Oleh: Fatih Madini (Mahasiswa Attaqwa College Depok)
Pada seminar (15/9) bertajuk “Fenomena Transnasionalisme Islam Liberal di Dunia Akademik” di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Jakarta, dihadirkan empat pembicara: Dr. Nirwan Syafrin, Dr. Syamsuddin Arif, Dr. Zahrul Fata, dan Dr. Henri Shalahuddin.
Salah satu kesimpulan penting dalam seminar itu adalah bahwasanya pemikiran liberalisme sebenarnya barang impor dari negeri Barat (Eropa). Jadi, tidak asli Indonesia. Ibaratnya, kata Dr. Henri, Eropa itu pabriknya, pemikir liberal Arab menjadi distributornya, dan cendekiawan liberal Indonesia kemudian menjadi pengecernya.
Dr. Nirwan Syafrin, peneliti INSISTS, yang juga wakil rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, memberi gambaran corak pemikiran liberal di dunia Arab sebagai panutan para pemikir liberal Indonesia untuk menyebarkan gagasannya di negaranya sendiri. Namun sebelumnya, beliau menyampaikan corak pemikiran Islam secara global, diantaranya, bercorak klasik, pra-modern, modern, dan kontemporer. Adapun dari segi tipologinya, setidaknya terbagi menjadi tiga: Liberal, Salafi (lawan sekuler-liberal), dan eklektik (faham yang mencoba menggabungkan dua faham sebelumnya).
Ada sejumlah tokoh pemikir liberal yang disebut oleh Dr. Nirwan. Pertama, Syibli Syumai’l (1860-1917). Dialah yang menyebarkan materialisme bahkan ide ateis lewat teori Darwin yang ia pelajari di American University di Beirut. Ia bahkan sampai pada kesimpulan bahwa agama adalah buatan manusia. Baginya, agama adalah hasil dari gejala atau fenomena sosial.
Kedua, Farah Antun (1974-1922). Lewat majalah al-Jami’ah (ia buat tatkala pindah ke Mesir), ia menyebarkan ide-ide sekulernya. Baginya, sains adalah satu-satunya faktor kemajuan peradaban. Bahkan ia berani mengatakan bahwa Ibnu Rusyd juga berkata demikian. Namun pemikirannya ini sudah lebih dulu dikritik oleh M. Abduh.
Ketiga, Salamah Musa (1888-1958). “Saya kafir pada Timur, tapi iman pada Barat,” begitulah kalimat yang pernah dilontarkannya. Ia sampai pada keyakinan bahwa segala yang diwariskan oleh Timur mesti ditinggalkan, sementara warisan Barat mesti diikuti. Bahkan ia sampai berani menganggap bahwa Mesir bukanlah Timur, dengan tujuan westernisasi.
Adapun pemikir-pemikir Arab liberal lainnya yang cukup terkenal diantaranya: Qasim Amin, M. Husein Haikal, Thaha Husein, dan Ali abd ar-Razziq, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Amina Wadud, Muhammad Syahrour, dan masih banyak lagi. Perlu diketahui bahwa munculnya corak pemikiran liberal di dunia Arab dipicu oleh Perang Enam Hari melawan Israel tahun 1967. Kekalahan ini membuat frustasi para kalangan elite. Sebab bagaimana bisa sebuah bangsa yang kecil “tahu-tahu” mengalahkan bangsa Arab yang besar dan terkenal kuat? Kalangan elite-lah yang nantinya mengkritik habis-habisan tradisi, nilai, sosial, politik, ulama, dan agama yang saat itu cenderung tidak liberal.
Dari peristiwa itulah kemudian muncul faham hingga gerakan yang menganggap bahwa kekalahan dunia Arab atas Israel adalah sebab agama dan ketidakmampuan mereka dalam mengadopsi nilai atau ideologi Barat. Inilah awal dari maraknya gagasan liberal dari tokoh-tokoh Muslim Arab. Namun meskipun begitu, tetap saja mereka harus menghadapi pihak oposisi. Yakni pihak yang menganggap bahwa kekalahan dunia Arab atas Israel adalah sebab mereka yang terlalu jauh dari agama.
Salah satu cara doktrinisasi faham-faham liberal kepada para pemikir dunia Arab adalah dengan revitalisasi Turats. Intinya hal itu dilakukan sebagai alat legitimasi faham-faham menyesatkan itu. Dengan mengutip Louay Safi dalam bukunya The Challangge Modernity, Dr Nirwan menuliskan, “The recent assertiveness of Islamic identity and Islamic ideas among Arabs has had a noticebale impact on nationalist entellects, who haveby now, realized that they cannot win the the struggle for their modernist project without taking head on the theoretical basis of religious ideas, that is, without turathinterpereting the Islamic heritage and using it in support of their claims to legitimacy.”
Inilah yang kemudian membuat aneh bangsa Arab bahkan Eropa sendiri. Sebab dahulu Bangsa Arab dikenal sebagai orang yang paling taat kepada ajarah agamanya, tidak pernah memisahkan urusan dunia dengan agama, dan lain sebagainya. Hal ini diungkapkan langsung oleh beberapa pemikir liberal Eropa dalam buku Sceptics of Islam. Dalam komentarnya, mereka mengatakan bahwa presepsi masyarakat yang mengatakan bahwa bangsa Arab tidak berani mengkritik agamanya adalah sebuah kebohongan.
Adapun program yang mereka lakukan dalam proyek liberalisasi diantaranya: (1) membongkar/dekonstruksi struktur epistimologi dan metodologi pemikiran Islam klasik. (2) Sekularisasi dan desaklarisasi Islam. (3) Menafsir ulang al-Qur’an dan Sunnah, syari’ah dan aqidah Islam agar sesuai dengan perkembangan yang sedang terjadi (menggunakan Hermeneutika). (4) Mengadopsi epistimologi dan metodologi yang berkembang pada ilmu-ilmu humaniora dan filsafat saat ini (mengenyampingkan wahyu yang bersifat metafisika).
Para pemikir Arab inilah yang kemudian diikuti dan diadopsi pemikirannya oleh beberapa tokoh liberal di Indonesia. Jadi sebetulnya para pemikir liberal lokal hanya “pengecer” saja. Mereka sekedar mengadopsi apa yang sudah dikonsepkan oleh tokoh-tokoh Liberal di dunia Arab. (***)