Versi Audio:
Oleh Agus Somamihardja
Nama Ki Hadjar Dewantara selalu muncul setiap kali bangsa ini kehilangan arah. Ia bukan sekadar pendiri Taman Siswa atau Bapak Pendidikan Nasional, tetapi juga suara nurani yang mengingatkan bahwa pendidikan sejati bukan mencetak otak, tapi menumbuhkan jiwa (Dewantara, 1936).
Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889, Ki Hadjar hidup di masa ketika sekolah adalah hak istimewa kaum bangsawan dan alat kekuasaan kolonial (Kusdiyanto, 2019). Namun ia paham bahwa manusia tidak bisa dimerdekakan dengan sistem yang menindas. Ia menanggalkan gelar kebangsawanan, turun ke tengah rakyat, dan menanamkan gagasan abadi: “Pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak.”
Baginya, pendidikan adalah perjalanan menuju kemerdekaan batin. Merdeka bukan sekadar bebas, tetapi berdiri di atas kaki sendiri , berpikir, merasa, dan bertindak dengan kesadaran (Tilaar, 2002). Ia menolak pendidikan yang menanamkan ketakutan, menggantinya dengan sistem Among: pendidikan yang membimbing, bukan menguasai. Guru baginya bukan penguasa pengetahuan, melainkan penuntun jiwa. “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Di depan memberi teladan. Di tengah membangun semangat. Di belakang memberi dorongan.
Pendidikan yang Berakar pada Kodrat Alam dan Zaman.
Menurut Ki Hadjar, pendidikan harus berpijak pada kodrat alam dan kodrat zaman (Dewantara, 1937). Artinya, manusia perlu menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa kehilangan akar budayanya.
Ilmu pengetahuan boleh datang dari mana saja, tetapi nilai-nilai harus tumbuh dari tanah sendiri dari kebijaksanaan, harmoni, dan cinta kehidupan (Suyatno, 2018).
Namun sejak akhir 1980-an, arah pendidikan kita berubah haluan. Sekolah bukan lagi taman jiwa, melainkan pabrik tenaga kerja (Tilaar, 2012). Anak didik diajar untuk bersaing, bukan memahami. Kurikulum dibanjiri IPTEK, sementara IMTAK tinggal slogan dalam pidato.
Bangsa ini bangga pada peringkat internasional, tapi abai pada watak generasinya. Sekolah berlomba mencetak juara olimpiade, namun gagal menumbuhkan manusia yang jujur dan berbelas kasih (Darmaningtyas, 2019).
Krisis Nilai dan Nurani dalam Pendidikan Modern
Kini nilai kemanusiaan kian kehilangan rumahnya. Guru sibuk dengan administrasi, murid dibebani ambisi, dan para pemimpin terlalu sibuk menghitung angka lupa menimbang nurani (Nata, 2020).
Padahal Ki Hadjar telah mengingatkan: “Pendidikan tanpa budi pekerti hanya akan melahirkan manusia pandai tapi tidak berbudi berbahaya bagi sesamanya.”
Kita lihat hasilnya hari ini: bangsa ini punya jutaan sarjana, tapi sedikit manusia yang berani jujur. Kita membangun sekolah mewah, tapi kehilangan ruang bagi kejujuran dan empati. Kita memuja kecerdasan, tapi melupakan kebijaksanaan (Hidayat, 2022).
Maka tak berlebihan bila dikatakan: pendidikan kita berhasil mencerdaskan kepala, tapi gagal memanusiakan hati (Gunawan, 2016). Kekuasaan pun kehilangan moralnya. Para pemimpin tak lagi menjadi guru bangsa mereka sekadar pengelola kepentingan. Pejabat pandai berbicara tentang pembangunan, tapi gagap berbicara tentang kebenaran.
Kembali ke Ruh Ki Hadjar Dewantara.
Kini saatnya bangsa ini kembali pada ruh pendidikan Ki Hadjar Dewantara: pendidikan yang menuntun, bukan menundukkan; yang membebaskan, bukan menaklukkan; pendidikan yang memupuk kasih, bukan hanya kecerdasan (Nizar, 2019).
Bangsa ini tidak akan diselamatkan oleh teknologi semata, tetapi oleh manusia yang masih punya nurani. Seperti kata Ki Hadjar: “Pendidikan sejati adalah seni menuntun hidup agar manusia menjadi merdeka, lahir dan batin.”
Mungkin, sudah saatnya kita mulai lagi dari taman kecil di hati kita masing-masing. 🌿
Daftar Referensi
– Darmaningtyas. (2019). Pendidikan yang Memerdekakan: Kembali ke Gagasan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: LKiS.
– Dewantara, K. H. (1936). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
– Dewantara, K. H. (1937). Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta: Taman Siswa.
– Gunawan, H. (2016). Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.
– Hidayat, R. (2022). Krisis Nilai dalam Pendidikan Modern Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 7(2), 134–148.
– Kusdiyanto, H. (2019). Ki Hadjar Dewantara dan Revolusi Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.
– Nata, A. (2020). Pendidikan Nilai dan Budi Pekerti. Jakarta: Rajawali Pers.
– Nizar, S. (2019). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: UIN Press.
– Suyatno. (2018). Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan Abad 21. Yogyakarta: UNY Press.
– Tilaar, H. A. R. (2002). Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: Grasindo.
– Tilaar, H. A. R. (2012). Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural. Bandung: Remaja Rosdakarya.

