WARTAPILIHAN.COM, Jakarta. Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, menyampaikan pendapatnya tentang tanggapan para netizen terhadap tulisan status Facebook Afi Hinaya Faradisa yang cukup viral beberapa waktu lalu. Tulisan-tulisan hasil buah pikirannya seperti “Warisan” dan “Belas Kasih Agama Kita” yang diposting di Facebook-nya menuai pujian dan cercaan. Imam menanggapinya dengan mengatakan, setelah menelusuri status Facebook langsung pada akunnya, ia merasa kasihan pada anak tersebut.
“Saya coba teliti lebih jauh tanggapan yang mengkritik dan menghujatnya. Masya Allah, begitu banyak kata-kata keras bertebaran. Bahkan terasa terlalu keras,” paparnya di status Facebook-nya hari ini (27/5).
“Mungkin para penanggap ada yang terlalu bersemangat sehingga lupa membayangkan bahwa yang tengah dihadapi hanyalah anak remaja yang tengah berproses perkembangan intelektualitasnya,” lanjutnya.
Ia menegaskan, hal ini memang kelemahan berinteraksi dalam dunia maya. Ia menyayangkan hal itu, oleh pasal pikiran yang kurang pas pada Afi memang ada, menurutnya, masih terbuka untuk diperbaiki mengingat usianya yang masih dalam tahap perkembangan. “Saya bersedih karena banyak tulisan yang diarahkan padanya, lebih bersifat ‘menghukum’ daripada ‘membimbing’ atau ‘mendidik'”, ungkapnya.
Maka itu, ia memaparkan, memberi dukungan psikologis kepada Afi sebagai wujud empatinya. “Saya bersimpati pada anak ini. Karena itu saya menulis untuk memberi dukungan psikologis. Saya akan coba, dan akan selalu coba, memberi dukungan pada remaja manapun yang tengah berjuang mencari jati dirinya,” tuturnya.
Dosen yang berfokus pada Inovasi dan Kewirausahaan Sosial ini berharap, Afi tidak patah semangat dalam melewati ranjau ini. “Jelas, kini Afi tengah merasakan ranjau-ranjau psikologis yang mengaburkan fikiran dan hatinya. Ini buah reaksi liar bernada keras masyarakat digital yang melemahkan tekad. Tentu, saya berharap Afi tak putus semangat dan mampu melewati ranjau ini. Untuk itulah mengapa saya menulis uraian ini,” tandasnya.
Siapa Itu Afi?
Asa Firda Inayah. Itulah nama aslinya yang tidak sama dengan akun Facebooknya yang bernama Afi Hinaya Faradisa. Perempuan kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, ini sengaja tidak menggunakan nama aslinya karena ingin bermanfaat dengan nama anonimnya. Pada usianya yang menginjak 18 tahun ini mulai dikenal namanya sejak Maret 2016 lalu dan menjadi perbincangan di dunia maya karena tulisan-tulisannya yang dikomentari banyak pihak, termasuk para profesor.
Ia sempat berseloroh di akunnya, “Membaca komentar yang ditujukan untuk saya dan melihat penulisnya yang master atau doktoral, saya jadi pesimis sama kuliah,” ia mengungkapkan. Afi yang hobi menulis dan membaca ini tengah berada pada ranjau psikologis, menurut Imam.
Afi bercita-cita menjadi seorang penulis, guru, dan psikolog yang ia ingin bisa membantu lebih banyak orang. Afi bersekolah melalui jalur biasa; mulai masuk TK pada umur 5 tahun (TK Islam Yosomulyo), kemudian 6 tahun di SDN 4 Yosomulyo, 3 tahun SMPN 1 Genteng, dan kini baru saja menamatkan SMAN 1 Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur.
Ia anak yang lahir dari pasangan Imam Wahyudi dan Sumartin. Ayahnya bekerja sebagai pedagang kaki lima yang berkeliling di beberapa sekolah di sekitar desa tempat tinggal mereka. Ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa yang sehari-hari lebih banyak di rumah karena menderita sakit.
Salah satu tulisan Afi yang lagi-lagi viral berjudul “Belas Kasih dalam Agama Kita” sebagai berikut:
BELAS KASIH DALAM AGAMA KITA
© Afi Nihaya Faradisa
“Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sebuah sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya (untuk digunakan menimba air). Ia pun diampuni karenanya.” (HR. Muslim).
.
Banyak yang meragukan Islam sebagai ideologi kelembutan, terutama ketika Indonesia dan dunia terus dikejutkan oleh serangkaian insiden berdarah yang mengatasnamakanagama ini.
