Wartapilihan.com – Suatu saat seorang sopir mendapat titipan uang segepok dari polisi. Sopir itu kaget dan kemudian memberitahu majikannya tentang titipan uang itu. Sang majikan langsung berkata kepada sopirnya, kembalikan uang itu pada pengirimnya. Sopir itu pun buru-buru mengembalikan uang itu kembali pada polisi. Sang majikan adalah ustadz Bahtiar Natsir.
Cerita ini nyata dan didapat dari redaksi Warta Pilihan dari seorang sopir yang dekat dengan sopir sang ustadz.
Maka tuduhan bahwa sang ustadz mendapat dana melimpah dari Jokowi sesaat setelah pertemuan di Istana sewaktu Idul Fitri kemarin, adalah tuduhan yang naif. Dalam masalah uang sang Ustadz terkenal hati-hati.
Makanya ketika Polri memasalahkan dana yang dikumpulkan GNPF untuk Aksi-Aksi Bela Islam, Polri tidak menemukan bukti adanya penyimpangan. Karena pemasukan dan pengeluaran dana-dana itu tercatat dengan rapi oleh bendahara.
Sejak Aksi Bela Islam berlangsung, GNPF MUI memang terus dilanda badai. Mulai dari fitnah keuangan, fitnah kedekatan dengan istana, fitnah makar dan lain-lain.
GNPF memang fenomenal. Aksi-aksinya selain diikuti oleh jutaan orang, aksinya juga berhasil menggagalkan Ahok untuk menjadi gubernur Jakarta dan bahkan ia harus mendekam dalam penjara karena menista Al Quran.
Tentu saja musuh-musuh Islam tidak suka dengan gerakan politik GNPF ini. Maka tidak heran, beberapa aktor GNPF mulai dari Habib Rizieq, Ustadz al Khaththath dan Ustadz Alfian Tanjung harus berhadapan dengan Bareskrim Polri.
Fitnah pun terus digulirkan ke GNPF. Bahkan gerakan GNPF ini membawa korban bagi Direktur Utama BNI Syariah Imam Teguh Saptono yang dipecat dari jabatannya, karena tidak mau membuka rekening GNPF kepada Polri.
Bumerang untuk Polri
Meski GNPF hanya mempertahankan diri terhadap tuduhan-tuduhan yang ditimpakan Polri, ternyata Polri mendapat musibah akibat tindakannya sendiri.
Pimpinan Polri ketakutan menghapus film pendek Kau Adalah Aku Yang Lain dari Youtube. Padahal film yang disutradai Anto Galon ini sebelumnya berhasil meraih juara lomba film pendek yang diadakan Polri. Dan Divisi Humas Polri sendiri yang mengupload film itu ke Youtube.
Film Kau adalah Aku yang Lain menjadi pemenang dalam festival film pendek yang digagas Mabes Polri atau Police Movie Festival IV 2017. Film ini diunggah ke Youtube kemudian link-nya dibagikan melalui akun Facebook dan Twitter Divisi Humas Polri pada 23 Juni lalu.
Ulah Polri ini tentu mendapat kecaman luas dari tokoh-tokoh Islam. Mulai dari Hidayat Nur Wahid sampai Din Syamsuddin mengritik keras film pendek yang digadang-gadang Polri itu.
Film itu memang menghina kelompok Islam. Seolah-olah kelompok Islam yang suka pengajian di negeri ini tidak mempunyai nilai kemanusiaan, sehingga melarang mobil ambulan yang membawa korban kecelakaan lewat.
Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa masih ada kelompok Islamofobia di Polri. Kelompok yang ingin mempersepsikan bahwa sebagian kaum Muslim di negeri ini adalah radikal, teroris dan tidak mempunyai nilai kemanusiaan. Pertanyaannya, mengapa yang diangkat dalam film itu korban kecelakaan adalah non Muslim dan yang melarang mobil itu lewat adalah kaum Muslim? Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Lihatlah kasus pembakaran Masjid di Tolikara, penyerangan di Masjid Manado dan seterusnya.
