Mantan penasehat KPK, menyamakan seorang koruptor dengan PSK dari berbagai aspek. Bagaimana bisa sejauh itu?
Wartapilihan.com, Jakarta – Salah satu musibah nasional terbesar yang melanda bangsa Indonesia selama puluhan tahun adalah pemberantasan korupsi yang tidak kunjung selesai. Sebab, hampir semua orang tidak mengetahui secara menyeluruh, bagaimana wajah korupsi di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh mantan penasehat KPK, Abdullah Hehamahua di Menara Dakwah, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (8/6).
“Semua fenomena korupsi yang terjadi menunjukkan kemiripan dengan suasana di rumah sakit jiwa. Maksudnya, tidak ada pasien yang mengaku kalau dirinya sakit jiwa. Justru dokter atau perawat yang dianggap sebagai orang gila,” kata Abdullah Hehamahua.
Secara ketatanegaraan, lanjut Abdullah, Pemerintahlah yang paling bertanggungjawab dalam proses pemberantasan korupsi, baik secara preventif maupun represif. Dalam konteks ini, KPK memiliki tanggung jawab konstitusional untuk mengkoordinasi dan mensupervisi lembaga penegak hukum dan instansi lainnya.
“Strategi, program dan kegiatan yang efektif dalam pemberantasan korupsi adalah pencegahan melalui pembangunan good governance, good corporate governance, dan good civil society governanve,” papar mantan Ketua Umum PB HMI tersebut.
Menurutnya, dampak extra ordinary crime ini -korupsi- berimbas kepada tatanan kehidupan bangsa seperti rendahnya kualitas layanan publik, meningkatnya pengangguran dan orang miskin, melebarnya kesenjangan di antara kelompok masyarakat, meningkatnya masalah sosial dan kejahatan, mengancam persediaan sumber daya alam, dan keseimbangan ekosistem serta disharmonisasi kesatuan dan persatuan nasional.
“Oleh karena itu, menjadi seorang penegak hukum, apalagi sebagai pimpinan KPK, harus disertai keyakinan bahwa penegakan hukum dimana, kapan dan terhadap siapa saja adalah jihad. Jika dia berhasil, bangsa dan rakyat menikmati hasil perjuangannya. Jika dia gugur dalam menjalankan tugas, Insya Allah matinya dalam mati syahid dan tempatnya di surga,” ungkap mantan Wakil Ketua KPKPN.
Guna terciptanya good governance, KPK harus mendorong dan bersinergi dengan Kementerian atau lembaga terkait dalam percepatan program reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi hendaknya diprioritaskan pada empat pilar, yaitu pertama, penataan ulang SDM Indonesia khususnya PNS, di mana 70% dari PNS yang ada harus ditingkatkan kompetensinya sebagai pegawai fungsional yang memiliki IQ, EQ, SQ, dan PQ di atas rata-rata.
“Kedua, penggajian yang menerapkan sistem merit, yaitu seseorang DPR berdasarkan kompetensi dan kinerja nya dengan tunjangan tidak melebihi 30% dari gaji pokok. Berarti gaji pokok PNS yang sekarang setidaknya dinaikkan minimal 100%,” saran Abdullah.
Ketiga, fungsionalisasi IT dalam rangka memperpendek jarak birokrasi, dan memudahkan sistem pengawasan, khususnya dalam layanan publik sehingga tata kelola pemerintahan berjalan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
“Keeempat, pengelolaan aset negara atau daerah secara baik sehingga selain memelihara dan mendayagunakan sumber daya alam yang ada, kebocoran anggaran rutin yang oleh Prof. Sumitro sebesar 30% per tahun, dapat ditekan bahkan di usahakan untuk hilang sama sekali,” tandasnya.
Abdullah menyarankan, agar hukum dapat ditegakkan di seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara, semua instansi penegak hukum harus memiliki visi dan misi yang sama. Baik itu Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, KPK maupun advokat.
“Tidak boleh ada perasaan iri di antara sesama instansi penegak hukum, apalagi sampai saling menjegal. Harus memiliki jaringan kerja yang integrated dalam semangat teamwork yang solid tanpa ada arogansi institusional,” pungkasnya.
[Ahmad Zuhdi]