Pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dikatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Bagaimana realisasinya, khususnya tentang air?
Wartapilihan.com, Jakarta – Seolah telah jadi hal yang wajar, membeli air di warung atau pasar swalayan dengan harga ribuan rupiah, mulai dari tiga ribu lebih hingga llima ribuan lebih sesuai ukuran. Bahkan membeli galon dengan ukuran 19 liter berharga belasan ribu seolah hal yang wajib sekali saking sudah berpuluh-puluh tahun eksis.
Berbagai kemasan pun muncul. Mulai dari yang berbentuk gelas, botol kecil, botol besar hingga galon. Terus-menerus berinovasi kemasan, iklan yang masif, bahkan melakukan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membantu wilayah kekeringan di Nusa Tenggara. Tapi, sedikit sekali yang menyadari bahwa air adalah untuk rakyat gunakan untuk kemakmuran, bukan untuk rakyat beli dengan uang—meski mungkin terlihat murah, namun sebenarnya merugikan. Kini, tanpa disadari, atau bahkan telah dilumrahi, air telah menjadi komoditas yang paling diminati oleh rakyat Indonesia. Ada apa sebenarnya, dengan kesadaran palsu ini?
Awalnya hal ini tidak wajar, sama sekali. Aqua ialah pencetus utama Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang baru masuk sejak tahun 1970-an, tepatnya tahun 1973 di bawah PT Aqua Mississipi. Dulu, harganya cenderung mahal dan hanya dijual di hotel bintang lima. Diperuntukkan bagi turis-turis yang tidak biasa meminum air rebusan. Air tersebut pun dijual dengan botol kaca.
Berbeda dengan kondisi saat ini, dimana perkotaan Indonesia semakin pesat dan padat, sehingga lahan hijau terbuka yang semakin minim. Maka, sejak tahun 2000-an, perusahaan AMDK telah tumbuh subur dengan berbagai merk dan harga serta ukuran kemasan. Bahkan, pada tahun 2015, produksi nasional mencapai 25 miliar liter air.
Hal ini dapat berdampak besar ke depannya. Yakni, eksploitasi mata air yang berlebihan, juga sampah plastik yang akan semakin menumpuk dan berdampak buruk bagi lingkungan dikarenakan masa yang lama untuk menghancurkan plastik.
Islam sendiri melihat, air merupakan harta milik bersama, yang semestinya tidak perlu dikomersialisasi maupun dikapitalisasi. Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda dalam Hadits Riwayat Abu Daud, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” Di zaman Rasul, tatkala itu ada sebuah sumur yang dimiliki oleh kaum Yahudi. Mereka menjual air itu timba per timbanya. Kemudian Sayidina Utsman diperintahkan untuk membeli sumur itu kesemuanya, hingga sumur itu akhirnya digratiskan kepada seluruh khalayak yang membutuhkan.
Hal ini sebetulnya selaras dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, yakni pemerintah bukan menguasai, tetapi mengelola dengan suatu tujuan: untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Semestinya, air dapat diakses dengan mudah oleh siapapun tanpa terkecuali. Bahkan, untuk air minum sebagai kebutuhan harian, semestinya Negara dapat menyiapkannya setiap hari secara cuma-cuma. Karena negara memiliki tanggungjawab mengelola itu, bukan justru terus-menerus menyetujui kapitalisasi air di sini dan di sana—yang katanya, untuk sebesar-besanya kemakmuran rakyat.
Tirto.id memiliki data, 9,6 juta warga Jakarta dan sekitarnya mengonsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) akibat buruknya kualitas air. Setiap hari, dibutuhkan air hingga 15 miliar liter khusus untuk Jabodetabek. Bagaimana para penguasa dan pengusaha tidak berbahagia? Ini adalah peluang yang subur dan memakmurkan–tetapi hanya sebagian kecil saja.
Di stasiun, terminal, jalanan, juga sekolah-sekolah, seyogyanya disediakan; karena air minum adalah kebutuhan pokok bagi manusia. Jika tidak bisa menyediakan air galon sekelas Aqua, semestinya pemerintah dapat mengembangkan teknologi yang dapat menyaring air sehingga layak untuk diminum. Ada lima negara yang secara mandiri dapat menyediakan air minum gratis dari keran untuk rakyatnya, yakni negara Singapura, Swiss, Selandia Baru, Swedia, dan juga Kolombia. Adalah sebuah kezaliman yang nyata apabila negara Indonesia dengan sumber daya alam terbaik dan terbanyak, untuk urusan air minum saja belum bisa berdiri-sendiri. Bahkan, ada wilayah kering yang untuk mandi saja kesulitan, apalagi untuk air minum.
Semoga Allah Ta’ala berikan kesadaran bagi para penguasa, dan di masa depan, semoga para penegak bangsa dapat menyadari hal yang kita kira sesepele ini, tetapi berdampak besar bagi rakyatnya; melaksanakan suatu amanah besar dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. ||
Eveline Ramadhini