Rasulullah Saw menganjurkan kepada setiap pemuda yang memiliki kemampuan untuk menikah, maka segera menikah. Hal itu dapat menjaga diri dari pandangan dan kemaluan, apabila belum mampu maka dapat melakukan shaum.
Wartapilihan.com, Jakarta – Tren nikah online mulai berkembang di Indonesia, bahkan hal ini menjadi salah satu pembahasan Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu. Dalam pandangan MUI, nikah online sendiri jika dibandingkan dengan nikah biasa tidak terdapat perbedaan yang substansial.
Penulis buku “Adab dan Fiqih Bermedia Sosial” Dr Munawar menjelaskan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nikah adalah ikatan (akad) pernikahan sesuai ketentuan agama. Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
لم ير للمتحابين مثل النكاح
“Tidak ada obat mujarab bagi yang dimabuk cintas elain menikah.” (HR Ibnu Majah).
“Persoalannya kadangkala karena kesibukan atau kendala yang lain, nikah terpaksa dilakukan melalui video call atau teknologi yang lain,” kata Dr Munawar dalam diskusi daring yang diselenggarakan Islamic Center Universitas Esa Unggul baru-baru ini.
Lebih lanjut, Munawar menyebutkan rukun nikah, yaitu ada mempelai laki-laki, ada mempelai perempuan, ada wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul.
Sementara syarat sah nikah, yaitu shariih al-Ijab atau jelasnya ijab atas kabul, muwafiq al-Qabul li al-Ijab atau qabul yang sesuai dengan Ijab, dan fi mauqi’in wahidin atau akad dilakukan pada satu majelis (waktu).
“Para ulama sepakat bahwa nikah harus dilakukan dalam satu majelis,” ujar Munawar.
As Syafi’iyah (pengikut Mazhab Syafi’i) menginterpretasikan satu majlis secara dhahir (fisik), artinya semua pihak yang melaksanakan akad harus berada pada satu tempat yang secara tidak langsung tentu harus dilakukan dalam satu waktu yang sama. Dalam konteks ini harus terjadi talaqqy dan musyafahah (bertemu dan mengucapkan akad secara langsung).
“Sementara Hanabillah atau pengikut Mazhab Hanbali memahami ungkapan dalam satu majlis itu dengan satu waktu, tanpa mempedulikan keterikatan tempat, asal Ijab dan qabul dilaksanakan pada satu waktu. Sedangkan calon istri, wali, dan para saksi bisa dilihat meski secara online,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, hal yang membedakan nikah online dengan nikah biasa adalah pada esensi ittihad al-majelis yang erat kaitannya dengan tempat pada pelaksanaan akadnya, namun selebihnya semuanya sama.
Dalam hal ini, lanjut dia, ulama berbeda pendapat tentang makna substansial dari ittihad al-majelis, ada yang mengatakan persyaratan ittihad al-majelis adalah kesinambungan waktu antara ijab dan kabul, bukan menyangkut kesatuan tempat. Asal waktunya sama sudah masuk persayaratan.
“Namun ada juga yang berpendapat bahwa bukan hanya keharusan kesinambungan waktu, tapi juga kesinambungan tempat, yaitu al-muayyanah (berhadap hadapan). Jadi menurut pendapat ini wali, saksi dan kedua mempelai selain harus pada waktu yang sama, juga harus berhadap-hadapan,” jelasnya.
Berikut keputusan Ijtima Ulama mengenai pernikahan online:
1. Akad nikah secara online hukumnya tidak sah, jika tidak memenuhi salah satu syarat sah ijab kabul akad pernikahan, yakni dilaksanakan secara ittihadu al-majelis (berada dalam satu majelis), dengan lafadz yang sharih (jelas), dan ittishal (bersambung antara ijab dan kabul secara langsung).
2. Dalam hal calon mempelai pria dan wali tidak bisa berada dalam satu tempat secara fisik, maka ijab kabul dalam pernikahan dapat dilakukan dengan cara tawkil (mewakilkan).
3. Dalam hal para pihak tidak bisa hadir dan atau tidak mau mewakilkan (tawkil), pelaksanaan akad nikah secara online dapat dilakukan dengan syarat adanya ittihadul majelis, lafadz yang sharih dan ittishal, yang ditandai dengan:
a. Wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui jejaring virtual meliputi suara dan gambar (audio visual).
b. Dalam waktu yang sama (real time).
c. Adanya jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak.
4. Pernikahan online yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada angka tiga hukumnya tidak sah.
5. Nikah sebagaimana pada angka nomor tiga harus dicatatkan pada pejabat pembuat akta nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).
Berdasarkan hasil Ijtima Ulama mengenai pernikahan online di atas, dapat disimpulkan bahwasanya pernikahan secara online diperbolehkan dengan syarat apabila memang para pihak tidak bisa hadir dan tidak mau diwakilkan seperti pada point nomor 1 dan 2.
Apabila poin 1 dan 2 tidak bisa dilaksanakan maka diperbolehkan menikah secara online dengan syarat bahwa pada saat akad, wali nikah, calon pengantin pria dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui audio visual, dilaksanakan pada waktu yang sama atau real time, dan ada kepastian bahwa pihak yang terlibat memang benar adanya.
Selain dari itu, pernikahan online harus tetap dicatat pada pejabat pembuat akta nikah (KUA). Apabila pernikahan online tidak memenuhi ketiga syarat di atas, maka hukumnya menjadi tidak sah.