Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat. Prakteknya?
Wartapilihan.com, Jakarta – Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan pemerintah perlu memprioritaskan kepentingan publik dalam kebijakan pertanahan. Pasalnya, hal tersebut memiliki landasan konstitusional yang sangat kuat, yakni pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar 1945.
“Pasal ini pasal yang paling berat realisasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dihadapkan dengan masifnya sistem ekonomi yang liberal-kapitalistik. Mudah sekali tujuan kemakmuran rakyat dikalahkan oleh kepentingan kapital/pemodal,” ungkap Jazuli, di Focussed Group Discussion (FGD) dengan tema “Perlindungan Kepentingan Publik dalam Kebijakan Pertanahan di Indonesia”, Rabu (7/6).
“Sayangnya, negara acapkali tumpul pembelaannya pada rakyat atas nama investasi dan pembangunan,” terang Jazuli.
Anggota DPR Dapil Banten III ini juga menyoroti implementasi Pasal 33 berupa UU Pokok Agraria (UUPA) 5/1960 yang sebenarnya sangat kuat keberpihakannya pada rakyat.
“UUPA ini karakternya sangat kuat prorakyat, populis, dan berpihak pada hukum adat (tanah ulayat). Sayang UU ini tidak sepenuhnya dijalankan, tidak dipedomani, dan banyak penyimpangan,” ungkap Jazuli.
Untuk menguatkan UUPA kembali, lanjut Jazuli, pada awal-awal reformasi 1998 lahir Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP ini menjadi landasan peraturan perundang-undangan di bidang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
“Namun realitasnya kebijakan agraria/pertanahan yang prorakyat masih belum sepenuhnya terealisir sesuai amanat UUD. Buktinya konflik-konflik pertanahan justru meningkat tajam,” Jazuli menambahkan.
Pada dasarnya, Fraksi PKS mengingatkan pemerintah dan aparat penegak hukum agar memprioritaskan kepentingan publik dalam penyelesaian konflik-konflik pertanahan, yang di dalam prosesnya disertai keadilan.
Jazuli Juwaini menyitir data yang menunjukkan peningkatan tajam konflik pertanahan. Pada tahun 2015 konflik agraria mencapai 400.430 hektare, sedangkan pada tahun 2016 Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat wilayah yang menjadi titik konflik agraria mencapai 1,26 Juta Hektare. Hal tersebut meningkat 3 (tiga) kali lipat dibandingkan pada tahun 2015. Tiga sektor terbesar konflik agraria selama tahun 2016 adalah sektor perkebunan 163 konflik, properti 117 konfilk, dan infrastruktur 100 konflik.
Maka, ia berharap, pemerintah tidak kehilangan ruh/semangat konstitusi Pasal 33 dan UUPA yg hingga kini masih berlaku, yaitu bumi Indonesia ini harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Serta memastikan semua kebijakan pertanahaan diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat,” tandasnya.
[Eveline Ramadhini]