Ulah Polri yang menimbulkan kecaman luas adalah penahanan Ustadz al Khaththath yang tidak jelas kasusnya. Fadli Zon yang pernah menengok ustadz di tahanan Brimob, menyatakan bahwa ketika ustadz ditahan di sana dua bulan, hanya diperiksa satu kali. Jadi untuk apa ustadz ditahan?
Selain kasusnya tidak jelas –polisi menuduh makar- para sahabat Ustadz al Khaththath yang ingin menjenguk dipersulit. Ketika ditahan di Mako Brimob, ustadz sulit untuk dikunjungi. Sehingga yang berkunjung hanya pengacara dan keluarga dekatnya.
Setelah dipindah ke tahanan Polda Metro Jaya, sang ustadz juga tidak mudah dikunjungi. Istri ustadz Khaththath pernah mengeluh kepada Warta PIlihan, bahwa suatu ketika pernah puluhan orang yang menjenguk ustadz terpaksa balik, karena Polda Metro tiba-tiba melarang dan hanya boleh dijenguk keluarganya saja. Kini sang Ustadz dipindah lagi penjaranya ke bagian kriminal, setelah sebelumnya ditempatkan di bagian narkoba.
Kasus Habib Rizieq polisi juga tidak transparan. Polisi tidak berani gelar perkara terbuka dihadapan publik tentang siapa yang pertama kali mendapatkan chat mesum itu, dari HP siapa, bagaimana polisi mendapatkannya, apakah chat itu asli atau tidak dan seterusnya. Polisi juga tidak berani mendatangkan para ahli IT untuk beradu argumen tentang keaslian chat mesum itu. Ketertutupan polisi ini menyebabkan Habib tidak mau datang memenuhi panggilan polisi.
Jokowi dan GNPF
Sebagai presiden, tentu Jokowi ingin menjalin komunikasi dengan semua kalangan. Apalagi kalangan ulama GNPF MUI yang pengaruhnya cukup besar di tanah air. Silaturahmi presiden dengan GNPF tentu membawa keuntungan bagi presiden, karena bisa mengetahui langsung aspirasi mereka.
Silaturahmi ini mendapat kecaman luas dari para pendukung Jokowi. Kaum liberal, seperti Guntur Romli, Ahmad Sahal dan lain-lain mengecam keras pertemuan GNPF di istana ini. Mereka tidak ingin Jokowi mengabulkan permintaan GNPF dan bahkan mendengarkan aspirasinya pun mereka ingin cegah. Kelompok ini memang selalu aktif bersuara di twitter dan sering membully Habib Rizieq dan tokoh-tokoh GNPF.
GNPF memang ingin menerapkan politik yang beradab terhadap pemerintah. Meski mereka banyak tidak setuju dengan kebijakan Jokowi, mereka tidak ingin menggulingkan atau bersikap kasar terhadap presiden. Mereka ingin mencontoh sikap tokoh-tokoh Masyumi dahulu terhadap Presiden Soekarno.
Hamka misalnya, meski ia pernah dipenjara oleh Soekarno, Hamka tidak seumur hidup benci kepada Soekarno. Meski Hamka banyak mengecam kebijakan Soekarno, tetapi Hamka mau datang ke rumah Soekarno ketika ia meninggal dan memimpin shalat jenazahnya.
Begitu pula Mohammad Natsir. Meski Natsir dilarang berpolitik dan berkunjung ke luar negeri oleh Presiden Soeharto, Natsir tidak membenci Soeharto selamanya. Ketika Soeharto ingin bersahabat kembali dengan pemerintah Malaysia, setelah hubungan Indonesia Malaysia sebelumnya meruncing, Natsir lah yang kemudian berkirim surat kepada Perdana Menteri Malaysia saat itu agar menjalin persahabatan kembali dengan Indonesia.
Semestinyalah dalam politik Islam, adab dijunjung tinggi. Sehingga bila terjadi perselisihan antara presiden dengan rakyat, tidak berakhir dengan kekerasan atau peperangan sebagaimana yang terjadi di TImur Tengah. Dialog harus terus dibangun antara ulama dan umara.
Imam Ghazali pernah berpesan bahwa kerusakan negara adalah karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama karena cinta pada dunia dan jabatan. Wallahu alimun hakim. ||
Nuim Hidayat Dachli