Kebengisan PKI

by
Foto: Zuhdi

“Jadi waktu itu, tentara-tentara di doktrinasi di Senayan dengan doktrin Nasakom. Sampai ada teman saya dia tidak mau dinaikkan pangkatnya karena sudah terikat dengan doktrin itu,” terang Ven Kandaw.

Wartapilihan.com, Jakarta –Koordinator Pengangkatan Jenazah Pahlawan Revolusi Ven Kandaw mengungkapkan pengalaman yang paling menyayat hatinya ketika 6 jenderal satu per satu di angkat dari lubang buaya. Hal itu diutarakan saat pemutaran film G30S PKI di masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Sabtu (30/9).

Awalnya, Sersan Dua KKO (Komando Korps Operasi) Angkatan laut tersebut kala itu, ditugaskan ke Pantai Ancol Jakarta Utara untuk mengetahui profil pantai. Rencananya, pada tanggal 5 Oktober yang bertepatan dengan Hari Senjata/Ulang Tahun ABRI diadakan demonstrasi besar-besaran pasukan intai amfibi (Taifib) di Pantai Utara itu.

“Setelah kami tiba disana, Kapten Sukendar dari Kostrad datang untuk meminta tolong mengangkat mayat dari Lubang Buaya. Yang mengambil jenazah adalah para tahanan dibantu alat seperti katrol yang dulu pernah kami gunakan ketika di Jogja ada orang yang keracunan di suatu sumur. Tiga pos kita lalui di Halim tidak ada yang tahu tempat lubang buaya. Bahkan intelijen disana tidak tahu. Kebetulan ada POM AU (Polisi Militer Angkatan Udara) yang mengantar kita ke lubang buaya,” kata Ven Kandaw.

Selang dua jam, cerita dia, Soeharto datang melihat para jenderal di angkat menggunakan tali tambang dengan posisi semua jenazah kepala berada di bagian bawah. Sebelum itu, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang sekarang menjadi Kopassus berhasil merebut wilayah Angkatan Utara dari mulai Halim Perdana Kusuma sampai Lubang Buaya.

“Kami mudah masuk kesana karena sudah ada pasukan RPKAD. Selain RPKAD tidak boleh masuk mengambil mayat atas perintah Sarwo Edhi. Ketika saya duduk, bayangkan saya melihat Pak Yani (Jend. Ahmad Yani), begitu di angkat, kepalanya seperti hampir putus. Bayangkan saja, sudah ditembak di rumah masih di sayat. Keji sekali orang-orang itu,” ujarnya.

Tidak hanya itu, jelas Ven Kandaw, menurut Sukitman (perwira menengah polisi), setelah di interogasi dalam keadaan sekarat, Kapten Tendean diseret, kemudian dimasukkan ke dalam lubang berukuran garis tengah 7 meter dengan kedalaman 12 meter dan ditembak.

“Dokter dari Mabes TNI menyarankan kalau bisa di angkat secara wajar, di angkat. Sebab dulu ada buldozer yang siap menggali. Satu-satunya jalan akhirnya di ikat. Yang pertama kali teranakhi adalah Letnan Tendean, baru kita percaya semua korban ada di sana. Pak Yani dan Pak Sutoyo di ikat menjadi satu kepalanya. Terakhir yang di angkat adalah Kapten D.I Panjaitan,” kenangnya dengan nada sedih.

Pasca kejadian itu, Ven Kandaw mengaku tidak dapat makan selama dua hari. Bahkan di sumur tua itu yang ada hanyalah air dari cairan jenazah. Kendati demikian, dia menjalani aktifitas sebagai pasukan KKO, saat itu menjadi pengawal pribadi KASAL R.E Martadinata dan berpindah-pindah.

“Sebab kabarnya dulu mereka (PKI) akan melakukan pembantaian di tempat berbeda-beda dan targetnya adalah Panglima termasuk Pak Harto. Jadi kalau Pak Martadinata istirahat, kita ada di pintu depan dan penjagaan khusus ada di ring dua,” tutur Ven Kandaw.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *