Bagaimana hukum dalam Islam terkait perbuatan keji tersebut?
Wartapilihan.com, Jakarta –-Istilah pidana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berani kejahatan atau kriminal seperti pembunuhan, perampokan, korupsi dan lain sebagainya (1990:681). Dalam kitab-kitab flqh masalah pidana dibahas dalam kitab aI-jinayat. Jinayah (bentuk tunggal dari al-jindyat) secara etimologis berasal dari kata jana-yajni dengan arti mengambil. Jika seseorang mengambil buah dari batangnya diungkapkan dengan kalimat jana ats-tsamar.
Dalam terminologi flqh yang dimaksud dengan jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan, yaitu perbuatan yang diberi peringatan dan dilarang oleh Syari’ (Al-Qur’an dan Sunnah) karena akan mendatangkan kemudharatan kepada agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan. (Fiqh as-Sunnah II:506). Demikian disampaikan Ketua PP Muhammadiyah bidang Tarjih dan Tabligh Yunahar Ilyas dalam merespon dinamika pembahasan RKUHP terkait perluasan norma pelaku zina dan LGBT.
“Istilah jinayah diambilkan dari kata mengambil, karena orang yang melakukan tindak pidana atau jinayah tersebut mengambil hak orang lain yang telah ditctapkan oleh Allah SWT, atau karena kepada pelaku tindak pidana itu harus diambil tindakan untuk menghentikan perbuatannya,” kata Yunahar.
Jinayah, lanjutnya, ditinjau dari segi sanksinya, dapat dibagi dua. Pertama, hudud, yaitu segala macam tindak pidana yang sanksinya ditetapkan oleh nash (AI-Qur’an dan Sunnah); kedua, ta’zi‘r, yaitu tindak pidana yang sanksinya tidak ditentukan oleh nash, tapi diserahkan kepada ijtihad hakim.
“Hudud adalah bentuk jamak dari had yang pada asalnya berarti batas, misalnya batas tanah. Istilah hudud digunakan untuk pengertian tindak pidana itu sendiri dan juga untuk hukumnya,” terangnya.
Termasuk juga dalam kategori tindak pidana perzinaan adalah perbuatan homo seksual (hubungan seksual laki-laki sama laki-laki) dan lesbian (hubungan seksual perempuan sama perempuan). Tapi untuk dua kejahatan ini hukumannya berbeda dengan kejahatan perzinaan laki-laki dan perempuan.
Homo seksual, menurut Sayyid Sabiq, termasuk kejahatan yang paling besar (min akbar aI-jara‘im), lebih buruk dari perzinaan biasa, karena perbuatan keji ini memsak moral, fitrah, agama, dunia, bahkan kehidupan. (Fiqh as-Sunnah II:427) Begitu kejinya perbuatan ini sampai-sampai Allah membinasakan kaum Luth yang homo seksual dengan menurunkan hujan batu.
Karena kejahatan homo seksual pertama kali dilakukan oleh kaum Nabi Luth, maka dalam kitab-kitab fiqh perbuatan ini disebut liwath (dari kata Luth}. Pada masa beliaulah kejahatan ini meluas dan dilakukan terang-terangan. Al-qur’an juga menceritakan pada Surat lain, bagaimana kaum homo seksual ini berani mendatangi rumah Nabi Luth dan memaksanya menyerahkan tamu laki-laki yang ada di rumah utusan Allah itu. Bahkan istri Nabi Luth sendiri bersekongkol dengan mereka. Tentang peristiwa ini Allah menceritakan dalam QS. Al-A’raf 7: 80-84 dan QS. Hud 11:77-83.
Sekalipun homo seksual masuk dalam kategori perzinaan, tapi sanksi hukumnya tidak sama dengan perzinaan, karena sudah ada nash sendiri yang menetapkan hukumnya. Sehingga tidak dapat diberlakukan qiyas atau analogi terhadap hukum perzinaan, sesuai dengan qaidah ushul, La qiyas ma’a an-nash.
Tindak pidana homo seksual lebih keji dibandingkan dengan perzinaan biasa karena di samping dampak negatif terhadap kesehatan (kaum homo seksual termasuk kelompok yang paling berpotensi terjangkit virus HIV yang menyebabkan AIDS). perbuatan ini mengancam eksistensi manusia, karena laki-laki homo seksual akan berpaling dari perempuan, bahkan lama-lama bisa menghilangkan potensinya untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan, yang pada gilirannya tentu berakibat kepada terhambatnya proses reproduksi manusia.
“Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-Iaki. Perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan. Laki-Iaki tidak boleh berkumpul dengan laki-Iaki lain dalam satu kain. Perempuan juga tidak boleh berkumpul dengan perempuan lain dalam satu kain.“ (HR. Muslim dan Ahmad)
Lesbian adalah berupa perbuatan menggesekkan atau menyentuhkan alat vital saja dan bukannya ejakulasi, oleh karena itu, pelakunya hanya diberi sanksi berdasarkan ijtihad hakim (ta’zir), bukan had sebagaimana juga kalau laki-laki menggesekkan alat vitalnya kepada perempuan dengan tidak memasukkannya ke dalam faraj. (Fiqh as-Sunah II: 436).
Ahmad Zuhdi