sosiolog. Namun, kata Alfian, bahaya laten komunis tidak dapat disorot dari perspektif akademik murni. Ahli, lanjutnya, lebih banyak menyerap informasi tidak terdapat gerakan PKI dan tidak intens berdiskusi atau mengembangkan literasi yang berhubungan dengan gerakan PKI.
“Secara keilmuan memang dia seorang sosiolog. Tapi secara pribadi, sepertinya ahli banyak mendapatkan arus informasi dari kelompok-kelompok yang menegasikan gerakan PKI. Dia tetap bersikukuh pada formula kerja-kerja riset,” ujar Alfian.
Sutrisno menjelaskan PKI memiliki makna teoratif yang bermakna menghalalkan segala cara. Sehingga orang takut ketika dilabeli komunis. Berbeda dengan label Masyumi meskipun partai ini pernah dilarang.
“Menurut saya PKI bukan genetic, tapi golongan saja. Hari ini PKI menjadi stigma untuk memukul orang. Padahal, manusia dalam sosiologi bisa menjadi Yahudi, Nasrani dan sebagainya tergantung proses pembelajaran dan perkembangannya. Prinsipnya, siapa yang mendidik saya,” terangnya.
Ahmad Zuhdi