Namun, jika kita menelisik sedikit lebih dalam saja, kita akan menemukan bahwa salah satu doktrin sentral Islam ternyata memang berputar pada prinsip belas kasih.
Kalimat basmalah, pembuka surat-surat Al-Qur’an dan doa yang paling sering diucapkan umat Islam sedunia, mengandung dua sifat utama Tuhan: “Maha Pengasih” dan “Maha Penyayang”. Kalimat ini menjadi bukti paling tegas bahwa kasih sayang adalah jiwa dari seluruh ajaran Islam.
.
Kisah pezina yang diampuni karena belas kasihnya ini mengandung banyak pesan. Pertama, anjing adalah hewan yang secara tradisi dianggap najis dalam Islam. Belas kasih terhadap makhluk yang dianggap hina sekali pun ternyata memiliki arti. Kedua, zina juga adalah dosa yang secara tradisi diganjar hukuman berat, mulai dari cambuk hingga rajam. Namun, belas kasih senilai seteguk air dianggap mampu menebus ‘dosa’ ini. Yang menarik, tidak ditemukan kisah serupa yang melibatkan dosa lain seperti membunuh dan merampok, yang sudah pasti mengabaikan belas kasih.
Kisah ini bukanlah satu-satunya dalam Islam. Banyak kisah lainnya yang memiliki narasi serupa, yang mengindikasikanbahwa belas kasih dibayar dengan amat mahal dalam Islam.
.
Kitab Tsalasatul Ushul (Tiga Landasan Utama) karya Muhammad Abdul Wahab (yang sering dikaitkan dengan Wahabisme, sekte terkeras dalam Islam saat ini), misalnya, menceritakan satu kisah di mana seseorang ditolak seluruh ibadahnya, namun diampuni karena menyelamatkan seekor lalat yang tenggelam di sebuah gelas. Kitab ini bahkan juga mengutip dorongan untuk berbelas kasih kepada orang kafir sekali pun.
“Kasihilah yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu”, bunyi lafadz sejumlah hadits yang menjadi dasarnya.
.
Sayyidina Ali bin Abi-Thalib ra. juga pernah mengatakan: “Mereka yang tidak bersaudara dalam iman bersaudara dalam kemanusiaan.”
.
Kitab Tadzkiratul Auliya (Kisah Para Wali) karya Fariduddin Atthar menyitir kisah lain tentang satu-satunya orang yang diterima ibadah hajinya oleh Allah justru karena membatalkan hajinya agar uang biaya haji itu bisa digunakan untuk menolong tetangganya yang kelaparan.
.
Kisah semacam ini mungkin akan jarang didengar dan cenderung tidak disukai di kalangan Islam legalistik yang memiliki pendekatan sangat kaku tentang benar dan salah.
Aku pribadi mengelompokkan kisah-kisah ini sebagai post-sharia Islam, atau Islam pasca-syariat. Islam yang tidak lagi berdebat soal percabangan hukum hingga ke tataran seperti batas aurat & jumlah rakaat. Sejenis Islam level berikutnya yang telah melampaui aspek legal formal menuju sesuatu yang lebih esensial. Dan esensi itu bernama belas kasih.
.
Agaknya tidak mengherankan jika tema ini juga ditemukan di semua agama besar dunia. Mulai dari Yesus yang berdiri membela pezina yang nyaris dihakimi massa, hingga Guan Yin yang dipuja luas di Asia Timur sebagai Dewi Belas Kasih yang mendengar penderitaan dunia.
.
Agama-agama di dunia ini mungkin berbeda pada tataran syariat dan legal formal, namun melebur dalam esensi yang sama ketika naik ke jenjang berikutnya. Cita-cita rahmatan lil ‘ālamīn (belas kasih bagi semesta alam).
.
Meski sama-sama berjubah dan berjenggot, akan tetapi panutan kita dalam beragama adalah Muhammad SAW yang lembut, rendah hati, dan penuh belas kasih. Bukan Abu Jahal atau Abu Lahab yang licik, sombong, dan penuh amarah.
.
Beratnya menjadi muslim seperti yang dikatakan Rasul: “Muslim ialah orang yang menyelamatkan orang lain dari gangguan lidah dan tangannya.”
Masih suka memfitnah? Bergunjing? Menyakiti (bahkan membunuh) orang lain dengan lidah dan tanganmu? Muslimkah engkau?
.
Dengan pistol kita bisa membunuh teroris, tapi dengan pemahaman agama yang baik kita bisa membunuh terorisme.
Reporter: Eveline Ramadhini