Tape mengandung kadar alkohol yang cukup tinggi. Sejauh ini MUI tidak mengeluarkan fatwa haram untuk tape. Mengapa?
Wartapilihan.com, Jakarta — Siapa yang tidak kenal tape? Makanan ini merupakan salah satu makanan khas yang banyak dijumpai di sekitar kita. Tape yang bercitra rasa khas dengan proses fermentasi inilah yang sempat membuat Kontroversi Kehalalannya. Selain itu, kandungan alkohol pada tape juga cukup besar dengan prosentase 11% untuk tape Beras, 8,94%, tape Ketan Hitam dan tape singkong 6,92% (Jurnal Teknik Vol. 6 No. 1 Tahun 2016).
Kandungan alkohol pada tape cukup besar dibandingkan singkong 6,92%, buah-buahan seperti durian, nangka, sirsak, lengkeng, yakni, sebesar 4 – 8%. Namun, kandungan alkohol yang cukup besar ini tidak membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan tape. Kenapa?
MUI memiliki alasan untuk hal tersebut. Dalam kaidah dasar pijakan keharaman makanan dan minuman, selain kandungan babi dan sejenisnya atau yang memabukkan yang sudah jelas dalilnya, MUI mengemukakan poin yang diharamkan adalah minuman atau makanan yang beralkohol, bukan alkoholnya. Hal ini pernah ditegaskan dalam Muzakarah Nasional MUI tahun 1993, dikutip dari Panduan Praktis Seputar Produk Halal Pangan untuk Produsen Peduli dan Konsumen Cerdas karya Nurbowo, 2013. Sebagaimana HR. Muslim “Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram”. Dipertegas kembali oleh HR. Daud yakni “Semua yang mengacaukan akal dan semua yang memabukkan adalah haram”.
Apakah tape termasuk yang memabukan?
Pada tataran ini, kita perlu mengklasifikasi jenis tape. Ada tape yang lembek dan lembut dan ada pula yang keras seperti Peyeum, tape khas Bandung.
Khusus pada jenis tape yang lembut, perlu mendapatkan perhatian lebih karena pada jenis ini, kadar alkoholnya mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan proses fermentasi yang dilakukan yang ternyata menghasilkan variasi kadar alkohol. Dalam jurnal yang sama disebutkan bahwa dalam fermentasi kadar alkohol pada tape bisa naik hingga batas maksimalnya. Untuk tape Beras, semakin lama di fermentasi maka kadar alkohol semakin tinggi. Begitu juga dengan tape ketan. Berbeda dengan tape singkong yang mengalami penurunan ketika dilakukan fermentasi hari pertama, kedua sampai hari ke enam. Intinya, apabila bahan karbohidratnya besar, maka kadar alkohol semakin tinggi.
Kadar alkohol pada tape ketan misalnya, ketika dilakukan fermentasi selama dua hari, akan memunculkan gelombang (gas) dan busa seperti jus yang berubah ketika didiamkan dalam ruangan. Jus pada saat ini mengeluarkan gelembung atau gas yang tidak baik untuk dikonsumsi karena dapat memabukkan dan itu dikategorikan sebagai khamr. Kondisi berubahnya kadar alkohol diakibatkan proses fermentasi ini pernah terjadi pada Rasulullah yang disodori jus oleh Ibn Abbas. Ketika itu, Rasulullah di hari pertama meminum jus tersebut, namun pada hari ketiga Rasulullah membuangnya karena telah mengeluarkan gas.
Pada simpulnya, para pakar tetap bersepakat bahwa tape halal untuk dikonsumsi karena tidak membuat mabuk. Disarankan untuk mengurangi kadar alkohol dengan melakukan proses Pasteurisasi, yakni, memanaskan tape ke dalam suhu 70 – 80 derajat celcius agar dapat mematikan mikroba yang terkandung di dalamnya tanpa mengurangi kadar alkohol. Demi kehati-hatian, lebih baik dihindari sebab naiknya kadar alkohol setelah difermentasi.
Meilia Irawan