Kebijakan Barcode Media Tuai Pro Kontra Wartawan

by
Diskusi "Barcode Dewan Pers, Bredel Gaya Baru?” di Kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (26/1). Foto: Pizaro

Wartapilihan.com, Jakarta – Dewan Pers akan menertibkan media yang di bawah pengawasannya. Salah satunya dengan menyiapkan barcode untuk media yang resmi tercatat memenuhi standard di Dewan Pers.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Surwarjono, memahami langkah yang diambil oleh Dewan Pers.

“Kami dari AJI sudah berdialog panjang dengan Dewan Pers masalah ini, dan kami memahami keinginan Dewan Pers,” ujar Ketua Umum AJI Suwarjono di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis (26/1).

Dari hasil dialog itu, Suwarjono menyimpulkan ada keresahan Dewan Pers atas maraknya media abal-abal yang digunakan untuk memeras narasumber.

“Jurnalis abal-abal itu ada ribuan. Di daerah-daearah, dana desa jadi lahan subur untuk jurnalis meminta uang. Ini hanya di tingkat desa. Belum lagi kelurahan. Ini pengalaman kakak saya seorang Kades (Kepala Desa) di Bantul yang dikejar-kejar wartawan,” ceritanya.

Munculnya media abal-abal ini kerap kali mendompleng nama media-media besar. Bahkan ada pula yang memakai nama lembaga swadaya masyarakat seperti akronim Indonesia Corruption Watch atau ICW.

“Wartawan ini berkelompok, hanya minta uang. Nama medianya juga aneh-aneh,” terangnya.

Namun fenomena wartawan meminta uang tidak hanya dilakukan media abal-abal. Anggota Serikat Pekerja Kreatif dan Media untuk Demokrasi (SINDIKASI) Kristian Ginting menilai, fenomena meminta dan memeras uang juga banyak dilakukan media mainstream.

“Pengalaman saya menjadi wartawan di DPR, banyak media-media mainstream yang meminta uang kepada Anggota DPR,” tukasnya.

Modus ini dilakukan dengan menunjuk seorang koordinator lapangan (Korlap) sebagai perantara. “Dari korlap ini biasanya uang dibagikan. Saya bisa menunjuk orang-orangnya kalau mas mau,” terangnya kepada Suwarjono yang duduk satu meja.

Karena itu, Kristian mengatakan, Dewan Pers tidak bisa bekerja seperti pemadam api, yang bergerak ketika ada kebakaran. “Ini soal mindset dan ideologi. Dan ideologi ada di sini,” ujarnya sambil mengarahkan jemari telunjuk ke kepala.

Lebih jauh dia berharap, agar Dewan Pers lebih peka melihat problematika insan pers saat ini. Sebab media mainstream juga kerap melanggar kode etik wartawan. “Kadang membuat berita seragam karena pesanan,” jelasnya.

Jadi, lanjutnya, persoalan gaya hidup wartawan pemburu uang ini bukan karena gaji kecil. Tapi memang sudah memiliki niat menjadi wartawan pencari amplop.

“Saya gaji dulu 1,2 juta, tapi tidak penting soal uang-uang itu,” imbuhnya.

Guna mengurai masalah ini, Kristian menyarankan Dewan Pers melakukan investigasi sosial di lapangan sebagai bahan membuat road map. Ketimbang menerbitkan barcode, pendekatan analisis dan edukasi lebih tepat diterapkan.

“Jadi gak penting soal barcode,” tutupnya.

Reporter: Pizaro

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *