Wartapilihan.com, Jakarta – Kurang dari 24 jam lagi, masyarakat Indonesia akan melakukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 di 107 daerah. Bantuan hitung cepat (quick count) beberapa lembaga bahkan juga akan segera menunjukkan hasilnya. Dari 107 daerah itu, tidak ada yang menggiring perhatian lebih tinggi dari DKI Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, gubernur yang mencalonkan diri sebagai gubernur lagi, beberapa bulan terakhir mendapat kecaman dari umat Islam.
Musababnya, ia melontarkan banyak pelecehan terhadap Islam dan lembaga-lembaga Islam, seperti merubuhkan Masjid Amir Hamzah di pusat kebudayaan Taman Ismail Marzuki, berceloteh bahwa ayat konstitusi lebih tinggi dari ayat suci, menuding PW Muhammadiyah Jakarta sok suci karena menuntut penghapusan pelacuran, dan puncaknya adalah menistakan ayat suci Al-Qur’an, surat Al-Maidah: 51, saat membahas hal-ihwal ikan kerapu di Kepulauan Seribu.
Meski Ahok mengelak kesengajaan penistaan itu, jejak digital tak bisa menutupinya. Ia ternyata pernah juga menistakan ayat yang sama di sebuah rapat pemerintah daerah, sebagaimana tersiar dalam kanal Youtube resmi Humas DKI Jakarta yang tersebar beberapa pekan terakhir. Daftar keburukan ini bisa ditambah dengan tindakannya menggusur rakyat kecil dari kampung mereka, dan lain lagi, dan sebagainya. Di negara demokrasi, ada tiga cara menghukum penguasa seperti ini: (1) berunjuk rasa dengan membawa sebanyak mungkin massa sepehaman, (2) membawanya ke pengadilan sebagai bentuk ketaatan pada lembaga negara, dan (3) tidak memilihnya kembali di Pilkada. Butir pertama dan kedua telah, sedang, dan akan selalu kita lakukan sebagai subyek politik berdaulat dalam sebuah negara bangsa modern.
Untuk butir ketiga, kita bisa melakukan (sebagai warga Jakarta dewasa) dan mendukung (sebagai warga luar Jakarta), beberapa jam kedepan.
Ikhtiar Kita
Dalam setiap tindakan, baik atau buruk, masyarakat Indonesia sering menggunakan kata ikhtiar. Saat Pilkada besok, penyelenggara (dalam hal ini negara), pasangan calon, partai politik, tim sukses, pemilih dan pendukung dari kejauhan barangkali akan menggunakan kata “ikhtiar” juga untuk menyebut setiap usaha. Padahal kata ikhtiar bukan sepadan dengan kata usaha belaka. Ikhtiar mengandung makna memilih yang terbaik dari kebaikan-kebaikan yang kita kenali dan ketahui. Memilih gubernur penista agama dan pencabik kemanusiaan sama sekali tidak bernilai ikhtiar. Sebaliknya, menghindari tumpukan mafsadah di dalam dirinya, dengan cara memilih calon yang jauh lebih baik, adalah ikhtiar selama ia disertai niat tulus ikhlas, bukan semata gerak kebodohan atau melanggengkan oligarki.
Bagaimana jika ketiga hal tersebut sudah kita lakukan sedapat-dapatnya, namun ternyata pengucap kata kotor dalam siaran langsung Kompas TV beberapa waktu lalu itu tetap memenangi Pilkada, dan menjadi Gubernur Jakarta periode selanjutnya? Tidak ada yang sia-sia dari ikhtiar itu, sebab semua yang terjadi, termasuk penghancuran Kakbah oleh Ya’juj dan Ma’juj di akhir zaman kelak, adalah ketetapan Allah.
Dalam renungan penulis, kita bisa memperluas bentuk ikhtiar terkait tindakan politik kita dalam melawan Ahok, jika kita memperluas pemahaman kita tentang “politik” itu sendiri. Politik bukan semata-mata peristiwa rutin 5 tahunan dalam bentuk pencoblosan, sehingga tenaga kita terkuras banyak menjelang hari itu, lalu menyerahkan semuanya pada keputusan dan langkah elit partai politik. Elit yang separtai dan seideologi akan kita sukai, sedangkan elit yang berbeda partai dan ideologi serta-merta kita benci. Keduanya masih perlu majas tambahan: suka sepenuh hati, benci setengah mati.
Dalam Islam, politik adalah hal suci yang berkepentingan menjamin penghambaan insan kepada Al-Hakim. Pranata-pranata politik seperti pemerintahan berdaulat, partai politik, media massa, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya adalah sarana mencapai tujuan adiluhung itu. Pengisi pranata dan pelaku itu semua bukan kucing kesayangan atau anggrek indah di rumah kita, melainkan kita sendiri: insan per insan. Memperbaiki insan adalah sebuah ikhtiar memperbaiki masyarakat dan negara, memperbaiki mutu politik.
Sayangnya, berdasarkan penelitian LIPI di tahun 2012, hanya 12,8% dari masyarakat kita yang merasa bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah pasca berpolitik di pemilihan umum (dan dalam konteks tulisan ini, Pilkada), sedangkan yang lain merasa tak punya kuasa.
