Di Eropa, sebagian hooligans ternyata tak cuma modal bonek. Mereka mapan, terpelajar, dan takut terlibat kekerasan.
“Sepak bola itu bak sodom.” Seorang pendeta mengungkapkan kekesalannya dalam suatu doa bersama demi keselamatan publik di sebuah gereja di Rotterdam pada 2001.
Ia tak sendirian. Dries van Agt, mantan PM Belanda yang penggemar olah raga, mengatakan tentang kekisruhan bola, “Dua ribuan tahun silam, di zaman Romawi, orang dilempar ke hadapan singa-singa di stadion. Tapi, sekarang, orang saling melempar sesama warga dalam pertarungan di jalanan!”
Kekesalan mereka tertuju pada fenomena hooliganisme (berandalan) yang mulai populer pada dasawarsa 80-an. Puncaknya adalah tragedi Heyssel, yaitu keributan antara suporter Juventus (Italia) melawan Liverpool (Inggris) di Stadion Heyssel, Brussel, pada 1985. Rusuh menyebabkan bagian bangunan stadion ambruk dan menewaskan 39 orang serta menciderai ratusan suporter.
Berandal atau bonek Inggris terkenal bersemangat tinggi, fanatik, dan siap unjuk kekerasan. Mereka berusia 20-30 tahun, rambutnya cepak atau botak, dan bertatoo. Tak jarang mereka menyerukan slogan-slogan yang patriotis dan rasialis.
Jingoism (nasionalisme berlebihan) dan keasyikan berkumpul, bagi mereka, lebih penting ketimbang pertandingan bola itu sendiri. “Revenge is sweet!” Balas dendam itu asyik! seru seorang bonek.
Di Ceko dan bekas Jerman Timur, tampil bonek-bonek skinheads alias si gundul yang ulahnya kesetanan.
Di Indonesia, bonek umumnya tak berbekal uang yang cukup meski sekadar untuk membiayai dirinya sendiri. Mereka maunya serba prodeo. Kalau tim-nya kalah, ngamuk. Termasuk fasilitas umum semacam kereta api dan stasiunnya jadi sasaran amarah. Ancaman bonek jingga dari DKI bahkan katanya ‘’memaksa’’ Persebaya WO (walkout) ketika hendak menghadapi Persija dalam putaran final liga beberapa tahun silam.
Intelek dan Kaya
Ketika Brussel menuntut agar ratusan nama bonek dicekal, London hanya punya daftar hitam yang memuat 15 nama saja. Sesedikit itukah? Nyatanya, ketika 400 hooligans digaruk dalam duel Inggris vs Jerman di Charleroi (2001) yang dimenangi Inggris, polisi harus kecele. Pasalnya, para bonek itu sebagian besar jauh dari sosok seram, kumal, nekad, bodoh, dan miskin.
Para hooligans tersebut ternyata bukan melulu orang-orang yang tak berpenghasilan tetap. Mereka juga orang-orang berada, bahkan pialang saham di City, pusat keuangan London ikut-ikutan dalam barisan para supporter Inggris, menjadi hooligans.
Mereka berbahasa Inggris dengan baik dan benar, sehingga omongannya mudah dipahami. Bukan bahasa Inggris kampungan (slang) yang eksklusif. Cuma, memang dalam berbicara mereka berteriak, dan kadang-kadang diselingi kata-kata umpatan kasar.
Mereka juga tidak bertatoo, jadi sekujur tubuh mereka tetap putih tidak ternoda.
Lebih dari itu, hooligans kalangan ini berkaca mata dan membaca buku. Tidak tanggung-tanggung, bahkan mereka juga membaca roman-roman filsafat, seperti La Peste, roman eksistensialis tahun 60an, karya pujangga Prancis terkenal Albert Camus, dalam bahasa aslinya, bukan terjemahan.
Jools, seorang hooligan Inggris, seperti dilaporkan orang harian Belanda de Volkskrant, memang suka membaca. Ke mana-mana menguntit pertandingan kesebelasan Inggris, dengan tangan selalu membawa buku. Kebanyakan ia menyukai sastra Prancis, karya penulis-penulis Albert Camus atau Jean Paul Sartre.
Jools yang kutu buku, ditemani Danny Knobel, salah seorang direktur pusat perbelanjaan Inggris, Mark & Spencer. Kemudian masih ada Nick Doffman makelar barang-barang tidak bergerak. Lalu masih adas Simon Lewis, advokat pada sebuah kantor pengacara terkenal Inggris. Simon Lewis penah menangani perceraian antara Putri Diana dengan Pangeran Charles. Kata teman-temannya berkat kasus perceraian ini, Lewis menjadi kaya raya.
Tak seperti bonek di tanah air, para hooligans itu banyak duit. Mereka mampu membayar rekening makan di sebuah restoran di kota Eindhoven sampai 550 gulden, sekitar 2,2 juta rupiah. Bahkan mereka masih memberikan tip kepada pelayan restoran sebesar 150 gulden, sekitar 600 ribu rupiah.
Nah, kenapa mereka menjadi hooligans atau bonek?
Yang dari Inggris mengaku sangat menyukai sepak bola, membela mati-matian tim nasional Inggris, apalagi karena harus menanggung malu sejak tahun 66, ketika Inggris kalah dari Jerman dan sejak itu tidak sempat lagi menebus kekalahan.
Danny Knobel, sang direktur Mark & Spencer, menyatakan kekalahan berturut-turut yang dialami Inggris membuatnya terhina. Dan setiap kali Inggris kalah mereka juga merasa sakit hati karena dipermalukan.
Tapi, mereka sendiri mengaku tidak menggunakan kekerasan. Bahkan hooligans yang macam ini mengaku takut menggunakan kekerasan.