Wartapilihan.com, Jakarta. Film “Surau dan Silek” yang bermakna surau/mushola dan silat merupakan film yang menceritakan kearifan lokal dalam budaya Minangkabau. Film yang ditayangkan sejak 27 April 2017 hingga Mei mendatang memberi banyak keteladanan sekaligus rasa bangga akan hadirnya kembali nuansa kebangsaan yang filosofis sekaligus wisata mata akan alam Sumatera Barat.
Film ini mengisahkan tiga anak kecil yang ketiganya berusia 11 tahun, bernama Adil, Dayat dan Kurip yang berkeinginan untuk mengalahkan pertandingan silat dengan lawannya Hardi, yang pernah mengalahkannya dengan cara curang. Namun dengan tekad tersebut, ia justru kehilangan gurunya, Rustam (27 tahun) karena pergi merantau ke kota.
Perjalanan mereka menemukan guru bukan hal yang mudah. Mereka sudah mencari dari kampung ke kampung dengan bersepeda, namun mereka temui guru-guru yang tak sesuai kemampuan mereka; ada yang mahal biayanya hingga 250.000 rupiah per bulannya, bahkan bertemu guru yang mensyaratkan hal yang mistis dan berat, hingga membuat Dayat buang air kecil di celana.
Setelah berbagai usaha tak berhasil, akhirnya mereka dipertemukan dengan Angku (Kakek) Johar oleh kawan baiknya, Rani (11 tahun). Namun ketika mereka datang meminta untuk berguru, hal itu ditolak, karena Adil, Dayat dan Kurip memiliki ambisi untuk mengalahkan lawan. Kakek Johar sempat bertanya, apa tujuan mereka untuk berguru? Karena jawaban mereka tidak sesuai, Kakek Johar memberikan syarat pertama sebelum mempelajari silat, yaitu sholat 5 waktu. Mereka pun terdiam, karena dalam perjalanan mencari guru kemarin pun, waktu sholat ashar sempat terlewat.
Silat Minang memiliki filosofi yang sangat mengagumkan “Lahirnya mencari kawan, batinnya mencari Tuhan” yang membuat ketiga anak tersebut, yang tadinya berambisi untuk mengalahkan lawan, kini niat itu terluruskan. Di surau, Kakek Johar memberikan pengajaran, ada tiga hal penting yang mesti diperhatikan “Shalat, shalawat dan silek”; karena belajar silat tanpa mencari Tuhan tidak ada gunanya.
Kakek Johar mengajarkan, hal yang paling penting dalam silat justru adalah pengendalian emosi, karena seseorang dikatakan kuat apabila dapat mengendalikan emosinya. Seperti yang tercantum dalam Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah RA “Bukanlah orang yang kuat yang menang dalam pergulatan, akan tetapi orang yang kuat ialah yang mampu menahan hawa nafsunya saat marah”.
Adil yang justru paling berambisi mengalahkan Hardi, ketika sampai menjelang hari H pertandingan, ia berkata pada Dayat, “Yang penting kita sudah mengusahakan, masalah hasil kita serahkan kepada Allah” dengan logat Minang yang sangat kental. Shalat, shalawat dan silek merupakan tiga hal yang membantuk karakter anak Minangkabau.
Adil yang merupakan anak yatim, semenjak belajar silat dari Kakek Johar, ia selalu membacakan doa bagi ayahandanya. Ia diajarkan, tiga amal yang dibawa mati, sesuai hadits Rasulullah SAW “Jika sesorang meninggal dnia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak sholeh.” Adil ingin menjadi anak sholeh, agar sang ayah mendapatkan ampunan di alam barzakh.
Film ini juga mengajarkan tentang kesetiakawanan antara Adil, Dayat dan Kurip. Ketika Adil tidak bisa ikut wisata alam bersama teman-teman dengan alasan mabuk darat, yang padahal tidak punya uang; Dayat dan Kurip tidak jadi ikut dan beralasan hal yang sama, mabuk darat. Kemudian mereka bermain bersama-sama.
Ritme film ini memberikan angin segar bagi dunia perfilman Indonesia. Pasalnya, selain menambah wawasan akan ragam budaya dan kebangsaan, juga memberikan pengajaran akhlak yang mulia bagi anak-anak masa kini. Ketika agama dipadukan dengan kearifan lokal, menjadi resonansi yang sangat indah membentuk khazanah-khazanah yang terpancar dari muka bumi Indonesia.
“Kesukuan mengingatkan kita pada asal-muasal kita. Ketika melihat bagaimana orang yang menghayati keluhurannya, latar belakang kebudayaannya, ada resonansi,” ujar Efi Hanafi, salah seorang penonton, ketika ditemui Warta Pilihan, di Bioskop 21 Blok M Square, Senin malam (1/5).
“Sepanjang pemutaran film, dari awal hingga akhir saya terus menangis, karena mensyukuri keberadaan film yang luar biasa bagus ini. Sungguh sangat layak film ini mendapat apresiasi tinggi,” papar Efi.
Reporter: Eveline Ramadhini