Sepertinya para teroris hendak membuat perang terbuka dengan Polri
Wartapilihan.com, Jakarta – Hari Bhayangkara 2017 diwarnai duka yang dalam. Teroris berhasil memberikan kado hitam buat Polri dan menjadikan anggota Polri sebagai bulan-bulanan serta target serangan teror. Setelah bom Kampung Melayu yang menewaskan 3 polisi, teroris kembali menyerang polisi di markas Polda Sumut dan di mesjid di depan Mabes Polri beberapa jam menjelang Hari Bhayangkara 2017. Demikian ungkap Ketua Presidium Indonesian Police Watch Neta S Pane dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (1/7).
“Tragisnya dengan senjata seadanya para teroris nekat menyerang anggota polisi yang bersenjata lengkap di sekitar markasnya. Bagaimana pun teroris menjadi musuh utama Polri di Hari Bhayangkara 2017,” kata Neta.
Artinya, lanjut Neta, Polri harus mampu membangun dan menegakkan citranya, citra yang profesional hingga jajaran Kepolisian disegani semua pihak, terutama kalangan teroris. Kenapa kalangan kepolisian dengan mudah dijadikan seperti predator dan bulan-bulanan oleh teroris hingga teroris nekat menyerang ke markas Kepolisian.
“Hal itu dikarenakan Polri tidak berwibawa sehingga tidak disegani lagi, terutama oleh kalangan teroris. Bisa jadi hal ini disebabkan, sejak beberapa tahun lalu polisi terlalu agresif melakukan eksekusi mati terhadap para teroris di lapangan. Hal ini ternyata tidak membuat teroris takut, malah makin super nekat dan menerapkan prinsip nyawa dibayar nyawa,” tegas Neta.
Dari berbagai kasus serangan, IPW berharap Polri melakukan evaluasi secara menyeluruh, sehingga pada Hari Bhayangkara 2017 ini bisa melakukan konsolidasi agar ke depan jajaran Polri benar benar bekerja profesional, proporsional dan independen sehingga Polri disegani semua pihak, terutama kalangan teroris.
“Catatan penting bagi Polri di Hari Bhayangkara 2017 ini adalah jajaran kepolisian harus mengevaluasi, kenapa teroris makin super nekat melakukan perang terbuka terhadap Polri meski hanya dengan sebilah pisau dapur,” saran dia.
Selain itu, kata Neta, kasus penyerangan ini semakin menunjukkan bahwa sistem penumpasan terorisme sesungguhnya tidak berhasil. Begitu juga konsep radikalisasi yang digalang pemerintah selama ini, gagal total. Terbukti terorisme bukannya lenyap dari indonesia tapi para teroris malah makin super nekat. Di Hari Bhayangkara 2017 ini penanganan kasus-kasus serangan terhadap polisi perlu menjadi fokus utama bagi Polri untuk menyelesaikannya, agar tidak terulang terus menerus.
“Jika serangan ini terus terulang, jajaran kepolisian tidak bisa fokus untuk menangani tugas-tugas lain dalam melindungi, mengayomi, melayani dan melakukan penegakan hukum di masyarakat. Aparat kepolisian di lapangan akan trauma dengan berbagai kekhawatiran tersendiri terhadap kemungkinan diserang teroris,” ujarnya.
Meskipun jajaran Polri mengatakan `kami tidak takut` jelas Neta, tetapi masyarakat yang cemas terhadap sistem keamanan yang dibangun Polri. Masyarakat makin tidak percaya pada Polri. Masyarakat akan menuding bagaimana Polri bisa melindungi masyarakat wong melindungi dirinya sendiri saja di markasnya tidak mampu.
“Untuk itu, krisis kepercayaan masyarakat ini jangan sampai berkembang luas. Polri harus segera melakukan konsolidasi dan evaluasi agar Polri makin disegani semua pihak dan tidak dilecehkan, apalagi menjadi bulan-bulanan teroris,” tandasnya.
Dalam konsolidasi dan evaluasi itu, Polri harus menekankan semua jajarannya agar senantiasa bekerja profesional, proporsional dan independen, terutama jajaran yang bersentuhan dgn terorisme, seperti Bimas, Intelijen, Densus 88 dan lain-lain. Selain mengevaluasi semua hasil kerja selama ini, Polri juga harus mencari tahu siapa sesungguhnya otak serangan itu. Apakah meluasnya aksi serangan super nekat para teroris ini berkaitan dengan sedang dibahasnya RUU Terorisme di DPR.
“Penyelesaian kasus-kasus serangan ini harus dilakukan agar Polri bisa fokus menyelesaikan tugas tugasnya dalam melindungi dan menjaga keamanan masyarakat. Jika dibiarkan, berbagai kasus serangan ini akan mereduksi semua prestasi Polri selama ini,” pungkasnya.
Sementara itu, pakar kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala kepada Warta Pilihan menuturkan, peristiwa nahas yang terjadi terhadap dua personil Brimob tersebut bukan lagi teror, tetapi serangan. Menurutnya, teror lebih bermakna simbolik sementara serangan memang bertujuan menghancurkan.
“Bahwa kekuatan pelaku tidak seimbang dengan obyek yang diserang, itu karena pelakunya naif mengingat sudah dipenuhi oleh semangat keagamaan,” cetus dia.
Lebih lanjut, revisi UU Terorisme, kata Adrianus, diharapkan memberi amunisi berupa kewenangan baru kepada penegak hukum. Namun kelihatannya anggota DPR punya cara pandang atau kepentingan yang hendak melemahkan Kepolisian pada khususnya dan negara pada umumnya, terkait pemberantasan teror.
“Kemungkinan karena pansus diisi oleh anggota DPR yang berasal dari partai-partai Islam yang tidak ingin terorisme diinentikkan dengan Islam,” tambahnya.
Selain itu, simpul kriminolog UI tersebut, bisa juga anggota DPR setuju dengan faham radikal sehingga tentu berkepentingan Kepolisian menjadi lemah.
“Kemungkinan pula karena Pansus ingin merombak tatanan pemberantasan terorisme yang lebih berat pada penumpasan menjadi lebih ke pencegahan atau deradikalisasi. Itu 3 kemungkinan,” ujar dia.
[Ahmad Zuhdi]