Wartapilihan.com, Jakarta – Senin (1/8) pagi, Kepolisian Sektor Duren Sawit dan pengelola PGAK (Pengurus Gereja Amal Kasih) Samadi, membatalkan lokakarya Pra Kongres IPT (International People Tribunal) 1965.
Penggagalan dilakukan melalui koordinasi dengan Danramil Duren Sawit dan Lurah Klender.
Menurut aparat, calon peserta lokakarya dari sejumlah kota itu bukan orang-orang awam. Bedjo Untung serta rekan-rekannya adalah tokoh-tokoh PKI generasi II dan III serta anak-anak muda berhaluan sama.
Mengapa lokakarya digelar di Aula Samadi?
PGAK Samadi yang terletak di Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur, merupakan rumah retret (‘’uzlah’’) yang dikelola oleh Pengurus Gereja Amal Kasih Pusat Pastoral, Keuskupan Agung Jakarta.
Walau didirikan untuk kepentingan kegiatan kerohanian Katholik, namun Samadi juga terbuka untuk umum. Fasilitasnya memadai dengan harga sangat terjangkau publik.
Menurut laporan aparat, Romo Yustinus Ardiyanto dari pihak Samadi menyatakan bahwa pengelola Samadi membuka pintu untuk lokakarya Bedjo Untung cs karena salah sangka. Dikiranya, booking kamar dan aula di Samadi atas nama Komunitas Garuda itu untuk kegiatan gereja.
Terlepas dari soal itu, Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo Arif Wibowo, memaparkan bahwa gereja memang memetik ‘’panen raya demografi’’ pasca pembrontakan G-30S/PKI.
Mengutip berbagai referensi ilmiah, Arif mengemukakan bahwa rivalitas tinggi dan panas antara politik Islam dengan komunisme pasca G-30S/PKI memberi keuntungan besar pada pihak Kristen Protestan dan Katolik. Banyak pengikut PKI yang umumnya dari kaum abangan dan kejawen kemudian memeluk Kristen Protestan dan Katolik (MC Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang, 2013).
Singgih Nugroho, Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengabadikan peristiwa ini dalam tesisnya yang berjudul “Baptisan Massal Pasca Peristiwa 30 September 1965 – Studi Kasus Perpindahan Agama ke Kristen di Salatiga dan Sekitarnya pada Tahun-tahun Sesudah 1965”.
Dalam tesisnya, Singgih Nugroho, sebagaimana di banyak buku lain, menggambarkan betapa reaksi balik publik berupa kekerasan yang tak jarang berujung pembunuhan, telah menjadikan banyak simpatisan PKI memilih menjadi Kristen ataupun Katolik.
Averry T Willis menyebut angka yang cukup fantastis, yaitu dua juta orang yang akhirnya memilih menjadi Kristen/Katolik, sebagaimana tertera dalam bukunya “Indonesian Revival : Why Two Millions Came to Christ’’. Namun, angka ini diragukan oleh banyak kalangan, karena dinilai bombastis.
Missionaris asal Amerika yang bergerak di Indonesia sejak 1964 dan memimpin Seminari Teologi Baptis Indonesia, itu memaparkan 11 faktor yang menyebabkan konversi spiritual ke agama Kristen/Katolik di Indonesia pasca G-30 S/PKI. Tiga diantaranya berkait dengan posisi pengikut PKI yang secara psikologis mengalami ketertindasan akibat agitasi lawan-lawan politiknya, yang berhasil dimanfaatkan oleh para rohaniawan Kristen dan Katolik.
Reaksi berlebihan (reaction factor) dari sebagian pemimpin kelompok Islam terhadap orang-orang Islam statistik (‘’Islam KTP’’) yang menjadi anggota dan simpatisan PKI, telah mendorong orang-orang itu menoleh ke tempat lain untuk memperoleh bantuan spiritual dan perlindungan politik.