Politik Ikhtiar
Tindakan abai 87,2% masyarakat dalam mengendalikan politik, selain penyempitan makna sebatas politik elektoral yang penulis singgung di atas, adalah juga karena pemahaman kita yang sering terpisah-pisah antara satu urusan dan urusan lain, atau yang timpang mengira satu urusan lebih tinggi dibanding yang lain, meski yang seharusnya malah kebalikan dari itu. Supaya tidak bingung dengan langkah politik yang mesti ditempuh pasca pilkada, apalagi jika politisi kutu loncat bernama Ahok itu menang kembali, filsuf terbesar abad ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, punya pandangan yang tepat: perbaiki ilmu untuk memperbaiki segala keadaan.
Untuk menghindari pembahasan epistemologis yang rumit, penulis akan mencoba menurunkannya ke konteks hari ini. Di atas, penulis telah menyinggung bahwa tindakan politik individu adalah lebih luas dari sebatas politik elektoral. Sebagai individu, kita bisa menjadi pelaku utama dalam memperjuangkan makna pelbagai hal yang lebih lestari dalam gugusan politik, seperti “kewargaan”, “keadaban”, “keadilan”, “kedaulatan”, dan “kebangsaan”.
Mengapa “memperjuangkan makna”? Gugusan politik dibangun dengan konsep-konsep di atas. Keadaan sekuler pada sebagian besar pemikiran dan praktik politik hari ini adalah ditentukan oleh pandangan sekuler terhadap konsep-konsep itu.
Sebagai contoh, ketika berbicara “keadaban” (dalam bahasa Inggris disebut “civility”) berhubungan dengan masyarakat majemuk, filsuf politik Nancy Fraser berpendapat bahwa negara harus menjadi pelaku politik pengakuan (politics of recognition) dan politik penyaluran (politics of redistribution) terhadap warga secara setara. Dampak dari pandangan ini, dan inilah yang tengah diperjuangkan kalangan sekuler di negeri kita, adalah pengakuan atas apapun ekspresi manusia, termasuk ekspresi pemahaman (ke)agama(an), dan penyaluran sumber daya untuk berpolitik. Dalam logika ini, pemerintah dan masyarakat wajib mengakui hak dan kewajiban kaum Ahmadi (penganut Ahmadiyah) atau Ahok, sesering apapun mereka secara sadar menistakan keyakinan umat Islam, sebagai warga negara.
Contoh lain yang bisa disebutkan adalah konsep keadilan. Perdebatan tentang makna keadilan di kalangan filsuf Barat kontemporer memang bernuansa, namun semuanya berada di dua kutub utama, yakni utilitarianisme dan libertarianisme. Jika utilitarianisme mengutamakan asas pencapaian manfaat bagi seluas mungkin masyarakat, libertarianisme mengutamakan kebebasan individu dari tekanan negara dan untuk melangsungkan kepentingan-dirinya. Kebijakan publik suatu negara, termasuk Indonesia, adalah turunan dari teori-teori keadilan di dalam rentang dua kutub ini.
Di mana posisi umat Islam dalam sajian canggih pemikiran-pemikiran sosial politik ini? Sedikit mengulang, jika ikhtiar bermakna memilih berdasarkan yang terbaik di antara kebaikan-kebaikan yang kita kenali dan ketahui, maka peningkatan mutu ikhtiar dalam berpolitik dimulai dari peningkatan pengenalan dan pengetahuan kita, termasuk dalam mengkaji dan menawarkan konsep-konsep di atas berdasarkan pandangan hidup Islam. Selama ini hal tersebut memang telah dan terus dilakukan, namun sebagai otokritik, ia sering terjebak pada perdebatan fiqh siyasah (seperti hukum khilafah, demokrasi, hudud, dsb.) yang diideologisasi oleh gerakan politik Islam yang ada. Hal inilah yang sering membuat gerakan Islam satu berseteru dengan gerakan Islam lainnya di perkara-perkara politik, walau sama-sama mengkalim diri sebagai gerakan berideologi Islam.
Untuk menghindarinya dan memulai ikhtiar politik, kita bisa mengawali sebuah pembicaraan serius tentang konsep-konsep kunci dalam gugusan politik. Gerakan Islam (Harakah Islamiyah) yang lekat dengan aktivisme sosial-politik dapat mengambil peran lebih besar dalam sebuah gerakan pemikiran. Mangkirnya gairah mengkaji pemikiran dalam gerakan Islam acapkali membuat sebagian kadernya mencicipi tawaran dari “luar”, seperti pemikiran liberal atau marxis. Kalau tak pandai-pandai menyeberang sungai, ia terbawa arus sampai jauh.
Ada juga pranata yang sebenarnya sudah kita miliki, yakni pendidikan. Lembaga pendidikan Islam, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, yang kurikulumnya mengikuti ketetapan negara sudah barang tentu mengajarkan pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila (atau apapun namanya itu). Dengan pemahaman terhadap konsep-konsep kunci gugusan politik di atas yang sesuai dengan Islam, kita bisa melakukan pembibitan subyek-subyek politik Islam melalui dua mata ajar ini. Sebab, pendidikan kewarganegaraan bukan cuma soal melerai teman yang berkelahi atau membantu nenek tua menyeberang jalan raya Margonda, tetapi juga HAM, toleransi, dan sebagainya.
Pelaksanaan contoh-contoh di atas, diiringi dengan ikhtiar lainnya, secara sadar dan terarah akan membuat politik kita menjadi politik ikhtiar; sebuah politik agung karena hendak menghasilkan insan-insan berilmu, beradab, dan bertaqwa kepada Tuhannya, yang mengelola politik harian “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Esa”, dan meyakini bahwa pertolongan adalah dari Allah, dan kemenangan itu dekat. Nasrumminallah, wa fathun qarib!
Wallahu a’lam.
Penulis: Ismail Al-‘Alam