Cara Ali bin Abi Thalib Mendidik Anak

by
foto ilustrasi mendidikanak dalam islam

Mendidik anak menjadi anak baik dan sholeh/sholehah bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan strategi khusus agar sang anak terlihat potensinya sebagai bekal menjalani kehidupan ketika dewasa.

Wartapiliha.com, Jakarta — Rupanya, Sahabat Ali bin Abi Thalib (599 M – 661 M) sudah menerapkan suatu sistem kepada anak yang hingga kini masih relevan. Menurut Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu, ada tiga fase dalam memperlakukan sang anak.

Fase pertama, pada usia tujuh tahun pertama, yaitu usia 0 hingga 7 tahun memperlakukan anak sebagai raja. Pada usia tersebut, sang anak perlu dilayani dengan yang terbaik. Pasalnya, pada usia tersebut sang anak akan mengingat memori apa yang dilakukan orang tua kepadanya, dan ia akan melakukan imitasi, sehingga akan tertanam sebagai karakternya hingga dewasa.

Sedangkan pada fase kedua, yaitu usia tujuh tahun kedua sejak usia 8 hingga 14 tahun, orang tua diperbolehkan memberi hukuman dan juga hadiah, seperti pukulan jika tidak shalat 5 waktu, dan juga memberikan hadiah jika dapat berpuasa sebulan penuh. Pasalnya, sang anak pada usia tersebut dinilai tepat untuk mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan hukum agama. Anak juga sudah dapat diajarkan untuk mengurusi aktivitas di rumah, seperti membereskan tempat tidur atau mencuci piring setelah ia makan, dan pekerjaan ringan lainnya yang sesuai dengan kadarnya.

Seperti yang tercantum dalam suatu Hadits riwayat Abu Daud yang dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“

Dan yang terakhir, fase ketiga usia 15 hingga 21 tahun, pada sang anak yang sudah mulai baligh ini orang tua menjadikan posisi dirinya sebagai sahabatnya dan juga memberikan teladan yang baik. Orang tua dapat secara interaktif dan komunikatif berinteraksi dengan sang anak, untuk mengatakan bahwa ia telah mengalami perbedaan fisik, juga ada perubahan secara mental, spiritual, sosial, budaya dan juga lingkungan. Hal yang paling penting, perlu diketahui oleh anak, bahwa ia telah memiliki pertanggungjawabannya sendiri terhadap amal yang dilakukan.

Selain itu, orang tua juga perlu memberikan kontrol, namun tidak secara otoritatif. Karena sang anak sudah mulai mengenali kesukaan dirinya yang berkaitan dengan potensi dirinya, sehingga potensi tersebut bisa dibiarkan berkembang atau bahkan didukung dengan berbagai perangkat. Misalnya, sang anak gemar membaca buku, maka bisa dibuatkan perpustakaan untuk buku-bukunya. Sang anak justru tidak boleh dipaksa untuk mengikuti hasrat orang tuanya, seperti keinginan agar sang anak menjadi dokter atau insinyur, karena hal itu hanya akan mematikan potensi dirinya.

Selain segala upaya telah dilakukan, tentu yang terpenting adalah mendoakan sang anak agar menjadi anak yang sholeh dan sholeha. Seperti dalam doa yang tercantum pada Quran Surat Al-Furqaan ayat 74 “Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” yang artinya, Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqon: 74). Aamiin ya Rabbal ‘alamiin.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *