WARTAPILIHAN.COM, Depok. Dalam bersastra, ada upaya melatih rasa atau kepekaan pada lingkungan sekitar dan kondisi diri. Hal ini dapat mengantarkan seseorang untuk selangkah lebih jauh mengenal dirinya. Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Septina FArniati, instruktur kelas menulis Aksara-Salman-ITB ini membagi pengalaman menulisnya dalam Workshop Praktik Penulisan Sastra pada hari ini (27/5) di Perumahan Bukit Cinere, Depok.
“Kenali diri, yang diam-diam rindu dikenali. Ketahui kecenderungannya, agar tak mudah tersesat. Tanyai dia, apa hal yang disukai dan apa yang tidak. Apa yang dikuasai, apa yang tidak,” paparnya.
Ia pun mengajak membaca mendalami suatu tulisannya:
Seorang perempuan terbang,
menembus kabut, melampaui hutan yang rapat, melintasi dingin yang beku. Terbangnya sukacita, penuh kehangatan.
Dia melayang tak berhenti, hingga angin membawanya ke satu dataran luas tak berpenghuni. Dingin yang kelu menghalau hangat. Serta merta takut merayap.
Sunyi. Sepi. Sendiri.
Matanya memandang hutan di hadapan, juga awan berselimut kabut berwarna abu.
Dingin menyerang.
Diputuskannya berdamai dengan keadaan. Duduklah ia di atas permukaan tanah berwarna merah. Bersila, mata terpejam. Senyap. Pekat. Takut menyergap.
Aku sendiri, ucap hatinya, yang terdengar lebih kencang dibanding gemersik daun rapat yang menggeliat, lebih keras dibanding suara kabut yang bersemaput.
Dia pusatkan perhatian pada diri di dalam, yang penuh geliat kegelisahan dan kerap berisi pemberontakan. Suara hati meredup, berganti ujar lirih dari atas sana.
Relakan…
Tubuhnya lemas seketika. Nyaris tak berdaya, ketika ledakan besar membuat mata terbuka. Akulah engkau, akulah engkau! Teriaknya sepenuh daya.
Dirasanya tubuh kembali terbang, melesat.
Melampaui hutan. Melewati awan. Melintasi dingin.
Tubuh perlahan hangat, menggeliat.
Di ranjang sederhana, sepasang mata masih terpejam. Sudut mulut menyungging seulas senyum, menawan.
Sarjana lulusan Sastra dan Bahasa Universitas Padjajaran Bandung ini menjelaskan, “Kutipan kalimat di atas adalah penggalan pembuka sebuah cerita panjang yang pernah saya buat. Gagasan dalam cerita didapat dari mimpi yang kadang mengakrabi,”
“Mimpi sekalipun bisa jadi pengantar sebuah cerita panjang yang berujung pada rangkaian proses kreatif,” lanjutnya.
Menurutnya, menulis ialah sesuatu yang menyehatkan. Karena hal itu menuntut orang berhati-hati membaca keadaan dan mengembangkan pengetahuan. “Mengajari orang agar mau membaca dan memaksa orang bertanya ihwal banyak hal yang tak mudah dimengerti. Dan membuat orang mudah merasa, mudah peka,” papar Alumni SMA N 2 Bandung ini.
Ia juga menegaskan,menulis bukan hanya milik para jurnalis, sastrawan atau penyair, melainkan milik semua orang yang berperasaan atau memiliki empati. “Dengan dorongan yang tepat, empati dapat menggerakkan orang mengeluarkan endapan rasa itu dalam tulisan dengan lebih baik lagi,” lanjutnya.
Selain empati, diperlukan juga logika dalam menulis. Menurutnya, rasa yang baik berasal dari hasil logika yang apik. “Karena sebenarnya, menulis adalah sebuah proses me-make sense-kan segala kecamukdalam pemikiran dan hati manusia. Setelah semuanya terkendali, turunlah pemahaman. Pemahaman kemudian menjadi rasa yang tertuang dalam bentuk tulisan,” ia memaparkan.
Penulis yang akrab dipanggil Fenfen ini lahir di Serang empat puluh tahun lalu, menulis jurnal harian sejak usia Sembilan, hingga kini menulis masih jadi bagian dari dirinya. Ia telah menerjemah banyak buku terbitan Jalasutra, Gramedia, Al Huda, dan Mizan, juga mengeditori beberapa buku. Cerpennya berjudul Cinta Kedua termuat dalam Femina tahun 2005. Beberapa esai ihwal pengalaman membaca dan menulis termuat dalam Kompas, Pikiran Rakyat, dan Matabaca. Novel pendeknya berjudul Memilih Bahagia diterbitkan Erlangga dan mendapat anugrah pertama lomba menulis novel pendek bertajuk “Perempuan Dalam Rantai Kekerasan dan dibukukan bersama Sembilan novel lainnya.
Reporter: Eveline Ramadhini