Pada saat yang sama, perlindungan (protection factor) gereja terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan muslim abangan, memberi rasa simpati banyak orang untuk memeluk Kristen. Ditambah lagi dengan perhatian dan pelayanan dari lembaga gereja, termasuk di dalamnya pendidikan, bantuan medis dan kebutuhan fisik lainnya, mendorong orang-orang untuk tertarik dan masuk ke agama Kristen.
Catatan MC Ricklefs mengenai data kependudukan antara tahun 1960-1971, menunjukkan jumlah jemaat dari lima denominasi Protestan yang menjadi subyek kajian Willis tumbuh secara fenomenal dari 96.872 menjadi 311.778 (akselerasi lebih dari 220%).
Pada 1965-1967, tingkat pertumbuhan tahunannya jemaat 27,6%, sementara pada 1968-1971 mencapai 13,7 %. Sebagian besar peralihan keyakinan atau konversi agama itu terjadi secara berkelompok.
Tak sekedar berpindah agama, dendam ideologis juga membuat pemeluk Kristen/Katolik baru eks-PKI ini lebih agresif (militan) dalam beragama ketika bersinggungan dengan umat Islam.
Eksesnya, terjadi pembakaran gereja di Meulaboh (Aceh) dan Makassar (Sulawesi Selatan) pada tahun 1967.
Untuk mencegah ekses semacam itu, pada akhir November 1967 di Jakarta sejumlah pemuka agama bertemu dalam Forum Antar Agama. Di akhir pertemuan, para wakil agama Islam, Protestan, Hindu Bali, dan Budha, sepakat membuat pernyataan bersama yang mengatur tata cara penyebaran agama.
Namun, kesepakatan itu gagal ditandatangani karena wakil Kristen-Katholik menolak klausul yang berbunyi: ‘’Tidak menjadikan ummat telah beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing.’’
Pada peringatan Isra’ Mi’raj tanggal 16 Agustus 1974, Presiden Soeharto sekali lagi memperingatkan agar penyebaran agama tidak menyinggung perasaan umat beragama lain.
Hal tersebut ditandaskan lagi oleh Menhankam/Pangab Jenderal Mareden Panggabean pada seminar tentang ‘’Peranan Pemimpin Agama dalam Pembangunan Nasional’’ di Banda Aceh, 28 Oktober 1974.
Tapi, kristenisasi dengan cara dan gayanya sendiri jalan terus. Padahal, etika penyebaran agama dan pendirian tempat ibadah diatur dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tahun 1969 dan SK Menteri Agama no 70 dan no 78 tentang Pendirian Gereja dan Penyiaran Agama. Namun, banyak gereja dan kegiatan misionaris yang melanggar peraturan yang memang mereka tolak itu.
Menyaksikan perkembangan kristenisasi di tanah air, Natsir bersama beberapa orang mantan menteri agama, yaitu Prof HM Rasjidi, KH Masjkur, dan KH Rusli Abdul Wahid kemudian mengirim sepucuk surat kepada Paus Yohanes Paulus VI saat berkunjung ke Indonesia tanggal 3-4 Desember 1970.
Dalam surat itu, Natsir menyebut kegiatan kristensasi di Indonesia dilakukan dengan peaceful aggression, atau penyerangan bersemboyan kedamaian.
‘’Kegiatan misi Kristen/Katolik di Indonesia tampak meningkat setelah meletusnya pemberontakan Komunis G 30 S PKI. Keluarga orang-orang komunis yang ditangkap dan umat Islam yang miskin, adalah sasaran utama mereka, berpuluh-puluh ribu orang terpaksa masuk Kristen berkat bujukan-bujukan dan dana-dana misi tersebut. Organisasi-organisasi misionaris itu bermacam-macam, dan cara yang mereka jalankan dalam aktivitasnya bertentangan dengan Pancasila (kebebasan menganut agama). Pada tahun 1967 misi tersebut mulai menunjukan cara-cara yang sangat menyinggung perasan umat Islam, yaitu mendirikan gereja dan sekolah-sekolah Kristen di lingkungan umat Muslim…ini menimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dinginkan seperti pengrusakan…’’ (M Natsir, Mencari Modus Vivendi antar Umat Beragama di Indonesia, 1980). [bowo]